A story by: eeknyamail
.....
Dari sekian banyak siswa di sekolah ini, hanya ada satu orang yang benar-benar ingin dihindari Nana—Lee Jeno.
Tubuhnya lebih kekar dibanding anak seusianya, raut wajahnya misterius, tetapi sialnya tetap saja tampan. Ada tahi lalat kecil di bawah mata sipitnya yang tajam, seolah-olah mengawasi setiap gerakan orang di sekitarnya.
Jeno adalah bocah pendiam yang selalu datang ke sekolah lebih awal, tidak punya teman, tetapi entah bagaimana, ia bisa melanggar banyak aturan tanpa pernah dihukum.
Nana dan teman-temannya pernah berspekulasi bahwa Jeno punya semacam "kekuasaan" di sekolah ini. Bagaimana tidak? Ia menghabiskan waktu belajar dengan tidur, tidak pernah mengerjakan tugas, dan tetap lolos tanpa teguran sedikit pun.
Karena alasan itu, Nana berusaha menjaga jarak.
Namun, semakin diperhatikan, rasanya Jeno tidak seseram yang ia bayangkan dulu.
---
Di kelas, Nana memperhatikan Guru Kim yang sedang menjelaskan pelajaran Ilmu Sosial.
"Pada dasarnya, manusia tidak bisa hidup sendiri. Kita semua butuh interaksi agar bisa saling membantu dan menguntungkan satu sama lain..."
Guru Kim berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Pernahkah kalian mendengar ada bayi yang lahir lalu tumbuh dewasa sendiri? Bisa makan dan berjalan tanpa bantuan? Tidak, kan?"
Nana termenung, pikirannya melayang pada satu orang.
Seingatnya, ada seseorang di sekolah ini yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun. Tidak meminta bantuan, tidak bergabung dengan kelompok mana pun, tetapi tetap menjalani hidupnya seperti biasa.
Tiba-tiba, Nana mengangkat tangan.
"Bagaimana jika ada seseorang yang tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun, tetapi hidupnya tetap baik-baik saja? Ia tidak membutuhkan orang lain untuk membantunya."
Kelas mendadak hening. Beberapa siswa melirik Nana dengan heran.
Guru Kim terkekeh. "Mungkin saja dia Tuhan."
Nana mendesah. Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan rasa penasarannya.
---
Malam itu
Sekolah akan menghadapi ujian nasional minggu depan, dan semua siswa sedang dikebut untuk mengejar nilai. Guru Kim bahkan memberikan catatan sepanjang novel yang membuat kepala Nana pening.
Ia duduk di meja belajarnya, serius menyalin catatan Haechan yang sudah lebih dulu selesai. Suara gesekan pena memenuhi kamarnya, bersamaan dengan detak jam dinding yang berdenting pelan.
Tok tok.
Ketukan di pintu membuatnya berhenti menulis.
"Sebentar!" serunya, lalu berjalan ke arah pintu.
Saat membukanya, ia mendapati Jisung berdiri di sana dengan senyum kaku.
"Hehe... maaf, Kak. Ganggu, ya?"
Nana mendecak kesal. "Kau sadar ini sudah pukul sepuluh malam?"
Jisung menggaruk kepalanya, merasa bersalah. "Aku butuh bantuan tugas matematika... Kakak tahu kan, aku payah dalam hitung-hitungan?"
Nana mendesah, lalu tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Sebenarnya aku ingin memasak mie rebus. Kau mau juga?"
Mata Jisung langsung berbinar. "Dua bungkus, Kak!"
"Dasar rakus," ejek Nana. "Masuk saja, jangan berantakin kamarku!"
Ia bergegas ke dapur, meninggalkan Jisung sendirian di kamar.
---
Lima belas menit berlalu, dan Jisung mulai bosan.
"Kenapa lama sekali, sih? Ini cuma mie rebus, bukan masakan restoran bintang lima."
Ia bangkit, meregangkan tubuhnya, lalu berjalan ke meja belajar Nana. Tangannya dengan cepat merapikan buku-buku yang berserakan. Namun, matanya menangkap sesuatu.
Sebuah buku usang dengan sampul cokelat tua, tertumpuk di paling bawah.
Jisung menoleh ke pintu, memastikan Nana masih sibuk di dapur.
"Cuma buku biasa... tapi kenapa rasanya aneh?"
Dengan ragu, ia mengambil buku itu dan membuka halamannya.
Tangannya tiba-tiba dingin.
Lembar demi lembar, tidak ada yang aneh—sampai dia sampai di bagian tengah.
"I-Ini..."
Matanya membelalak.
Di dalamnya, ada banyak foto.
Foto-foto itu diambil dari berbagai sudut—ada yang dari kejauhan, ada yang tampak seperti diambil secara diam-diam. Beberapa foto bahkan memperlihatkan seseorang yang sedang tertidur atau berjalan sendirian di lorong sekolah.
Tapi yang membuat Jisung semakin merinding...
Ia kenal orang di dalam foto ini.
Ia tahu siapa yang ada dalam foto ini.
Jisung menahan napas. Jemarinya berkeringat saat membalik halaman berikutnya.
Matanya tidak bisa lepas dari sosok yang ada di dalam foto-foto itu.
"Kenapa ada sebanyak ini...?"
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ini tidak masuk akal.
Kenapa Nana menyimpan semua ini?
Namun sebelum ia sempat melihat lebih jauh—
"Kau sudah tahu, ya, Jisung?"
Jisung tersentak.
Dengan cepat ia menoleh ke belakang, dan napasnya tercekat.
Nana berdiri di ambang pintu, memegang panci mie dengan ekspresi yang terlalu manis untuk situasi ini.
Senyumnya tidak wajar.
"Lalu... kau mau membantuku, kan?" tanyanya dengan nada lembut yang justru membuat bulu kuduk Jisung berdiri.
Hari sial memang tidak pernah ada yang tahu kapan datangnya.
Namun Jisung tidak pernah menyangka, hari sialnya berasal dari seseorang yang selama ini ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
---
Part 3 done, gimana?
Disini mereka masih smp ya! Jangan lupa ini fiksi.
Kalo suka ceritaku, tolong dukung dengan menekan vote ya.. terimakasih!
Aku update kalo lagi punya ide aja, bisa jadi per hari satu bab atau lama, maaf kalau menunggu☺️
![](https://img.wattpad.com/cover/369480317-288-k357650.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MR.LEE OBSESSION
ChickLitHidup nana sebenarnya biasa saja, remaja murah senyum dan suka menebar kebaikan. Namun itu berubah kala ia memberi sebatang permen kepada siswa menyendiri yang duduk di pojok itu.