Jika Saja Aku Lebih Berharga dari Bisnis - Sagara Dimantra

41 3 0
                                    

“Saga, kamu harusnya mencontoh Natalia. Dia perempuan, tapi bisa membuat ayahnya bangga. Nilai-nilai sekolahnya bagus, beberapa kali memenangkan perlombaan pidato, bahkan diundang langsung ke beberapa kampus ternama untuk berpidato tiga Bahasa. Kamu laki-laki, malah tidak memiliki prestasi?”

Aku sudah sangat muak sejujurnya. Delapan belas aku hidup di dunia, tidak pernah sekali pun papa mengenalku. Semua yang aku kerjakan tidak ada yang melekat pada ingatannya—apalagi sampai membuatnya bangga, jangan harap.

Aku membalikkan sendok dan garpuku—menandakan bahwa makanku selesai. “Saga ke kamar dulu, pah, mah,” ucapku santun. Mama melirik ke arahku, mungkin ia sedikit khawatir karena piringku belum bersih dari makanan.

“Kamu sedang tidak enak badan, nak? Kenapa makanya tidak habis?” tanya mama. Aku menangkap nada khawatir dari perkataan yang keluar dari belah bibirnya. Kujawab dengan gelengan kepala dan senyuman tipis, “Tidak, ma. Aku hanya teringat tugas Sejarah. Harus kulanjutkan karena lusa akan dikumpul.”

Mama menghela napas, kemudian menganggukkan kepalanya. “Syukurlah, jangan lupa istirahat agar tidak sakit. Kamu sudah kelas dua belas. Akan sangat sibuk ke depannya,” ucapnya.

“Dengarkan mama, Saga.” Suara papa kembali terdengar. Nada yang dingin dan kaku tak tersentuh sudah menjadi ciri khas nya. Aku sudah sangat menghafalnya.

Kembali menjawab dengan anggukan kepala, setelahnya aku berpamitan menuju kamar. Tidak, kok. Aku tidak punya pekerjaan rumah apapun. Kelas 12 baru saja dimulai, jadi belum ada tugas apapun. Hanya saja aku butuh menenangkan isi kepala. Terlampau sering mendengar omong kosong papa yang sama sekali tidak mau mengenal putranya menguras tenagaku.

Seandainya saja ia mau berusaha mengenal dan memahamiku, lebih dari bisnis propertinya.

*

“Gue denger lo lagi ikut lomba esai lagi, ya, Sa?” Yasa bertanya padaku meski tatapannya hanya fokus pada sepiring ketoprak di depannya. Um, aku tidak yakin itu pertanyaan, sebab nadanya begitu datar—tidak sedatar papa saat bicara, tapi sama saja.

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban, kemudian kembali menyeruput jus jambu favoritku di kantin sekolah. “Lo ini sampe kapan deh gak mau jujur sama bokap lo? Masih sanggup di bandingin sama semua orang? Bahkan sama gue?”

“Gue maunya sampai dia sadar sendiri, Yas,” kataku. Ayasa tertawa remeh, tetapi aku tidak tersinggung sama sekali.

“Udah tahu bokap lo ini gak punya waktu buat kenalin lo.”

“Iya, sih. Gue mah apa? Dia lebih sayang sama bisnisnya dan gue mungkin gak pantes disayang,” ujar gue.

Ayasa mendelik marah. “Gue benci kalimat terakhir lo, sialan.”

Aku tertawa kecil, kemudian membagi lontongku padanya; menyogok. “Apaan ini anjir? Nyogok gue? Emang tipikal anak sultan, sialan lo Saga.”

“Huss! Apaan sih, gue bilang ‘kan jangan ngomong kasar depan gue, Yas.”
Ayasa mendengus, kemudian kembali mengabaikanku karena ketoprak di depannya lebih menarik perhatian.
Diam-diam aku bersyukur. Kehadiran Ayasa dalam hidupku sejak usia dua belas tahun membuat diriku setidaknya memiliki alasan untuk tetap melanjutkan hidup yang kurang ajar ini.

Tiap kali aku mendapatkan kemenangan atas lomba esai, Ayasa yang menunjukkan rasa bangganya padaku, ia juga mendukungku saat aku gagal atau terjatuh sedikit dari pintasan yang seharusnya. Jika support system itu diibaratkan sebagai pondasi dari setiap rumah, maka rumahku tetap kokoh karena hadirnya Ayasa dalam hidupku.

Pemuda berwajah bulat dengan mata sipit dan kulit seputih bengkoang itu memang sering sekali berbicara kasar, tampak urakan meskipun cerdas dan selalu menjadi juara kelas, hampir tidak pernah mau terlihat menyayangi seseorang, tapi aku bisa jamin, Ayasa adalah manusia yang memiliki hati lembut sedunia! Hehehe, di dunia yang kutahu, sih.

“Ah, kapan terakhir submit nya?” Ayasa kembali membuka pembicaraan setelah ketoprak di piringnya tandas. Aku menelan ketoprak di mulutku terlebih dahulu sebelum menjawab, “Lusa. Udah beres, gue submit kemarin.”

“Pengumumannya?”

“Akhir bulan ini, Yas.”

Ayasa menghela napas, “Bagus deh, gaji kerja paruh waktu gue di supermarket dah turun.”

Aku tertawa, “Buat apaan sih? Gue gak pernah minta apapun padahal, lagian gue belum tentu lolos dan menang, Yas.”
“Ngomong lo sama bulu kaki gue,” ucap Ayasa asal. Aku kembali tertawa, kali ini lebih kencang sehingga mendapat atensi dari beberapa siswa lain di kantin.

“Heh! Kayak lo punya bulu kaki aja, putih mulu begitu. Kalau lo perempuan, mungkin gue bisa naksir.”

“ANJIR, Saga monyet! Geli banget, gue takut.” Ayasa bergidik ngeri, sementara aku masih terus tertawa.

“Woy! Udahan, ketawa lo kayak tiku kejepit! Gue stress dengernya, SAGARA SETANNN!!”

*

Aku baru saja menutup pintu ruang tamu dan menangkap eksistensi papa yang tengah membaca koran di atas sofa tamu. Lagi-lagi bacaannya tentang bisnis.

“Sudah pulang? Gimana sekolahnya hari ini? Kamu baru aktif belajar minggu depan, ya? Papa habis bicara dengan wali kelasmu,” ucap papa.

Aku mendekat pada papa, meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. Setelah itu ikut duduk di depannya dan menjawab pertanyaan papa yang memang perlu kujawab.

“Iya, KBM aktif minggu depan. Minggu ini ana-anak kelas 10 masih MPLS, pah.”

“Natalia kemarin baru saja pulang dari kedutaan Jerman di Jakpus. Habis pidato Bahasa Jerman. Anak itu memang sangat berprestasi, bukannya kamu harusnya iri, Saga?” lagi dan lagi. Astaga. Memangnya papa ku ini gak capek ya nanyain hal semacam ini terus menerus?

“Papa kapan punya waktu luang?” tanyaku tanpa menatapnya. Tatapanku lurus pada meja kayu jati dengan bunga-bunga kering di dalam kacanya.

“Waktu luang? Kenapa bertanya begitu? Hari ini papa meluangkan waktu papa untuk bicara sama kamu,” jawabnya sedikit kebingungan. Terbaca jelas dari nada bicaranya.

“Maksud Saga, kapan sih papa beneran punya waktu luang untuk kenalin aku?”

“Saga, papa gak ngerti, kamu bicara apa?”

“Papa mana ngerti. Orang biasanya cuma bandingin aku sama anak orang tanpa mau tahu tentang aku yang sebenarnya. Isi kepala papa itu Cuma bisnis properti, lalu kebakaran tiap kali teman-teman papa menceritakan prestasi anaknya pada papa. Bahkan papa bandingin aku sama sahabat aku sendiri karena dia selalu juara satu di kelas sejak dulu. Papa—”

“SAGARA DIMANTRA, JAGA BICARA KAMU!”

Aku membungkam suaraku. Papa selalu seperti itu. Ia meninggikan suaranya ketika merasa tersudutkan dan tak mampu lagi memberikan pembelaan diri. Ujungnya tetap tidak mau disalahkan, sosok paling egois yang pernah aku kenal. Soalnya, dia adalah orang tuaku sendiri. Orang yang selalu memiliki hubungan denganku sampai kapanpun, bahkan dalam diriku mengalir darahnya.

Aku bangkit dari duduk dan segera pergi meninggalkan papa tanpa berkata apapun lagi.

Seandainya aku lebih berharga dibandingkan bisnis papa, kami tidak akan berada pada posisi hari ini.

Tbc.

~~~~~~ Author's Note ~~~~~~

Aku update lagi, silakan teman-teman tinggalkan perasaan kalian setelah baca chapter ini, aku mau tahu 🥹

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

12 AM - BTS FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang