Part 3

8 3 1
                                    

Sebuah rumah besar yang menjadi tempat dan saksi ia dilahirkan serta tumbuh menjadi remaja hingga dipaksa dewasa sebelum waktunya, kini menjadi tempat yang jarang ia injak. Selain panggilan dari sang ayah untuk membicarakan hal serius, maka di hari ulang tahun sang bunda yang sudah tiada adalah alasan malvin kembali menginjakan kakinya untuk melakukan makan malam bersama.

Meja makan yang dipenuhi hidangan sama sekali tak mambuat malvin berselera. Bukan karena hidangannya yang ia tidak suka, tapi karena keberadaan kepala keluarga Seron yang membuat malvin ingin cepat cepat beranjak dari duduknya.

Malvin bukan tak suka berada dirumah dimana dirinya dibesarkan.Namun, selain bentakan, tamparan, pukulan dan tangisan sang bunda, tak ada yang ia ingat lagi. Hanya itu.

"Bagaimana perusahan vin ?" Meja makan yang tanya hening kini di intrupsi oleh suara Jeffri

"Baik yah. Semuanya masih bisa aku kontrol" sambil kembali menyuapkan makan, malvin menah rasa muak yang timbul dihati kecilnya. Sang ayah selalu menanyakan kabar perusahan, tidak dengan kabar anaknya.

"Studi mu baik baik saja kan Jendan ?" Kini pertanyaan beralih pada sang anak bungsu.

Meski Jaffri tidak pernah ikut campur dalam kehidupan Jendan seperti dirinya yang ikut menentukan Jalan hidup malvin, namun Jeffri masi tetap memperhatikan gerak gerik sang anak bungsu.  Jeffri akan membiarkan Jendan menjalani hidupnya sebebas yang ia mau seperti wasiat istrinya, selagi itu tidak mempengaruhi nama baik seron yang sudah ia besarkan dengan susah payah.

"Baik yah"

meski Jendan tidak pernah menerima pukulan dari Jeffri. Namun, Jendan lah yang menjadi saksi Malvin dipukul tongkal golf karena nilainya turun, Jendan yang menjadi saksi malvin ditampar habis habisan karena terpergok membolos ketika les dan Jendanlah yang menjadi saksi bagaimana malvin menghadapi itu semua tanpa meneteskan air mata. Selain ketika pemakaman sang bunda, Jendan tak pernah melihat air mata sang kakak. Namun hal itulah yang membuat ia kagum pada sosok malvin, sekaligus menjadi alasan juga kenapa dirinya takut pada sang ayah. Walau Jendan tidak diperlakukan seperti Malvin tapi, Jendan melihat semua perlakuan yang diterima malvin.

"Bagus kalo gitu. walupun masih lama kamu sudah punya rencana ambil spesialis kan Jendan ?"

Jeffri kembali bertanya pada anak kedua yang menjadi alasan sang mendiang istri dulu memohon mohon padanya agar tidak ikut andil dalam mendidik Jendan dan membiarkan Jendan dibesarkan sepenuhnya dengan kasih sayang sang istri.

"Rencan..."

Drrrrt drrrrrt drrrrt

Sebuah suara ponsel memghentikan jawaban dari Jendan

"Ayah angkat telpon dulu"

Jeffri menenggalkan meja makan dengan ponselnya, menyisakan dua saudara yang tak membuka suara. Masing masing fokus pada makanannya, hingga suara berat malvin memecahkam keheningan.

"Bedah"

Jendan menggangkat kepalanya. Tatapannya tertuju pada malvin. Menedengar kata yang sang kakak ucapkan, Jendan tau kemana maksud dari pembicaraan.

"Gue mau ambil spepsialis anak, kalo engga gue mau ambil obgyn. Antara dua itu, gak ada yang lain"

"Ayah gak akan suka sama pilihan lo"

"Gue yang bakalan jadi dokter, bukan ayah!"

"Lo it..."

"JENDAN!"

Sebuah bentakan dari Jeffri yang baru datang berhasil menghentikan obrolan kedua bersaudara itu dan tentunya membuat Jendan yang disebut namanya dengan nada tinggi mersa begitu terkejut hingga spontan berdiri dari duduknya.  

ANAK PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang