Prolog

117 16 8
                                    


Halo, namaku Fatimah. Usiaku saat ini adalah 28 tahun. Aku sudah menikah tahun lalu dengan seseorang yang dikenalkan oleh keluargaku. Waktu tidak bisa diputar kembali, penyesalanpun sudah tak berarti lagi. Belum menginjak satu tahun pernikahan, aku sedang di rundung rasa ingin menyudahi. Ekspektasi akan rasa menerima di kemudian hari tak kunjung datang, bahkan harapan yang sedang dibangun sudah lenyap tak berbekas.

Ya, saat ini aku sudah memiliki kemantapan hati untuk menyudahi pernikahanku. Terdengar egois ? aku bahkan tidak bisa menyangkalnya. Bolehkah untuk kali ini aku egois ? Sejak awal menerimanya aku bahkan tak pernah sedikitpun memikirkan bagaimana dengan aku? Sejak awal hanya kedua orangtua dan keluarga besarku yang menjadi alasanku untuk menerima perjodohan itu. Sosok yang memiliki framing baik di kalangan masyarakat, siapa yang akan meragukan ?

Do'aku selama ini yang meminta surga dan menjadi istri shalihah sungguh Allah kabulkan dengan syarat yang ternyata tak bisa kupenuhi di jalan ini. Ya Allah, engkau maha tau aku sudah berusaha mempertahankan sejak awal di tengah gempuran emosi suami yang datang setiap waktu. Aku sudah menerima setiap ucapan kasarnya, aku mencoba mewajarkan sikap tempramennya. Karena yang ku lihat saat itu dia adalah suamiku. Bagaimanapun dia suamiku, surgaku.

Hari-hari berlalu, pernah aku mendengar teman dekat yang mengatakan bahwa hatinya tenang semenjak ada suami. Oh, andai dia tau bahwa aku sangat iri padanya. Bukan karena bagaimana sikap suaminya yang membuat istrinya menjadi nyaman, aku iri padanya yang bisa memiliki pemikiran bahwa dengan suami ia lebih nyaman. Aku iri pada setiap wanita yang sangat dewasa dalam menyikapi jalan hidup yang sedang dihadapi. Disana tentunya ada banyak istri-istri yang memilih bertahan dengan suami bagaimanapun keadaannya, ada yang mungkin menerima kekerasan fisik dll, tapi mereka tetap memilih bertahan. Adapula yang dijodohkan oleh keluarganya tapi mereka bisa bertahan sampai memiliki keturunan.

Ini akan terdengar seperti banyak alasan. Tapi itu kembali pada sudut pandang seseorang dalam membaca apa yang ingin ku sampaikan. Setelah sekian banyak ucapan yang merujuk pada kata ingin pisah dari suamiku sejak awal pernikahan, setelah sekian lama aku menahannya karena ku pikir ini ujian awal pernikahan, setelah sekian banyak kata maaf karena sulitnya mengontrol emosi ku terima. Namun pada hari itu, aku memutuskan untuk setuju. Setuju untuk sudahi saja. Sejak awal aku sudah berusaha membangun rasa, namun sikapnya seolah tak berdosa, lagi dan lagi membuat luka disana-sini. Lukanya mungkin tak seberapa, tapi bekasnya tak kunjung hilang. Pintaku sederhana, hanya ingin jangan dibuat menangis dan kecewa. Aku hanya meminta dibimbing jika ada salah sebagai istri. Sulit bagiku mencari pembenaran dan pembelaan. Karena mau ditarik dari sudut manapun tidak ada yang benar untuk caraku menyikapi semua ini.

Bagaimana cara memberi tau semesta jika aku sudah berusaha. Apa yang banyak orang sarankan kepadaku sudah ada yang kulakukan. Ya Allah, engkau maha tau.

Mereka kaget pastinya karena di usia pernikahan yg belum seumur jagung ini aku memilih menyudahi. Pikirku kenapa harus menunggu pernikahan tua jika di awal ketidakcocokan itu sudah sangat mengusik. Kenapa harus menunggu punya anak dulu? jika di awal pernikahan ini sudah tidak nyaman. Coba sabar dulu ini baru awal pernikahan, kamu belum mengenal suamimu, kata mereka.

Aku, Fatimah.. menyadari jika pernikahan ini adalah untuk seumur hidup. Aku memiliki kesadaran bahwa rumah tanggaku saat ini tidak mendekatkanku pada keridhan-Nya. Sebagai suami dan surgaku, terlalu banyak kata-kata kasar yang bisa membuat langit dan para malaikat melaknatku. Selama ini tidak ada ketenangan yang ku rasakan. Sebesar apapun aku memperbaiki kesalahan, akan selalu ada hal lain untuk ia emosi terhadapku. Ia mewajarkan sikap tempramennya. Dengan kata lain ia akan terus menormalisasikan setiap kata dan umpatan kasarnya terhadapku. Sebagai orang yang sedang membangun rasa aku selalu dibenturkan dengan sikapnya. Sikap yang membuat aku lebih mati rasa.

Siapa yang akan menjaminnya ? menjamin bahwa dia menyesali setiap sikap tempramennya. Sedang hanya aku yang merasakan bagaimana kejadian itu terus berulang. Dan siapa yang akan menjamin akhiratku? jika setiap saat surga dihadapanku saja selalu dipenuhi amarah. Aku tidak terfikirkan untuk mencari surga yang baru untuk menggantikan suamiku. Aku hanya tersadarkan mungkin ini saatnya aku kembali pada surga yang dulu, ibuku. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Catatan FatimahWhere stories live. Discover now