11. Mencoba Menjauh

394 14 0
                                    

Keesokan harinya, Andi semangat sekali saat melihat jemuran di halaman rumah Rampe, sudah terisi penuh sejak pagi. Itu tandanya Rampe sudah sehat, karena tak mungkin Mak Ramih yang melakukannya.

Tak sabar ia membuka pintu pondok, agar Rampe tahu bahwa ia sudah bangun. Tapi lama pintu itu terbuka, Rampe tak kunjung datang atau sekedar menyapa. Biasanya gadis
itu dengan sukarela datang membantunya menyapu dedaunan kering di halaman.

Andi merasa heran. Kemudian dilihatnya Rampe menyisir rambut di dekat jendela. 'Hai, aku datang! Apa kabar? Habis sakit ya?' sapa Andi dari jauh sambil melambaikan tangannya. Rampe tampak kaget, lalu tersenyum. Sedikit terpaksa tampaknya. Matanya kontan melirik Mak Ramih yang terbaring di pojok ruangan.

'Ke sini, dong! Kalau sudah sehat.
Aku bawa oleh-oleh yang banyak untukmu!' seru Andi. Lagi-lagi Rampe melirik neneknya. 'Iya, nanti saja! Aku harus bantu nenek,' balas Rampe.
Andi tersenyum. Setidaknya ia sudah melihat Rampe dan gadis itu baik-baik saja. Andi lalu beringsut ke meja dan mengerjakan tugas kuliahnya.

Sejenak ia membuka pesan di hape dan tampak kesal, lagi-lagi Nita mencarinya. 'Gadis tak tahu malu!' umpatnya. Sementara itu Rampe merasa resah sendiri. Ia menutup jendela lalu berbaring di kamarnya. Sejenak matanya melirik rantai besi yang tergeletak di pojok ruangan.

Meskipun kata neneknya, Andi tak mengetahui rahasia mereka, Rampe tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal bila ingin terus akrab dengan Andi. Kali ini mungkin Andi belum tahu, bagaimana besok? Neneknya sudah benar memintanya untuk menjauhi Andi. Tapi bagaimana caranya menghindar ya? Andi dan dia sudah terlanjur akrab.

Rampe berpikir terus hingga kepalanya terasa penat. Dan akhirnya gadis itu tertidur. Pada sore harinya saat ia menyapu di halaman rumahnya, mendadak Andi mendekat. Rampe terkejut bukan main, karena biasanya Andi segan ke rumahnya.

'Rampe, ini aku bawakan oleh-oleh untukmu!' Andi menyerahkan sebuah bungkusan besar. 'Kakakku yang memilihnya, semoga kamu suka ya?' harap Andi.

Rampe benar-benar kaget, karena tetiba Andi membawakannya beberapa lembar pakaian wanita untuk dipakai bersantai sehari-hari.

'Aku bilang sama kakakku kalau di bukit kecil ini ada seorang gadis yang selalu rajin dan ikhlas membantuku. Pakailah baju-baju ini, Rampe! Maaf, aku lihat pakaian yang kau pakai sangat kurang! ' kata Andi. Rampe mengucap terima kasih.

Karena melihat Rampe 'agak lain' kala itu, Andi pun pamit. Mungkin Rampe sedang ada masalah internal, pikir Andi.

Pemuda itu pun balik ke pondok, sambil masih terus terbayang perubahan sikap Rampe. Ke mana ya, keceriaan gadis itu pikirnya. Sementara Rampe buru-buru ke atas rumahnya dan menggelar pakaian yang diberi Andi. Tampak beberapa gaun sederhana, juga atasan serta bawahan yang cantik. Mak Ramih memperhatikannya dengan tenang.

'Hadiah dari Andi, nek...!' kata Rampe pelan. Kini ia mencoba memakai semua pakaian itu satu persatu. Betapa cantik dirinya di depan cermin. Tampak seperti gadis-gadis kota yang pernah dilihatnya. Rampe sudah lama memimpikan tampil seperti mereka, tapi ia merasa putus asa karena neneknya selalu berkata, ia berbeda.

Air mata Mak Ramih jatuh menetes melihat penampilan baru cucunya itu. Mendadak ia berkata, 'Tenang, sayang! Tak lama lagi kau akan normal kembali. Kau bisa kemana pun dan melakukan apapun. Kau berhak menikmati kehidupan yang indah, Rampe!' desis wanita tua itu. Rampe bergegas berlutut di depan neneknya, 'kapan masa itu datang, nek?' cecarnya. 'Tak lama lagi...' jawab Mak Ramih.

'Jika begitu, biarkanlah aku menjalin keakraban dengan Andi, nek! Dia orang baik, jika aku sudah normal, dialah orang pertama yang akan aku percayai selain kalian. Aku tidak butuh menjadi kekasihnya, nek. Aku hanya ingin dekat!' jelas Rampe. Mak Ramih pun terdiam.

RAMPE - KISAH HORORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang