(1) Sebelum

17 2 0
                                    

~
Kebahagiaan berasal dari diri sendiri dan seseorang tidak memiliki kewajiban memberikan kebahagiaan atas dirimu
~
.
.
.
.
.

~Kebahagiaan berasal dari diri sendiri dan seseorang tidak memiliki kewajiban memberikan kebahagiaan atas dirimu ~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tes tes tes"

Sedikit demi sedikit air menetes dari genting hingga jatuh mengenai kubangan didepan rumah minimalis itu, dibalik jendela seorang gadis sedang duduk dimeja belajarnya memandangi langit yang mulai membiru kembali.

Ekor matanya tak sengaja melihat dua burung yang terbang beriringan, senyum gadis itu tiba-tiba tercetak memperlihatkan dimple dipipi kirinya.

Pikirannya melayang, membuat skenario indah namun hanya dibayangannya saja atau bisa dibilang halu.

"Raiiin" suara samar seorang wanita memanggil si pemilik nama

Namun si pemilik nama alias Dirain masih tetap berada dihayalanya.

"Dubrak" hingga suara pintu yang dibuka kencang menyadarkan Dirain dari halunya.

"DIRAIN"

Seru wanita paruh baya yang berdiri di depan kamar Dirain dengan berkecak pinggang.

"Hehehe Ibu, ko cantik banget hari ini, lebih cantik kalo ga marah-marah tapi Bu" ucap Dirain dengan memperhatikan senyum watadosnya

"Kamu itu dipanggil udah seribu kali ga ada sahutan, itu telinga apa cantelan heh?" Jawab wanita paruh baya itu yang tak lain Ibu dari Dirain.

"Hehe" kekeh Dirain sembari meraba kedua telinganya.

*****
Dilain tempat dan waktu seorang remaja laki-laki yang memiliki tubuh sekitar 180 cm berdiri dikamar yang sudah sedikit berdebu, tak ada kehidupan disana sejak 18 tahun lalu. Dan ya umur remaja laki-laki itu juga menginjak 18 tahun tepat hari ini.

Mata tegasnya menatap bingkai foto seorang wanita muda, memperlihatkan senyum manisnya dengan satu dimple dipipi kiri, mungkin sekitar 21 tahun umur wanita muda itu.

Dirinya sadar bahwa bukan dia saja yang berada dikamar itu, seorang laki-laki paruh baya yang masih memperlihatkan ketampanannya juga hadir disana beberapa waktu lalu.

"Bagaimana jika ayah tidak bertemu dengan ibu?" Ucap laki-laki remaja itu tanpa melepas pandangannya dari bingkai foto digenggamanya.

"Kau tidak akan bertanya seperti itu, karena kau tak akan lahir" Jawab laki-laki paruh baya itu yang dimaksud ayah.

"Jika akhirnya dia menghilang, aku tak akan pernah mau mengenalnya" sambungnya lagi.

"Cih laki-laki brengsek sepertimu juga tidak pantas bertemu dengan wanita hebat seperti ibuku" sarkas laki-laki remaja itu dengan kekehan remehnya.

Laki-laki remaja itu tak lain adalah Diazga Allen Grant seorang remaja yang memiliki tinggi sekitar 180 cm diusianya yang baru menginjak 18 tahun, memiliki tubuh tinggi dengan fitur wajah tegas serta sorot mata yang tajam, duplikat Azgar Ian Grant seorang pengusaha sukses sejak umurnya yang masih 21 tahu dan kini umur lelaki itu sudah 43 tahun.

"Ha..ha..ha sayangnya laki-laki brengsek ini adalah ayahmu" Jawab Azgar berlalu pergi meninggalkan ruangan itu.

"Sialan"

Umpat Azga sembari menaruh kembali bingkai digenggamnya, kaki jenjangnya mulai melangkah ingin menjauhi ruangan yang sedari tadi ia kunjungi, namun siapa sangka sinar matahari menyilaukan pandangannya karena pantulan dari sebuah benda.

Pandangannya mencari sumber pantulan itu, hingga membawanya pada sebuah benda yang tersimpan pada laci disamping tempat tidur luas yang juga berdebu, laci itu tidak tertutup rapat membuat benda berkilau didalam memantulkan cahaya akibat matahari.

Tangan besarnya mulai membuka laci itu, hingga memperlihatkan sebuah jam tangan antik berwarna silver, rantai khasnya yang berwarna silver dengan sedikit garis emas ditengahnya, dan pada tepiannya, serta warna hitam pada penunjuk angka membuat jam tersebut terlihat elegan dan sederhana dalam waktu bersamaan.

Tangan besarnya mulai membuka laci itu, hingga memperlihatkan sebuah jam tangan antik berwarna silver, rantai khasnya yang berwarna silver dengan sedikit garis emas ditengahnya, dan pada tepiannya, serta warna hitam pada penunjuk angka membuat jam...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Azga mulai membersihkan debu yang menempel pada jam itu, dan dapat dilihat detik pada jam ditangannya diam yang menandakan jam sudah mati.

*****

Azga remaja itu menatap langit-langit kamarnya, satu tangan yang dijadikan bantalan dan tangan lainnya membolak-balikan jam tangan yang ia dapatkan siang tadi.

Pikirannya melayang membayangkan tangan kecil pemilik jam tangan itu, membuat kekehan miris tercetak dibibirnya.

"Tangan ibu pasti sangat kecil" ungkapnya pada dirinya sendiri.

Menyedihkan sangat menyedihkan pikir Azga saat ini, kesepian adalah temannya, menjadi seorang yang paling merasa terluka adalah dirinya, seseorang juga terluka bukan hanya dirinya, namun egonya selalu mengalahkan dirinya.

Azga selalu bertanya kapan rasa ini akan berkhir, rasa yang seharusnya tidak ia terus genggam dan akan selalu menjadi duri penghalang kebahagiaannya sendiri.

Tak ada yang menyalahkannya, sekali lagi tak ada, namun dirinya sendiri yang membuat semua terasa sulit, dan memang tak ada tempat bercerita untuknya, membuat apa yang Azga rasakan adalah kesendirian.

Hingga tersadar lamunan remaja itu teralihkan pada detik jam yang ia genggam tiba-tiba berputar, namun bukan putaran biasa, jam itu berputar begitu cepat.

Reflek Azga menegakan tubuhnya, entah cahaya datang dari mana pandang matanya menjadi silau, dengan cepat mata Azga menutup melindungi pandangannya.

Ketika ia membuka mata bukan lagi kamar gelap yang ia lihat, namun sebuah langit cerah dihadapannya saat ini, mata Azga menelusuri sekeliling, satu tangan menampar pipinya sendiri.

"Sakit, berarti bukan mimpi" mulanya ia masih mencerna apa yang baru saja terjadi dengan dirinya, hingga ia tersadar.

"Hah, bukan mimpi? Sialan dimana ini?" Ucapnya lagi panik sedikit berteriak.

Terlihat tempat yang Azga saat ini berada yaitu sebuah bangunan tinggi dan Azga berada diatasnya, atau bisa disebut bangunan itu adalah rooftop.

"Berisik" sahut seseorang yang sedari tadi memperhatikan Azga dengan gerak-gerik kebingungan.

Pandangan Azga tertoleh kearah sumber suara yang menyahuti dirinya.

Seketika kedua mata Azga membola sempurna.

Bersambung...

CRUSHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang