1. Perjalanan Menuju Ke Bukit

1.8K 52 2
                                    

Jangan lupa tekan bintang di setiap bab, jika kalian suka ceritanya 😏

'Sialan!' maki Andi.

Wajahnya tampak berkeringat.
Cuaca begitu panas, dan ia masih sibuk memperbaiki ban mobilnya yang tiba-tiba meletus di jalan. Beruntung mobilnya itu rusak di jalan perkampungan, jadi tak ada kendaraan yang harus lewat.

Sesaat kemudian, ban mobil itu telah berhasil digantinya. Ia menarik napas lega, meski kemeja kotak-kotak birunya tampak basah oleh keringat. Gluk ... gluk ... gluk...! Ia lalu kalap meneguk sebotol air mineral, yang diambil dari dalam mobilnya. Seketika hausnya hilang.

Andi lalu menatap liku jalan kecil menuju ke atas bukit kecil di depannya. Tak terlihat jauh lagi. Alisnya berkerut dan terlihat raut optimis di wajahnya. Bukit kecil itu memang menjadi sasarannya, spot yang akan Ia tuju.

Andi memutuskan untuk duduk, berteduh sebentar di bawah pohon rindang di tepi jalan. Dibakarnya sebatang rokok sambil melihat oret-oretan di kertas kecil. Coretan tangan pak Samaun, mantan supir keluarganya.

'Ya, sudah benar ... sepertinya! Jalur yang ku tuju sudah tepat' gumam Andi sendiri. Oret-oretan itu kemudian diremas lalu dihempasnya. Glek! Sekali lagi Ia meneguk air mineral favoritnya.

Tak lama Ia mulai beranjak ke dalam mobilnya kembali. Ia sedikit bergidik melihat lumpur menempel di keempat ban mobilnya. Biasalah! Jalanan becek di perkampungan.

Dari jalan besar tadi, Andi telah menempuh kira-kira sepuluh kilometer masuk melewati jalan yang tak beraspal ini.

Baru saja Andi ingin masuk ke mobil, tiba-tiba Ia kaget melihat ada seorang petani lewat di dekatnya. Lelaki kurus menenteng cangkul.

'Pak ..., bapak ...! Maaf, saya mengganggu sebentar,' teriak Andi spontan. Ia bergegas menghampiri lelaki itu. Hatinya sangat senang, memang sedari tadi Ia berharap bisa bertemu seseorang di sekitar tempat itu, untuk memastikan apakah Ia sudah berada di tempat yang benar.

'Mohon maaf, saya ingin tahu ... apakah benar desa ini, desa Raga?' tanya Andi.

Lelaki tua itu menyimak dengan tenang lalu menjawab, 'Iya, benar! Anak mau ke mana?' Ia balik bertanya.

Andi tersenyum, bahagia sekali. 'Memang saya mau ke sini, Pak!' jawabnya pendek.

Lelaki tua itu terkejut. Matanya lalu memandangi sosok Andi, dari kepala sampai kaki. Ah, tidak! Pikirnya, anak muda di depannya tampak sangat perlente untuk mencari sesuatu di desanya. Terlebih saat Ia melihat mobil sport hitam Andi yang terparkir gagah di tengah jalan.

'Anak mau cari apa di sini?' tanya si lelaki, lugu. Raut wajah Andi betul-betul bersemangat, 'Saya mau ke bukit kecil itu, Pak! Menurut orang yang memberi saya informasi, bukit kecil yang saya tuju, berada persis di dekat desa Raga ini. Nah, kurasa itu bukitnya!' jawab Andi percaya diri.

Lelaki itu lekat memandangnya, seperti keheranan. Sekali lagi matanya menyelidiki sosok Andi dari atas sampai ke bawah.

'Tapi kok, saya melihat dari tadi tak ada orang ramai di sini ya, Pak? Mengapa tak ada rumah warga di sini?' tanya Andi sejurus kemudian.

'Rumah warga ada di sana, tepat di bawah kaki bukit itu. Sekitar sini, memang area ladang dan jalan masuk saja dari kota.' jelas si lelaki tua.

'Oh...begitu!' balas Andi. 'Jadi, Bapak mau pulang sekarang? Bagaimana jika Bapak ikut di mobil saya?' tawar Andi. Si lelaki terkejut.

'Ah, tidak! Jangan, jangan! Saya tak biasa naik mobil seperti itu. Lagi pula, saya masih harus menengok kolam ikan saya di sana.' tolaknya halus.

