12

366 46 8
                                    





~ Happy Reading ~



Hari kembali berganti. Pagi ini, aku menepati janjiku pada Tante Yuni untuk mengantarkan dia ke bandara. Kebersamaan kami memang tak sampai 24 jam, tapi aku merasa sudah sangat dekat dengannya. Sifat hangat dan serangkaian hobinya mengingatkanku dengan Mama.

"Hmm. Tante bakalan kangen sama kamu ni," ucap Tante Yuni sambil memegang kedua tanganku, dengan mata berkaca-kaca.

"Kapan-kapan kamu mainlah ke Malang. Nanti, langsung tante pamerin kamu ke temen-temen arisan tante," lanjutnya yang membuatku tertawa kecil.

"Lebai deh Ma," celetuk Jefrico sambil tersenyum. Ademlah pokoknya. Kami pun tertawa kecil mendengarnya. Sementara Tante Yuni, memukul ringan lengan Jefrico.

"Ya udah. Kalian baik-baik. Jangan berantem. Yang awet, kalo bisa enggak ganti," ucap Om Adi yang membuatku membeku sesaat, sebelum akhirnya aku tertawa palsu.

"Semangat Asian Gamesnya. Kalo kita bisa dateng, kita bakal dateng. Latihan yang bener. Jangan pacaran terus," nasehat Mas Novan pada Jefrico.
Setelah itu, kami pun saling memberi salam perpisahan. Langkah mereka mulai menjauh dan membuatku merasa sedikit sedih. Kenangan di sore hari kemarin, sungguh membuatku kembali ingin mengulangnya.

Tiba-tiba, terdengar suara helaan napas kasar pria disampingku dan membuatku refleks menatapnya.
"Akhirnyaaa," ucapnya sambil memegang dada dan menatap ketiga orang yang mulai menghilang itu.
"Kenapa, lo?" tanyaku heran.

"Pake nanya, lagi. Ya legalah. Rencana kita kan berjalan dengan lancar," jawabnya sambil tersenyum puas.

"Kita? Kayaknya lo doang, deh" sanggahku ketus.

"Yeee. Biasa aja kali," sahutnya.

"Lo enggak mau bilang makasih, gitu, ke gue?" tanyaku.
Ia menatapku datar, lalu menghela napas.

"Iya, iyaaa. Makasih. Puas?" ucapnya dengan kesal.

"Makasih doang?" protesku.
"Lah terus, lo maunya gue ngapain?" tanyanya sambil menatapku malas.

"Traktir gue makan bubur ayam. Laper," jawabku.

"Miskin lo," celetusnya asal dan membuatku auto mencubit lengannya. Ia pun mengaduh kesakitan.
"Makanya, kalo ngomong jangan ngawur! Rasain, tuh!" omelku.

"Kasar banget, sih. Beda sama Anne," gerutunya kesal lalu berlalu sambil memegang lengannya.

Aku terdiam. Tatapanku kosong dan mengarah ke lantai. Mendengarnya membandingkan aku dengan kak Anne, membuatku merasa sakit. Ucapannya menegaskan kalau aku bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan wanitanya. Namun, aku tak menyanggah karena memang benar adanya. Kini, hatiku pun kembali meradang.

"Malah bengong," ucapnya yang tiba-tiba berdiri di depanku. Entah sejak kapan.
"Katanya mau bubur ayam," lanjutnya.
Aku masih tak bergeming dan hanya menatapnya.
"Ckk. Lama lo," keluhnya lalu menggandeng tanganku dan membawaku mengikuti langkahnya.

"Eehhh," seruku yang membuatnya berbalik dan menghentikan langkahnya.
"Apa lagi?" tanyanya kesal.
"Enggak usah digandeng juga, kali. Gue bisa jalan sendiri," protesku.

"Aelahh. Yang ada malah makin lama. Jalan lo lambat. Udah gitu, banyak bengongnya lagi. Bisa-bisa kesurupan lo," ujarnya lalu kembali berjalan.
Entah mengapa, aku tak berhasrat menanggapi ucapnya, dan justru terfokus pada tanganku yang saat ini ada di genggamannya.

Setelah beberapa saat melangkah, ponsel Jefrico berdering. Ia pun melepaskan tanganku dan mengambil ponsel di sakunya.

"Halo,"

With You [JaeYong | GS] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang