Dengan selesainya masa orientasi dan kegiatan belajar-mengajar di sekolah sekarang kembali normal, Amelia bisa merasakan kehidupannya akan kembali disibukkan dengan tugas-tugas yang menumpuk serta belajar mandiri demi mempertahankan nilai. Kelas barunya ini, 2-IPA B adalah kelas yang dielu-elukan sebagai kelas yang terbaik tahun lalu, mengalahkan tingkat di atasnya dengan jarak nilai rangking satu dan rangking terakhir hanya berbeda dua angka, belum ditambah dengan prestasi non akademik.
Banyak rumor yang beredar soal kelas ini, salah satunya adalah alasan kenapa hanya dua orang yang berhasil naik ke tingkat A dan satu orang yang turun di tingkat C, mencetak rekor perpindahan paling sedikit sepanjang sekolah berdiri.
Tapi anehnya, kelas ini terbilang ... normal? Amel tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi untuk kelas yang dielu-elukan punya segudang prestasi di antara yang lain, ia tak merasakan tekanan ataupun aura kompetitif seperti kelas lamanya. Sudah sembilan hari berjalan dari awal dirinya masuk, dan ia merasa seperti di dunia lain ketika melihat beberapa teman sekelasnya berani tidur ketika Bu Ria menjelaskan di papan tulis, atau beberapa yang bermain game di bawah meja, dengan cerdik menghindari pandangan salah satu guru killer itu.
“Assalamualaikum, Punten[1] Bu Ria.” Suara ketukan di pintu menghentikan Bu Ria yang tengah menulis soal di papan tulis, semua orang ikut menoleh, mengenal jelas logat sunda dan suara lembut dari wali kelas mereka yang kini muncul.
“Lho, Miss Euis? Masuk-masuk!” Bu Ria berdiri, menghampiri tamu kelas mereka, “Ada apa nih?”“Nggak Bu. Saya Cuma mau jemput Amelia, ada anaknya?”
“Amelia, mana Amelia?” Gadis dengan rambut ponytail itu berdiri, mengangkat tangan, “Nah, itu anaknya. Sini!”
Sesuai diminta, Amel menghampiri kedua gurunya. Ada perasaan tidak enak memberatkan langkahnya, apalagi melihat dua guru ini bisik-bisik dan terkekeh di depan kelas. Perasaan dirinya tidak ada masalah, kenapa dipanggil coba? Di tengah jam pelajaran juga! Apa jangan-jangan ada masalah dengan beasiswanya?
“Heish, cepetan atuh! Jalannya udah kaya putri solo aja!”
Amel ingin protes sebernarnya, mengingatkan mereka kalau rok seragam untuk angkatan mereka terlalu membatasi gerak. Tapi daya? Mana berani ia protes ke guru killer satu itu, membayangkannya marah saja sudah kelewat seram. Alhasil ia hanya menyahut ‘iya’ sebagai respon, mendekat ke wali kelasnya dan berpamitan sebelum keluar kelas.
Pembicaraan mereka terputus ketika pintu akhirnya ditutup, Amelia baru memperhatikan bagaimana wajah wali kelasnya begitu berseri-seri. Wanita muda itu menoleh, menatap dan tersenyum lebar padanya.
Firasat Amelia semakin tidak bagus.
“Ayo-ayo! Kita udah ditunggu sama Bu Hera lho!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Merah Putih dan Matahari.
Teen Fiction𝐂𝐨𝐯𝐞𝐫 © @𝐀𝐧𝐮𝐠𝐫𝐚𝐡𝟏𝟑𝟎𝟗 (𝐈𝐆) -𝘔𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢, 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢- Mereka hanyalah tiga anak yang masih begitu muda, tumbuh terlalu cepat dengan anggapan bahwa kegelapan akan selalu...