Pagi ini, Joong baru saja bangun dari tidurnya. Cahaya matahari pagi yang lembut menyusup melalui tirai jendela, namun tak mampu mengusir kekacauan yang berputar-putar di pikirannya sejak semalam.
Dengan mata yang masih setengah tertutup, Joong merasakan denyut pusing di pelipisnya, tanda kurang tidur. Dia duduk di tepi ranjang, dengan pandangan menerawang jauh, mencoba mengurai benang kusut dari pikiran-pikiran yang kacau.
Suara burung berkicau di luar terdengar samar, seakan hanya menjadi latar bagi hiruk-pikuk batinnya. Di apartemen yang biasanya damai namun pagi ini terasa ada beban yang menggelayuti udara.
Joong menghela napas panjang, berharap udara segar bisa membantu menjernihkan pikiran. Namun, bayangan kekhawatiran dan kegelisahan tentang hubungannya dengan View enggan pergi, menyelimuti hati dengan kecemasan yang tak kunjung reda.
Dengan enggan, Joong bangkit dari tempat tidur, bersiap menghadapi hari yang baru meskipun hatinya belum sepenuhnya siap meninggalkan malam yang penuh pergulatan.
Meskipun masih dipenuhi kekacauan, kadangkala Joong merasa lega saat memikirkan bisnis kecilnya yang telah ia bangun sejak menyadari masa perkuliahan akan berakhir. Bukankah itu bisa jadi salah satu penguatnya agar orang tua View menyetujui hubungan mereka.
Dengan langkah yang lebih mantap, Joong meninggalkan pikirannya yang penuh perenungan dan berjalan ke arah dapur. Dia memutuskan untuk mengalihkan fokus, berusaha untuk merilekskan diri.
Joong sempat menyeduh secangkir kopi dengan hati-hati, menikmati aroma yang menenangkan sambil menunggu air mendidih. Ini semacam meditasi, cukup membantu menenangkan pikirannya yang gelisah.
Saat jemari Joong menyentuh cangkir, sebuah gelombang perasaan yang tak terduga menyergap hatinya. Rindu tak terjelaskan pada sosok itu, pria manis yang akan menyambutnya dengan kopi hangat di tiap pagi, telah muncul tanpa aba-aba.
getaran aneh di dadanya tak terelakkan, seolah ada bagian dari dirinya yang hampa tanpa kehadiran Dunk. Meskipun ia merasa telah berpisah jalan sejak lama, kenangan bersama Dunk masih menyala-nyala di dalam benaknya, kerinduan itu sulit dijelaskan.
Joong mengangkat cangkir kopi, kondisinya merenung, mencari tau kiranya kapan sumber kekosongan ini berhenti. rindu itu tetap menghantui, mengingatkannya pada ikatan emosional yang pernah mereka bagikan secara dalam.
Dengan perasaan campur aduk, Joong menghela napas panjang. Dia tahu bahwa meskipun masa lalu tidak bisa diubah, rindu tetaplah bagian dari perjalanan hidup yang harus ia hadapi.
Tiba-tiba Suara gemerincing dari tombol apartemennya memecah keheningan pagi, seolah menyiratkan kedatangan seseorang yang baru saja memasukkan kata sandi pintu itu. Denyut berirama dari tombol-tombol tersebut menarik perhatian Joong, mempercepat detak jantungnya.
Saat pintu terbuka, Joong termangu di sana, muncullah sosok gadis cantik yang membuat hatinya lega. Itu adalah sang kekasih.
"View, kau membuatku khawatir"
"Khawatir kenapa?" Tanpa ragu, dia langsung berlari ke pelukan Joong dengan erat "apa ada orang lain selain aku yang bisa masuk kesini?"
"Bukan begitu"
"Lalu?"
Joong hanya diam, dan View tersenyum meninggalkannya berlari masuk ke dalam sana. Dengan detakan jantung yang berdebar-debar, Joong membayangkan harapan tersembunyi di dalam dirinya sejak pintu apartemen terbuka. Sejenak, di saat sosok gadis itu muncul, dia hampir berharap bahwa yang muncul di balik pintu itu adalah Dunk.
Ia masih memikirkan janji masa lalu yang mereka buat bersama, tentang bagaimana jika suatu hari Joong bisa membeli apartemen untuk mereka berdua, maka angka kuncinya adalah tanggal mereka pertama kali berkencan. Tapi harapan itu segera sirna ketika View yang muncul.
Meskipun sedikit terhuyung, Joong mencoba menyembunyikan rasa kecewa, dia tahu bahwa masa lalu tak bisa diubah, dan dia harus menerima keadaan ini. Dalam pelukan kekasihnya, dia mencoba membiarkan perasaan yang tak terucapkan itu menyelinap ke dalam lapisan-lapisan hati yang terdalam, sambil berusaha untuk menikmati momen yang ada di hadapannya saat ini.
"Aku membawakan sarapan, khusus untuk Joong dari ibu"
"Terima kasih sayang, aku mencintaimu"
.
.
.
.
.Di atas meja makan apartemen barunya, Dew dengan hati-hati menyiapkan dua potong sandwich. Tangannya bekerja dengan cekatan, menyusun bahan-bahan di atas roti dengan presisi yang hampir ritualistik. Sesekali ia melirik ke arah Dunk yang duduk diam di seberang meja, matanya terpaku pada sandwich yang mulai terbentuk.
Ada keheningan yang aneh di antara mereka, nampak dipenuhi dengan harapan yang tak terucap dan kekecewaan yang menggantung di udara. Dew menatap miris pada Dunk, berharap ada kata-kata yang bisa menjembatani jarak di antara mereka, namun yang ada hanya dua sandwich yang menunggu untuk dimakan.
"Makanlah..."
Dunk menghela nafas "sekarang aku benar-benar merindukan Joong"
Dew menghela napas pelan, tatapannya tertuju pada Dunk yang duduk diam di seberang meja. Dia tahu persis apa yang dirasakan sahabatnya itu—kerinduan yang mendalam pada Joong, kerinduan yang tampak jelas di setiap gerak-geriknya. Namun, Dew juga tahu bahwa keputusan untuk menjauhi Joong adalah pilihan Dunk sendiri, sebuah pilihan yang diambil dengan berat hati demi melindungi Joong dari masalah yang mungkin terjadi.
"Lalu, Berapa lama lagi kau akan seperti ini, Dunk?" gumam Dew pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasakan keheningan yang menyesakkan di antara mereka, seolah-olah dua sandwich di atas meja menjadi simbol dari hubungan yang terputus dan harapan yang menggantung.
Dunk menatap sandwich itu, tetapi matanya terlihat kosong, dipenuhi dengan kenangan dan kekhawatiran.
Dew menatap sahabatnya dengan rasa iba, memahami dilema yang sedang Dunk hadapi. Ia ingin membantu, ingin mengatakan sesuatu yang bisa meringankan beban di hati Dunk, namun dia tahu bahwa kata-kata saja tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka yang ada. "Bagaimana jika kita pergi menemui nya?"
"Aku takut—
—apa yang kau takutkan?"
Dew mengamati pria manis yang duduk diam di seberang meja, menggenggam sandwich yang belum tersentuh. Dunk tampak tersesat dalam pikirannya sendiri, dengan tatapan yang mencerminkan kebingungan dan kepedihan yang mendalam.
"Dunk, aku tahu kamu merindukan Joong," Dew mulai dengan suara lembut, mencoba membuka jalan bagi sahabatnya untuk berbicara. "Tapi sampai kapan kau akan seperti ini?"
Dunk menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan kembali ke meja makan "Aku sendiri tidak tahu, Dew," jawabnya dengan suara serak. "Di satu sisi, aku takut. Aku takut kalau aku menemui Joong, dia akan terlibat masalah karena ku. Tapi di sisi lain, aku merindukannya begitu parah. Setiap hari rasanya seperti ada yang hilang."
Dew mengangguk pelan. "Aku paham. Tapi, kau tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kau harus memutuskan, Dunk. Apakah kau akan terus menjauh demi melindunginya, atau... Kau akan mencari cara lain untuk bersamanya tanpa membahayakan kalian?"
Dunk menghela napas panjang, menyandarkan tubuh ke kursi. "Itulah masalahnya, Dew. Aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku hanya tahu bahwa aku tidak tahan lagi hidup tanpa Joong"
Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sementara dua potong sandwich tetap berada di atas meja, menjadi saksi bisu dari kebimbangan dan kerinduan yang tak terucapkan.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa follow komen dan ninggalin jejak dulu 🙏🏻😭💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Letter To Him [Joongdunk]18+[END]
Fanfic"dia telah mengingkari janji, bagaimana kau bisa menyalahkan ku atas segalanya?" Dew menunduk, meremat tangannya sendiri dengan kekecewaan yang dalam "ikutlah denganku Joong, dan kau akan tau siapa orang yang sebenarnya mencintai mu hingga akhir hid...