'Baiklah! Tapi bolehkah kita kenalan dulu. Nama Saya Andi, Pak! Dan saya adalah cucu Pak Darman, mungkin Bapak tahu?' Andi mengulurkan tangan. Wajah lelaki tua itu mendadak cerah.

'Oh...!' responnya singkat.

'Bapak kenal sama kakek saya? Dia sudah meninggal, Pak! Dan sekarang saya kemari, hendak melihat rumah bekas peristirahatan beliau, jaman dulu ... kala sedang jemu di kota!'

Lelaki tua itu menyambut tangan Andi. Dan Karena cuaca begitu panas, si petani mengajak Andi beringsut ke bawah pohon.

Wajahnya tampak terkesan sekali, dan untuk ketiga kalinya, Ia mengamati lagi sosok Andi, dari kepala sampai kaki. Namun kali ini, Ia lebih fokus mengamati wajahnya.

'Serius, anak ini cucunya Pak Darman? Iya, saya tahu, saya dulu sering diajak kerja sama beliau. Seluruh warga kampung ini dulu tahu siapa dia, kecuali yang baru lahir belakangan, karena itu sudah lama sekali' ingatan si lelaki menerawang jauh ke masa lalu.

'Benar, Pak! Kalau bapak ingat lagi, kadang kakek membawa saya ke sini juga, menginap seminggu jika libur sekolah!' Jelas Andi lagi.

'Oh, Iya betul! Jadi kamu anak lelaki itu!? Ada perempuan juga ya?'

'Nah itu Siwi, kakak perempuan saya!' seru Andi.

'Ah, ya...ya...ya! Sudah lama sekali. Waktu itu saya masih bujangan. Pak Darman sering meminta saya membantunya, apa saja!' Kenang si lelaki. Wajahnya tampak tenang sekarang.

'Saya ingin menengok pondok kakek saya itu, Pak! Kata ibu Saya, kayunya kayu ulin, jadi pasti belum hancur. Mungkin hanya perlu diperbaiki sedikit bagian-bagian tertentunya. Apa bapak bisa membantu saya?' tanya Andi sambil mulai membakar sebatang rokok lagi.

Yang ditanya malah tertegun. Seolah ada sesuatu yang meresahkannya.

'Pak...!?' tegur Andi.

'Ya, ya, maaf! Saya sedikit melamun tadi!' balas si lelaki tua.

'Apa yang dilamunkan? Hehe... ' seloroh Andi. 'Ngomong-ngomong, Saya belum tahu nama bapak dari tadi?'

'Marji...! Nama saya Marji, biasa dipanggil Pak Ji saja' balas si lelaki.

'Bapak mau rokok? Ambil saja semuanya, satu kotak ini! Di mobil masih banyak, kalau mau' kata Andi.

'Ah, tidak ... tidak! Saya sudah berhenti merokok.' balas Pak Ji.

Andi lekat memandangnya, lalu berkata, 'Karena kita sudah kenalan, berarti saya boleh dong berharap Pak Ji mau menemani Saya ke rumah itu. Sebentar saja, kita naik mobil. Mana tahu, ada yang harus diperbaiki. Mau ya, Pak? Tenang saja! Upahnya sudah saya siapkan kok!'

Pak Ji tampak senang, meski wajahnya terlihat tegang.

'Tentunya mau! Tapi saya mau tanya dulu, apakah Tuan akan tinggal di sini, atau hanya berkunjung?'

'Mentang-mentang saya ini cucu Pak Darman, jangan dipanggil 'Tuan' juga, Pak! Panggil Andi saja! Bersikaplah yang sama seperti tadi. Hahaha...' protes Andi seraya tertawa.

'Aktivitas saya semuanya ada di kota, jadi tentu saya hanya berkunjung di sini! Bukan mau tinggal. Refreshing saja!' lanjut Andi.

Seketika wajah Pak Ji berkerjap-kerjap bagai cahaya bintang. 'Tentu, saya mau membantu. Kita bisa berangkat sekarang!?' ajaknya.

Andi mematikan puntung rokoknya. Puntung yang masih menyala itu ia lempar ke tanah, lalu diinjaknya dengan sepatu hingga apinya benar-benar mati.

'Nah, gitu dong!' sambutnya.

Keduanya lalu menuju mobil.

Mesin pun dinyalakan, Andi mengemudikan mobilnya dengan tenang. Dia merasa lega Pak Ji mau membantunya, walau diam-diam dia merasa ada sesuatu yang janggal. Mengapa lelaki tua ini seolah enggan jika Ia tinggal lama di pondok itu?

'Hm, ada apa ya? Something strange....' pikirnya.

RAMPE - KISAH HORORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang