Bab 5

384 45 1
                                    

Benar dugaanku!

Aku nggak mungkin meleset soal ini.

Hidungku kembang kempis melihat Pak Gerry sedang mengomeli Tita di dalam ruangan. Aku lagi nggak ngintip. Semua orang di ruangan bisa melihat gerak-gerik Pak Gerry melalui jendela ruangannya. Begitu pula Tita yang menunduk sambil sesekali menyahut.

Sudah dua pekan Tita bekerja. Sejak itu pula dia bermasalah. Dari salah menggunakan mesin fotokopi sampai salah menginput data. Tita nggak tahu rumus-rumus excel dan menghabiskan waktu untuk mengolah data karena dia menggunakan cara manual dengan menghitung satu per satu. Pak Gerry meminta Mbak Intan mengajarkan Tita cara input data. Kayaknya dia sungkan meminta bantuanku sebab Louis sering memberiku pekerjaan yang diberi tanda 'URGENT'. Hari ini kesabaran Pak Gerry sudah di ujung. Tita salah mengirimkan berkas ke bagian keuangan.

Aku menonton puas dari balik meja. Bukannya aku jahat banget ke adik sendiri, tapi Tita itu nyebelin banget. Dia membanggakan pekerjaan barunya ke tetangga. Seakan-akan dia dapat posisi lebih baik dariku. Tetangga yang mendengarnya jadi kasihan padaku. Bahkan ada gosip yang lagi santer di lingkungan rumah kami soal aku yang kerja di situ-situ aja selama bertahun-tahun karena bentuk fisikku yang bwleeh.

Di kantor pun sama menyebalkannya. Orang-orang yang bertugas di bagian produksi menilai Tita cocok dengan posisinya sekarang dan membandingkannya sama aku. Menurut mereka, bekerja di bawah bos persis lebih baik daripada aku yang seringnya interaksi sama mereka. Minta banget dirujak om-om lemes itu.

"Besok ikut gue ke event furnitur." Louis tahu-tahu sudah berdiri di sebelahku.

"Kino absen lagi?" Sejak aku bantu dia memotret kafe, dia sering muncul di dekatku untuk minta tolong ini itu. Aku nggak bermasalah membantu Louis karena pekerjaanku memang berkaitan dengan posisinya. Aku loh yang membuat permohonan material yang dia butuhkan.

"Katanya, pamannya meninggal."

"Oh." Aku cuma angguk-angguk antara percaya nggak percaya. Gelagat mau hengkang dari Kino mulai terasa. Dalam seminggu, dia sudah bolos 2 kali.

"Aku perlu bantu apa di event itu?"

"Sales kita buka stand di situ. Kita survey lapangan, sekalian ngelihat stand dari workshop lain."

"Perlu motret?"

"Nggak usah. Palingan kita bantu backing anak sales yang butuh istirahat."

"Oke." Aku menyambar buku catatan yang biasa aku pakai untuk mencatat tugas. "Kita jalan jam berapa?"

"Jam tujuh udah jalan dari kantor. Kita jalan bareng. Event buka jam sembilan, tapi kita perlu mampir ke Jaya. Ada barang baru yang perlu gue lihat."

Aku menulis semuanya. Kemudian mengacungkan jempol.

Louis tertarik pada ruangan Pak Gerry. Louis punya ruang kerja tersendiri di lantai bawah yang mempermudah aksesnya kalau harus mondar-mandir ke bengkel, area pengerjaan furniture. Nama area itu semestinya workshop, tapi kami membiasakan menyebutnya bengkel karena isinya para tukang kayu yang getok dan gergaji. Suasananya mirip bengkel. "Kayaknya Pak Gerry lagi ngomel," katanya.

"Mungkin." Aku enggan menanggapi.

"Asisten baru Pak Gerry itu adik lo?" Louis yang masih kepo pada ruangan Pak Gerry bertanya lagi.

"Iya." Tumben dia banyak tanya.

Mungkin karena reaksiku yang kurang asik, Louis berhenti bertanya. "Gue turun. Jangan sampai telat besok."

"Sip."

Ketika Louis sudah pergi, Tita keluar dari ruangan. Dia setengah berlari menuju ke lorong toilet. Secuil rasa kasihan terbit. Meski begitu, Tita perlu mengalami semua ini supaya lebih menghargai uang jajan yang selama ini aku berikan. Dia perlu tahu diomeli atasan dan tetap bertahan karena menantikan gaji bulanan. Ibu Adem Sari sering membela Tita setiap anak itu merengek minta tambahan uang jajan. Dalihnya sama, kasihan adik. Dulu, pas kecil, ibu selalu mengeluarkan kalimat andalan, "Ngalah sama adik. Kamu yang kakak harus baik." Sekarang, tuai hasil pendidikan Bu Adem Sari. Aku sih emoh bantu anak manja itu.

Whimsical LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang