10

481 36 4
                                    

Dunk terduduk dalam diam, suara dentuman musik terdengar jelas bahkan dari dalam kamar yang ia tempati saat ini. Dia baru saja selesai melayani seorang klien, membentangkan tubuh meraup udara lebih banyak saat kertas cek dari atas nakas tiba-tiba beterbangan. Wajah manis itu datar, dia mencoba duduk mempertahankan kesadaran setelah obat perangsang nya tak bereaksi lagi.

Helaan nafas panjang terdengar begitu menyedihkan, Dunk masih berpikir bagaimana sekarang Joong akan bersikap setelah penolakannya untuk patuh. Dengan langkah hati-hati pria manis itu memperbaiki pakaiannya, berjalan lunglai keluar kamar.

Sekarang suara gaduh musik dan suasana tak karuan liukan badan di sana sudah sangat jelas, kakinya terus menuruni anak tangga hingga sosok lelaki gagah menghadang. Dunk mendongak, baru sadar jika hari ini Paman Rocher berkunjung.

"Apa kau sakit, Dunk?"

Sosok manis hanya menggeleng lemah "apa paman Rocher ingin di layani malam ini?"

"Tidak usah" dengan penuh perhatian, dia menarik lengan kurus Dunk memapah ke salah satu sofa ternyaman dalam bar "sepertinya kau kelelahan"

"Bukan lelah, hanya banyak berpikir, itu saja"

Pemantik rokok berbunyi, satu kepulan asap ringan membuat pembicaraan semakin santai "apa yang kau pikirkan?"

"Hanya masalah pertemanan"

"Ohh..." Pria itu mengangguk, menopang kaki pada salah satunya "ikutlah berlibur akhir pekan ini denganku, aku mengunjungi London"

"Tapi aku masih punya janji dengan pelanggan lain—

—serius Dunk, kau harus menghentikan ini. Aku akan jadi satu-satunya orang yang bisa memakai mu"

Dunk terhenyak, sedikit tak percaya dengan ucapan barusan.

"Aku serius, aku tak terlalu suka berbagi. Berapa yang kau dapatkan jika melayani pria-pria kaya itu?" Paman Rocher tak kunjung mendapat jawaban, hingga meringis kesal "aku akan membayar kerugian mu jika melepas mereka"

"Aku akan memikirkannya dulu" Dunk bangkit dari duduknya, melewati pria itu dengan sopan "Paman Rocher tidak minta dilayani untuk malam ini kan? Aku akan pulang"

"Baiklah, pulang dan beristirahat. Jangan lupa untuk memikirkan tawaran ku" pria gagah itu menjentikkan jari, menghisap kembali batang nikotin nya mempersilahkan "dan juga, tentang liburan kita"

"Terima kasih Paman Rocher" dia undur diri, berjalan melewati kerumunan manusia yang asik menari di dalam bar. Saat berhasil keluar dari sana, Dunk mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk pamit pulang duluan. Maklumlah, dia dan Dew masih selalu bertemu saat mereka akan bekerja maupun setelahnya.

Sepanjang jalan sosok manis itu akan diam, berperang dengan banyak prasangka. Jalan hidup tak pernah mudah dan layak, belum selesai Joong yang merengek, kini Paman Rocher berencana menjadikannya jalang pribadi.

"Dan tentang liburan itu" jemari telunjuk lentiknya memainkan bibir bawah "bocah itu akan mengamuk lagi" sebenarnya tak perlu khawatir, toh Joong tak punya hak apapun untuk protes, dan dia tak punya alasan untuk peduli.

Namun semuanya terasa beda saat pemuda itu memeluknya sebelum berangkat kerja tadi, seakan itu adalah ungkapan perasaan terdalam. Masih dalam kekalutan nyata dan rasa bimbang tak berkesudahan, dia mencoba tenang.

Wajah manisnya sangat tegas, memasuki basement apartment Dunk menghela nafas panjang. Melepaskan sabuk pengaman dan bergerak cepat  keluar dari mobil, semuanya sama saja.

Lift terbuka, dia terdiam di dalam sana. Apa hari ini ibunya tak menelfon untuk menanyakan kabarnya? Ataukah bulan depan dia harus menunda pengiriman uang agar pesan beruntun dari sang ibu muncul di layar ponsel?

Dunk tertawa miris, perlahan matanya berair. Tak kunjung selesai, hidup penuh liku yang ia jalani tak pernah benar-benar memiliki jalan keluar. Hingga pintu lift terbuka, tangisnya terhenti, berganti dengan raut tak percaya cukup syok. Dunk menggigit bibir, melangkah pelan mendekat pada pria tegap yang memeluk lutut tepat di lantai lorong.

"Joong..." Lirih si manis, penuh kehati-hatian "Joong..."

Seraut wajah linglung, Sosok tampan itu mendongak dengan mata berbinar saat menyambut kepulangannya. Dunk menggigit bibir, tangisannya menguat.

"Kenapa kau menangis?" Joong panik, memeluk erat-erat "sudah... Jangan menangis..."

"Kenapa kau menungguku?"

Dalam sesenggukan, wajah mungil itu memerah. Joong menahan nafas, air matanya tak boleh jatuh "aku khawatir, kau akan pulang dan lupa rumahmu dimana"

"Bagaimana mungkin?" Dunk memukul dada bidang pria itu, tak karuan sudah suasana hatinya "aku melakukan ini setiap hari, kenapa aku tak mengenali apartemen ku sendiri?"

"Humm... Makanya jangan lakukan lagi" cicit Joong.

Dunk menangis kencang, bahkan kini Joong sudah menggendong tubuh pria manis itu ke arah pintu apartemen. Pecah sudah, dia bahkan tak bisa mempertahankan topeng yang telah dibangun sejak dulu. Kekuatan itu kemana? Bukankah dia memang bisa sendirian, tanpa bersandar pada siapa pun. Lantas mengapa orang ini datang memberi pelukan? Hadir dalam hidupnya memberi ruang ganjil yang hangat?

"Di luar sangat dingin kan?"

Dunk mengangguk pelan.

"Ayo minum sesuatu yang hangat dulu"

Si manis duduk dengan patuh pada sofa kamarnya, terus melihat Joong berbalik meninggalkan tempat itu. Terdiam lagi, pikirannya kalut luar biasa. Apakah sikap lelaki itu akan sama setelah tau tentang pekerjaannya?

Haruskah dia menghindar sekarang? Bagaimana jika perasaan aneh timbul dalam hatinya? Lantas Joong, apa dia juga memiliki ketertarikan padanya?

"Ini"

Dunk mengangkat dagu, menatap mata hitam pekat "humm... Terima kasih..."

Joong mengangguk, duduk bersebelahan menyimak sosok menggemaskan itu minum.

Kembali senyap, tak ada yang memulai pembicaraan lagi. Mata Dunk sudah bengkak karena tangis, dan saat suasana diam ini berlangsung, Joong tak pernah melepaskan pandangannya.

"Ini Sangat melelahkan, bukan?"

Dunk menggigit bibir, melihat sekilas ekspresi Joong "humm... Lelah..."

"Humm, aku tau itu pasti sangat melelahkan"

Usapan lembut, di sisi wajahnya. Joong memberikan dunia seluas ini, menghamparkan padang rumput hijau sejuk untuk menapaki takdir buruk tiba-tiba. Dunk terhenyak, terlebih pria itu mendekatkan wajah mereka. Membisikkan banyak kata, bukti bahwa dirinya telah lama tertidur dalam perasaan mati.

"Waktu akan berjalan, mentari akan terus berputar. Jika Dunk tidak berani mengambil langkah, kita akan tetap ada disini. Sejauh ini, selama ini, Dunk telah melakukan yang terbaik" Joong mengecup puncak kepala sosok manis itu "jika memang ingin terus seperti ini, Dunk akan lelah. Jika lelah, peluk aku saja"

Sesuai yang ia bayangkan, bahwa pria ini tak kuat sama sekali. Wajah datar itu adalah hiasan saja, cerita indah hanyalah dongeng belaka. Sejatinya Dunk benar-benar berjalan menginjak beling di tiap alur hidupnya, tanpa jeda dan kesempatan.

Joong memeluk erat, dadanya banjir air mata. menahan nafas lagi, dia tak akan ikut menangis, dia tak akan lemah di depan manusia tersayangnya. "Aku akan ada disini, untuk memeluk Dunk"

"Bagaimana mungkin?" Dunk mengusak wajah di dada itu.

"Karena Dunk tak boleh mencari pelukan orang lain, aku harus menjadi satu-satunya"

Sekali lagi, dia mendongak menatap netra kelam "apa kau mencintaiku?"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa follow komen dan ninggalin jejak dulu 🙏🏻 😭 💛💛

Letter To Him [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang