"Kata dokter kamu udah boleh jalan-jalan keluar." Hanni melipat kedua tangannya, menoleh sejenak pada Haerin yang duduk disebelah ranjang.
"Cuacanya bagus gak? Aku lagi pengen liat bunga-bunga di deket parkiran."
Haerin menaruh dagunya pada sisi ranjang, membiarkan rambutnya dimainkan oleh tangan Hanni yang tidak bisa diam.
"Bagus kok, cuman kita tunggu ibu kamu dulu ya-takut beliau nyariin nanti." Tangan Hanni terasa dingin dan mulai kurus saat menyentuh pipinya, bahkan urat-urat tangan sudah tampak semakin jelas dari balik kulit pucatnya.
"Aku maunya sekarang, takut bunganya layu dan aku gak bisa liat lagi."
Hembusan napas kasar terdengar dari Haerin. Selalu saja seperti itu, padahal tengah sakit namun sifat keras kepalanya masih tertanam kuat.
"Kamu pegang ini, angkat tinggi-tinggi ya biar darahnya gak ngalir ke selang infusnya." Haerin menyerahkan botol infus kepada Hanni, membantunya turun dari bangsal.
"Kursi rodanya ada diluar tapi, kamu masih bisa jalan kan?" Bahkan tubuh Hanni mulai terasa ringan saat Haerin membopongnya.
Lingkar pinggang mengecil dengan tulang punggung yang sudah mulai timbul saat diraba, hati Haerin terasa sakit saat melihat perubahan drastis dari kondisi Hanni.
Dengan pelan Haerin mendudukan tubuh Hanni pada kursi roda, tak lupa merapihkan rambutnya yang sedikit acak-acakan.
"Rambutku tipis ya sekarang-kemarin waktu kamu gak ada disini rambutku rontok parah, terus ibu kantongin semuanya buat dibawa ke rumah." Tak menggubris perkataannya, Hanni menengadah melihat Haerin yang sibuk pada tombol lift.
"Kalo kamu mau nanti aku bilang sama ibu buat kasih rambutku ke kamu." Ucapannya tersebut suskes membuat tubuh Haerin menegang.
Terasa air mata mulai menumpuk dipelupuk matanya, namun segera Haerin usap kasar mencegahnya agar tidak bercucuran.
Lift kembali terbuka, pemandangan pertama yang terlihat oleh mereka adalah beberapa orang yang tengah menangis, mengelilingi sebuah bangsal dengan peti mayat di atasnya.
Haerin bergegas membawa Hanni ke tempat tujuan, tak ingin menghalangi sebuah mobil jenazah yang hendak parkir pada pintu utama.
"Dan yap, ini dia bunganya." Kekecewaan tergambar jelas pada wajah Hanni saat melihat bunga-bunga liar yang beberapa hari lalu bermekaran indah kini sudah mulai layu.
"Bunganya layu, kayaknya kita terlambat deh."
Hawa panas dari aspal jalanan sudah mulai terasa, namun Haerin tak memperdulikan hal tersebut saat kini dirinya duduk berhadapan dengan Hanni. Tangannya mulai sibuk merangkai beberapa bunga yang masih segar.
"Haerin?" Hanni berusaha menatap wajah Haerin yang tengah menunduk.
"Bunganya cuman layu sebagian, kita masih bisa ambil bunga yang lain." Ucap Haerin lirih, terdengar juga isak tangis kecil keluar dari bibirnya.
Haerin menangis!
"Haerin bisa tatap mataku sebentar?" Tanya Hanni penuh kelembutan, namun Haerin menggelengkan kepalanya.
"Haerin denger. Kamu lihatkan bunga-bunga itu, mereka layu dengan sendirinya tanpa mereka minta. Kamu tau kan apa maksudku?
-aku ngasih apa yang aku milikin buat kamu karena aku sendiri gak tau apa yang akan terjadi dikemudian hari. Siapa tau aku akan jadi bunga itu." Hanni menunjuk pada sebuah bunga yang sudah kehilangan kelopaknya dan mulai mengering.
Air mata kini sudah membanjiri wajah Haerin, bahkan beberapa sudah metes terserap aspal dibawah tubuhnya.
"Aku gak mau rambut kamu, aku gak mau barang-barang kamu-aku cuman mau kamu ada buat aku selamanya. Jadi stop ngasih apa yang kamu punya buat aku, aku cuman butuh kamu kak-" Haerin menumpahkan semua emosinya yang sudah terpendam sejak lama.
Hanni menyunggingkan senyum, menepuk pelan pucuk kepala Haerin.
"Terimakasih udah numpahin semuanya, udah lama aku gak liat kamu nangis." Hanni menarik halus belakang kepala Haerin agar bersandar pada pahanya, membiarkan gadis tersebut menangis sepuasnya.
.......
Dia nolak saya, jadi saya mau kalian ikut sedih
KAMU SEDANG MEMBACA
Kittyz oneshot
FanfictionLika-liku percintaan Hanni dan Haerin. (beda judul, beda cerita)