Nostalgia

45 29 1
                                    

Tandain jika terdapat Typo^^

Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis 
Happy Reading

---

Flashback>>>

Suara alunan piano termainkan dengan sempurna di tengah tengah dinginnya musim hujan. Suara rintik air menjadi ritme tambahan di setiap nadanya.

"Udaaaah, keren keren! Lagi! " Pekik ceria seorang anak perempuan.

Surai hitamnya bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti arah kepalanya. Sang kakak tersenyum. "Mau apa?," Tanyanya dengan lembut.

"Apa ya.. " Kini, anak itu bingung sendiri.

Sang kakak tertawa dan mengacak rambut adiknya gemas. Lelaki itu langsung menepuk pahanya agar sang adik naik keatas pangkuannya. Adiknya yang saat itu masih berumur 3 tahun begitu ringan bagaikan kapas.

"Kiss the Rain mau? " Tanyanya sambil mengalunkan potongan lirik dari lagu itu.

"Hm... Kayaknya ini melulu kak, yang lain dong" Jawabnya.

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya lelaki itu menemukan satu lagu yang cocok untuk dimainkan kepada adiknya. "Hm... You will like it, Alaia"

Belum sempat tangannya menyentuh tuts piano, sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Seorang wanita muda masuk ke ruangan itu dengan selo yang kue ditangannya.

"Udah dulu yuk mainnya? Udah jam 10 lho, Vier, Ya. Besok kakakmu sekolah" Perut wanita itu tampak membuncit. Ia sedang hamil.

Mendengar perkataan sang Ibu, lantas, Alaia memasang wajah masam. Begitu juga Xavier. "Just little bit... 1 song and i will bed soon" Janjinya yang tak digubris oleh sang Ibu.

"Tidak, sayang... You've already say that before.. " Ia mengelus anaknya dengan kasih sayang.

"Okay, fine...!, maaf ya, Alaia. Besok kita lanjutin" Sebuah kecupan di kening sang adik menjadi penutup sebelum mereka meninggalkan tempat itu.

---

"Lagi-lagi belati merah! Ugh, ini sudah mayat keberapa yang didalam jasadnya ada Belati merah?! " Keluh seorang petugas forensik sembari melempar sarung tangannya ke lantai.

Rasanya benar-benar muak.

Liandi sebagai kepolisian setempat juga berada di tempat itu. Sudah 9 hari sejak kejadian kebakaran tersebut dan kini, semakin banyak kasus-kasus pembunuhan di luar sana yang tidak main main.

Dalam sehari, bisa terdapat 2 laporan kasus pembunuhan. Dengan kondisi mayat yang sama. Sama seperti keadaan Arton.

"Kayaknya, makin kesini orang gila makin banyak aja ya" Celetuk Askara melihat para keluarga yang ditinggalkan begitu terpuruk.

"Punya mulut bisa difilter gak? " Kesal Liandi mendengar perkataan lelaki itu.

"Ya... Just say that, Sorry"

Liandi terlarut dalam pikirannya sendiri.

Sebenarnya ada apa dengan belati merah? Kenapa mereka memiliki pola yang sama dan ukiran yang sama? Kenapa? Apa sebenarnya tujuan pelaku?

Petugas forensik datang dan melaporkan hasil visum. Liandi mengangguk dan kembali ke tempatnya. Ke kantornya setelah ia meninggalkannya 9 hari. Entah kenapa, sejak kemarin perasaannya seakan tidak menginginkan untuk pergi ke kantor.

Sesampainya di kantor...

Satu hal yang pertama kali dikatakan oleh rekan kerjanya adalah...

Ruang kerjamu bau bangkai.

Mereka tidak ada yang bisa masuk karena pemegang kunci ruangan itu hanyalah Liandi. Karena rasa penasarannya dan ketidak percayaannya, ia langsung bergegas membuka pintu kantornya.

Bau.

Satu kata yang kini membuatnya menutup hidung dengan lengannya. Asalnya dari mana? Pikirnya.

Ia melihat kesana kemari. Keganjilan berhasil ia tangkap dari lemari penyimpanan miliknya. Lalat-lalat beterbangan keluar masuk dari lubang ventilasinya. Begitu ia mendekat, bau anyir, amis, busuk keluar dan semakin kuat setiap langkahnya.

"Apa yang... "

Bruk!

Sebuah mayat.

"PANGGIL AMBULANS!! " Teriaknya.

---

"Liandi? Kau kenapa? " Wajah liandi begitu pucat. Ia memeluk Alaia erat dan menyender dibahu kecil itu. Ia begitu buruk penampilannya.

"K-kamu kenapa, Lian? " Tanya Alaia yang kini disertai dengan rasa khawatir. "Pena... " Alaia dibuat semakin bingung karena gumaman yang dilontarkan oleh lelaki itu.

"Pena? Kenapa Pena? " Tanyanya.

"Dia... Sudah mati... Dia menjadi salah satu korban... Heuk--" Liandi begitu pucat. Badannya panas dan matanya lesu.

Alaia membaringkan Liandi dikasur dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil handuk dan wadah untuk mengompres. Btw, mereka dah balik kerumah ya.

"Kok bisa...? " Liandi menggeleng.

Air mata menggulir turun dari pelupuk mata Liandi. Ya, air mata.

"Siapa lagi yang kupunya... " Lirih Liandi pilu.

"Dia satu satunya keluargaku yang terakhir.. Hiks.. " Liandi tau bahwa dia tak bisa menangis dalam kondisi ini, tapi dia tak kuat menahan air matanya.

Ia memeluk Alaia sekali lagi. "Shh... Tidak apa apa, kau masih punya kami kan? " Alaia berusaha menenangkan, walau pada kenyataannya, dirinya juga terguncang melihat sisi lemah lelaki itu.

Alaia membiarkan Liandi menangis dalam diam di pundaknya. Membasahi bahunya dengan air mata. "Kita harus selesaikan ini secepatnya... " Ucap lelaki tersebut.

Alaia mengangguk.

"Its not the right time... I love you... And thank you"

5 vote dan 15 pembaca >> Update

Satu Yang Tersisa [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang