61

2.9K 438 30
                                    

Prabas bangun dengan tubuh yang kesakitan. Tidur di sofa yang panjang hanya sebatas betis membuat Prabas harus melipat tubuhnya agar bisa tidur. Sudah lebih dari dua minggu dirinya tak mengunjungi gym dan sekarang kakinya terasa kesemutan setelah tidur dengan posisi yang tidak nyaman.

Jam berapa dirinya tidur tadi malam?

Aroma tajam menusuk hidungnya membuat Prabas terbatuk. Pria itu bangun dan melihat sekelilingnya. Suara desis dan denting logam terdengar begitu nyaring. Prabas melihat ke arah dapur dimana Tio berkutat seorang diri.

Prabas menggaruk kepalanya. Ia masih mengantuk. Apa perlu dirinya berpura-pura tidur saja dan bangun ketika Tio selesai masak?

"Pa! Ai bantu ya!"

Prabas yang sudah bersiap kembali merebahkan tubuhnya seketika bangun tegak dan menoleh ke arah tangga dimana Kaia berlari menuruni anak tangga dengan pakaian tidurnya. Pria itu memberikan senyuman terbaiknya dan Kaia hanya membalas dengan senyum simpul kemudian berlalu menuju dapur.

Prabas memberanikan diri mendekat dan melihat dari balik konter panjang. Hidungnya sungguh gatal dengan aroma cabai yang digoreng.

"Ai, kamu bangunin kakakmu saja. Ini mau selesai, kok."

"Nggak apa-apa, Ai bantu siapi piring dan lain-lain dulu."

"Jangan, sayang. Bangunin saja kakakmu," ujar Tio mendorong Kaia dengan pundaknya agar gadis itu menjauh.

Prabas ingin ikut berbalik namun deheman keras menahannya. Ia tahu ada sesuatu yang Tio inginkan darinya.

"Piring ada di kabinet bawah sana. Pilih yang teratas kemudian letakkan di atas meja," perintahnya tanpa melihat ke arah Prabas. Prabas hanya mengedikkan bahunya namun tetap menjalankan perintah dari Tio.

Dia seorang eksekutif yang biasa memerintah orang kini justru dirinya yang disuruh-suruh.

Tak hanya piring, gelas dan sendok pun harus disiapkan lengkap di atas meja. Prabas sengaja diam-diam meninggalkan sebuah kecupan di balik sendok kaia sebagai ciuman selamat pagi tak langsung.

"Sekarang apa lagi?" tanya Prabas pada Tio.

"Duduk," jawab Tio singkat.

Kaia dan Kevin keluar dari kamar. Prabas seperti melihat sisi lain dari keluarga Saujana. Kevin yang masih memiliki rambut bantal dengan mata terpejam didorong oleh Kaia sekuat tenaga untuk terus berjalan. Tio sudah menyediakan handuk basah untuk membasuh wajah putranya. Prabas berdecih.

"Memangnya sudah berapa usianya masih diperlakukan seperti itu?' gumamnya.

Ia memilih menyentuh lapisan piringnya karena merasa hidupnya terlalu membosankan. Prabas dicetak dengan sebuah manual buku dengan harapan akan menjadi seorang pemimpin. Dirinya tidak pernah memiliki kesempatan dimanja. Bahkan rasanya Prabas tidak tahu arti kata manja sampai akhirnya ia bertemu Kaia. Sejak kehilangan orang terdekatnya, semua Prabas lakukan sendiri. Bahkan foto keluarganya dengan kakek sangat formal tanpa ekspresi. Sedangkan foto keluarga Kaia dan kevin penuh dengan senyum lebar.

"Oh, Prabas masih di sini?" tanya Kevin berpura-pura terkejut dan mengambil kursi di samping Prabas.

"Masih, pak Tio sudah izinin."

"Kapan saya beri izin? Kamu masuk seenaknya begitu saja."

"Oh, kalau begitu saya pulang saja?" tanya Prabas menantang Tio.

"Terserah. Bukan urusan saya juga."

"Tapi saya lapar, Pak Tio."

"Bukan urusan saya," jawab Tio menyediakan sepiring sarapan untuk Kaia yang sedari tadi diam menikmati drama pagi ini.

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now