Tenggelam - Jeandra Pradana

227 18 3
                                    

“Jangan sampai pernah begitu menyayangi sesuatu, Jean. Ibu tidak mau kamu mengalami kehilangan mendalam saat sesuatu yang kamu sayangi itu hilang atau pergi dari hidupmu.”

Ibu berkata seperti itu disaat aku masih kecil. Kala itu aku sangat gemar menunggu datangnya langit merah di penghujung hari. Aku tak tahu saat itu, apa alasan dibalik perkataan ibu. Ia selalu mengucapnya berulang kali setiap aku menunggu langit merah. Seakan aku akan menghilang bersama datangnya malam, lalu meninggalkan dirinya seorang diri bersama dingin.

Kini aku tahu jawabannya.
Bukan aku yang pergi bergantian dengan datangnya malam, ibu tidak takut akan hal itu. Ibu hanya takut aku tidak bisa melanjutkan hidupku di saat dia yang pergi dari hidupku, karena aku begitu menyayanginya—seperti aku menyukai langit kemerahan.

Ibu pergi meninggalkanku tepat setelah hari kelulusan SMP ku, dan kini aku sebatang kara. Beruntung karena aku mendapatkan beasiswa bersekolah di salah satu SMA swasta di Jakarta, jadi aku tidak menambah kemalanganku untuk menjadi seorang gelandangan yang putus sekolah.

Aku menatap ke arah rumah lamaku, mungkin aku akan merindukan kenangan bersama ibu di rumah ini selamanya. Semua yang terjadi terasa terlalu mendadak, bahkan untuk menangis pun aku tidak punya persiapan.

“Jeandra, semua barangmu sudah om masukkan ke bagasi, kita berangkat sekarang?” suara om Gilang membuyarkan lamunanku. Aku menyempatkan diri untuk bernapas sebelum melemparkan senyuman tipis dan menganggukkan kepala.

Om Gilang adalah adik kandung ibu. Aku mungkin harus bersyukur sebab memiliki paman sebaik om Gilang dan istrinya—tante Ayu. Mereka yang mengurusku sejak ibu berpulang, lalu membelikan aku rumah kecil di daerah dekat sekolah agar aku bisa hidup dengan tenang. Om Gilang bahkan berkata bahwa aku tidak perlu terlalu keras dengan diriku sendiri. Mereka bersedia membayarkan SPP sekolahku jika beasiswaku dicabut.

Bagi mereka, aku seperti anak kandung mereka sendiri. Keduanya memang belum memiliki anak meski sudah dua belas tahun menikah. “Jeandra, nanti sering-sering kabari tante Ayu di Jakarta, ya? Jangan sungkan kalau Jean butuh bantuan.” Tante Ayu menuntunku masuk ke dalam mobil sambil berucap seperti itu.

Aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum, kemudian banyak-banyak mengucap syukur.

Meski begitu, aku tak lagi bisa menyayangi siapapun seperti dahulu aku menyayangi ibu dan mencintai langit sebelum matahari terbenam. Sebab, aku tidak akan pernah siap untuk kehilangan lagi.

Menyayangi seseorang hanya akan memupuk luka. Sebab ibu pergi, langit merah yang indah itu juga sementara. Pada akhirnya hanya meninggalkan sejuta kerinduan yang bersarang dalam kalbu.

Kini, aku hanyalah aku. Jeandra Pradana, seorang yatim piatu dari Jogja yang kini mencoba menaklukan kehidupan di Jakarta.

Tbc.

~~~~~~ Author's Note ~~~~~~

Akhirnya, aku majuin dari jadwal yang seharusnya. Gimana menurut kalian? Semoga kalian suka yaa, akhir-akhir ini aku lagi agak ovt sama tulisanku sendiri 😭😭

Nanti satu-satu aku post latar belakang para pemeran ya guys ^^

See you! 💜

12 AM - BTS FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang