Dalam keheningan senja, di bawah naungan atap rumah leluhur, View duduk sopan dengan penuh takzim, membungkuk di hadapan ayah dan ibunya. Dalam dekapan waktu yang khusyuk, ia membawa Joong bersamanya untuk melakukan acara kecil sebelum mereka benar-benar menikah minggu depan, menyatu dalam rangkaian tradisi Buddha yang sakral.
Dengan penuh hormat, berlangsungnya acara meminta restu ini, mereka menundukkan kepala, memberikan sembah bakti pada kedua orang tua, memohon restu dan berkah sebelum melangkah ke jenjang pernikahan suci di kemudian hari kelak.
Sebentar lagi jelang pernikahan ini dihiasi dengan berkat dan doa, sebuah janji suci yang disaksikan oleh semesta.
"Kami mengiringi langkah mu nak"
View menangis tersedu-sedu.
Ayah gadis itu terus menatap Joong dengan pasrah, seperti ada rasa tak nyaman yang tak dapat disembunyikan. Waktu telah membawa keduanya pada momen di mana mereka harus merelakan. bayangan Dunk yang pernah hadir kini telah lama menghilang.
Meski Joong berharap Dunk hadir di pesta pernikahannya minggu depan, harapan itu hanya sebagian dari kenangan yang tersisa. Di tengah senyum yang dipaksakan dan doa yang dipanjatkan, mereka berdua menyadari bahwa keadaan ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak terhindarkan.
"Bagaimana pun, jaga anakku"
Bukankah ucapan pria di hadapannya itu sangat serius? Namun, mengapa Joong bahkan tak dapat mengucapkan kata-kata, sekadar untuk mengiyakan? Sebaliknya, ia hanya mampu memberi anggukan.
Perasaan campur aduk, berat di dada, membuat lidahnya kelu. Di tengah tatapan penuh harap dan beban tanggung jawab yang terpancar dari pria itu, Joong hanya bisa merespons dengan isyarat sederhana, sebuah anggukan yang mengandung janji yang tak terucap.
Kemudian MC acara mengarahkan kedua pasangan untuk meminta penghormatan kepada orang tua Joong sekali lagi. Dengan langkah penuh kehati-hatian, mereka mendekati orang tua Joong yang tersenyum bangga.
Suasana proses meminta restu penuh haru menyelimuti ruangan, saat mereka membungkuk dengan tulus, mengucapkan terima kasih dan memohon restu. Ini adalah momen sakral yang menandai penghormatan mendalam, simbol kasih sayang dan penghargaan yang abadi.
"Joong, nanti jadilah suami yang baik nak" ucap sang ibu, suaranya lembut namun penuh makna. Setelah menyampaikan pesan, ia terus mengucapkan doa dengan tulus, bibirnya bergerak perlahan, memohon berkat dan kebahagiaan untuk putranya.
View turut mendapatkan doa dari kedua orang tuanya. Dalam momen penuh haru itu, Joong hanya bisa termangu, merasa bersalah berkali-kali lipat.
Bagaimanapun, di dalam hatinya ia telah mengharapkan sosok lain menjadi mempelainya di hari pernikahan nanti, sosok manis yang begitu ia cintai, hadir dalam setiap masa sulitnya, memberikan ribuan cinta dan kesempatan. Dunk, apakah Joong benar-benar berdosa untuk berharap? Perasaannya berkecamuk, antara tanggung jawab dan cinta yang tak terlupakan, membuat hari yang seharusnya bahagia ini terasa berat dan penuh dilema.
"Para hadirin sekalian, dengan penuh rasa syukur dan hormat, kita telah menyaksikan momen acara berharga permintaan restu jelang pernikahan kedua mempelai di minggu depan. Semoga doa dan restu yang telah diberikan membawa kebahagiaan dan keberkahan bagi Joong dan View dalam perjalanan hidup mereka nanti. Terima kasih atas perhatian dan kehadiran Anda semua"
Dengan senyum hangat, MC menutup acara, namun semangat kebersamaan masih terasa kental. Tamu undangan yang terbilang hanya keluarga inti, dengan penuh kasih, memberikan harapan terbaik mereka kepada Joong dan View. Di antara canda dan tawa, mereka saling memeluk dan bertukar kata-kata manis.
Joong berjalan menepi, menghindari kerumunan yang mulai sibuk saling mengobrol. Dia merasa butuh ruang untuk sejenak menyendiri. Menyusuri lorong-lorong yang sepi di sekitar rumah View, ia menemukan sudut yang tenang.
Dengan langkah hati-hati, Joong mengeluarkan pemantik rokok dari saku dan menyalakannya. Asap tipis mulai mengepul di udara, membawa aroma yang akrab. Di bawah cahaya bulan yang lembut, Joong duduk sendiri, membiarkan pikirannya melayang jauh.
Hari mulai gelap, dan sekarang harapannya semakin berat. Waktu menjelang pernikahannya tinggal menghitung hari, apakah dia masih bisa membawa Dunk masuk ke hidupnya?
.
.
.
.
.Dunk duduk di atas meja ruang tengah apartemen, meneliti satu per satu catatan buku rekeningnya dengan serius. Sejak tadi, Dew menatap aktivitasnya dengan bingung, mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan oleh Dunk.
Wajah Dew mencerminkan kebingungan dan kekhawatiran, menyiratkan bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi. Di antara keheningan yang terasa tegang, atmosfer ruangan menjadi semakin terasa menegangkan.
Dunk berdiri menghela napas panjang, matanya memerah menahan tangis yang hampir pecah. Ketegangan terlihat jelas di wajahnya, mencerminkan beban yang ia pikul.
Melihat itu, Dew akhirnya membuka suara, "Dunk, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?" Pertanyaannya menggema di ruangan, penuh dengan kepedulian.
Dunk menyerahkan beberapa lembar surat keterangan serta buku rekeningnya kepada Dew. Matanya yang memerah bertemu dengan tatapan Dew, seolah ingin memberikan arahan tanpa kata. "Lihatlah ini," ucapnya dengan suara serak, "tolong bantu aku mengatasi ini"
Dew menerima dokumen-dokumen itu, merasakan beratnya situasi yang sedang dihadapi oleh Dunk.
Suasana hening di malam itu menjadi momen di mana mereka duduk bersebelahan. Dalam keheningan yang menenangkan, Dunk mulai menjelaskan satu per satu rencana yang akan ia lakukan di masa depan. Dengan suara lembut namun penuh tekad, ia memaparkan langkah-langkah yang telah dipikirkannya dengan matang
Dew mendengarkan dengan seksama, merasakan beratnya beban yang dipikul Dunk namun juga melihat secercah harapan di mata lelaki manis yang ia cintai. Malam itu, harapannya seolah pupus dan telah sampai di akhir.
Selama ini, Dew menahan perasaan cintanya, menemani Dunk dengan setia, memperhatikan satu per satu kesedihan yang menghampiri lelaki manis itu dengan lapang dada.
Dia mencoba mengerti, meski hatinya tersayat, ia tetap menggenggam tangan Dunk. Perasaannya terpendam dalam-dalam, demi menjaga kebaikan hubungan persahabatan mereka Dew memilih untuk menahan cintanya, memastikan Dunk merasakan dukungan dan kehangatan tanpa menambah beban yang sudah berat bagi Dunk sendiri.
"Aku percaya padamu, dan dengarkan ini" Dew menunduk, mengusap tangan Dunk dengan penuh rasa khawatir dan tertekan "semua orang mungkin akan meninggalkan mu, tapi aku tidak"
Dunk termangu, seolah Ada rasa asing yang menyelinap "Dew... aku juga percaya padamu" Dalam keheningan yang menggelayut di udara, ia merasakan kehangatan dari sentuhan pria tinggi itu. Dunk merenung, mencoba merangkai pikiran-pikiran yang kacau di benaknya.
"Berjanjilah padaku, jangan pernah berubah sedikitpun"
Dunk mengangguk pelan, menggenggam tangan Dew dengan erat. Entah sejak kapan, perasaan lelaki di sisinya ini mulai berubah.
Dia hanya mencoba diam, seolah tak mengerti apa yang sedang terjadi. Bagaimanapun, Dew bukanlah sosok yang hadir memenuhi hatinya. Segalanya terasa berbeda, dan Dunk masih mencoba memaklumi perasaan Dew yang mulai berubah arah.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Disini mereka belum nikah woi, jangan salah paham, ini masih sungkeman ceunah, gmna sih pada ngira nikah😭🙏🏻
Jangan lupa follow komen dan ninggalin jejak 💛💛🙏🏻😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Letter To Him [Joongdunk]18+[END]
Фанфик"dia telah mengingkari janji, bagaimana kau bisa menyalahkan ku atas segalanya?" Dew menunduk, meremat tangannya sendiri dengan kekecewaan yang dalam "ikutlah denganku Joong, dan kau akan tau siapa orang yang sebenarnya mencintai mu hingga akhir hid...