Disclaimers and content warning:
Cerita ini 100% fiksi, murni ide sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan para visual, BUKAN BXB, contain harsh words, suicidal thoughts, mental illness, rate for 13+, and lastly be a wise reader.
You good to go?
Let's Start.- P r a k a l a -
Camellia dan JanjinyaDunia adalah panggung opera milik Tuhan, dan manusia adalah para pelakonnya. Selayaknya mereka yang tengah berpentas di atas panggung, sudah sepatutnya kita tidak perlu khawatir perihal alur.
Karena semua sudah ada yang mengatur. Kita hanya perlu melakoninya tanpa tapi. Tak perlu terlalu di pikirkan apalagi sampai depresi.
Pemuda ini telah membuktikannya. Bahwa dalam hidup banyak hal yang berlawanan namun akan selalu berdampingan. Suka dengan duka-nya ataupun kesulitan pasti ada kemudahannya.
Sangat bertolak belakang namun selalu berdampingan.
Pagi ini pemuda dengan tinggi kurang lebih 170 cm itu kembali menginjakkan kaki di ibu kota, setelah setahun lebih memilih menetap di negeri orang.
Kulitnya terlihat putih pucat sangat kontras dengan rambutnya yang begitu hitam legam. Jika biasanya saat di Jepang pakaian hariannya lebih sering celana panjang dan baju yang agak tebal, maka tidak saat ia memutuskan pulang ke Indonesia.
Mengingat negara tropis ini panasnya bukan main, pemuda itu hanya menggunakan celana warna cream selutut dan kaos putih polos yang sedikit kebesaran. Tak lupa kacamata hitam yang menutupi mata sipitnya. Memberi kesan si paling turis walau sebenarnya warga lokal.
Dari kejauhan seorang pria paruh baya tergopoh gopoh menghampirinya. Sudah pasti itu suruhan ayah-nya untuk menjemput.
"Den, selamat datang kembali." Pria tua itu menyapa tuan mudanya sopan. "Kopernya biar bapak yang bawa."
"Makasi pak." Pemuda itu membalas dengan sopan pula. Lalu keduanya bergegas menuju mobil. Perjalanannya belum selesai.
Di mobil, pemuda itu lekas membuka kacamata, lalu menyandarkan kepalanya agar rileks. Paham betul bahwa tuan mudanya ini sedang kelelahan, supir itu segera melajukan mobilnya.
Sejenak keadaan cukup tenang, hingga tiba-tiba sesuatu terlintas di benak pemuda itu sampai-sampai langsung terbangun dengan wajah panik.
Hampir aja lupa, batinnya.
"Pak jangan langsung pulang, ya."
"Loh kenapa den? Emangnya ngga capek? Tuan kayaknya udah nungguin di rumah."
Pemuda itu bergerak dari posisi bersandar, lalu badannya ia condongkan kedepan mendekat kearah sang supir. "Aku mau ketemu temen dulu, Pak. Kangen." Seulas senyum terbit di bibir, sampai mata sipit itu terlihat hanya segaris.
Yang ia katakan memang benar. Ada kerinduan yang membelenggu. Hatinya terasa penuh sampai ingin meledak. Terselip juga sesak sampai ia ingin menangis. Tapi juga tak bisa menahan senyum karena sebentar lagi akan bertemu.
Libur panjang yang kesepian ini akan segera berakhir. Selayaknya musim dingin yang sunyi, setelah ini hatinya akan ramai oleh bunga yang bermekaran.
"Kemana memangnya den?"
Pemuda itu nampak berpikir sejenak. Ah, tidak mungkin jika ia berkunjung tanpa menbawa buah tangan, bukan?
"Anterin ke toko bunga dulu boleh ga, Pak? Yang bapak tau aja, aku kan pendatang," pintanya diakhiri kekehan kecil.
Supir itu mengangguk paham. Permintaan tuan mudanya terlampau sederhana, pikirnya. Iya sederhana, sebelum pinta yang lain terucap dari mulutnya.
"Tapi harus yang jual bunga camellia."
Mendadak senyum supir itu luntur. Mana ia tahu toko yang spesifik menjual bunga camellia atau tidak? Lagian bukannya bunga itu tidak tumbuh di kota panas seperti Jakarta ini?
"Waduh den, kalo itu mah susah. Di sini kayaknya jarang, soalnya tumbuhnya di tempat dingin."
Pemuda itu nampak merengut kesal. "Gak mau tau pokoknya harus bunga camellia, temenku sukanya bunga itu, Pak."
Ia kembali menyandarkan tubuhnya dengan tangan dilipat di depan dada. Pandangannya menerawang jauh melihat jalanan lewat kaca mobil.
"Kalaupun harus ke Bandung, ke Malang, aku jabanin. Yang penting aku gak mau ketemu temenku dengan tangan kosong."
Baik. Final sudah kemauannya. Tak bisa di ganggu gugat apalagi di bujuk. Hanya akan menghabiskan tenaga saja.
🐋🐋🐋
Langkahnya terasa semakin ringan ketika bunga camellia merah muda itu sudah berada dalam dekapannya. Sejak keluar dari toko bunga senyumnya tak pernah luntur, malahan semakin merekah.
Tak sia-sia ia mencarinya sampai ke kota ini. Bukan, tidak sampai ke Bandung, kok. Baru Bogor. Lelahnya terbayar lunas.
Matahari sudah merayap perlahan menuju barat. Sapuan jingga di langit sudah mulai terlihat. Beruntungnya ia sudah sampai di tempat temunya dengan sang kawan. Ia tak membuat janji terlebih dahulu, sudah tidak perlu. Lagian ia berniat membuat kejutan.
"Bapak tunggu di sini, aku gak bakal lama kok," titahnya. Supir itu hanya mengangguk patuh, ia sudah tidak penasaran lagi siapa yang akan dikunjungi sang tuan muda. Ia juga kenal.
Pemuda itu nampak menghela napas, menetralkan emosinya yang begitu menggebu. Bahagia dan haru berpadu dalam relung hatinya. Tapi sudah ia tekadkan sejak awal bahwa tidak akan ada tangis saat pertemuan ini.
Ia meletakkan bunga camellia merah muda itu di hadapan temannya. Bukan hanya perihal bunga, tapi pernah ada janji yang terucap diantara keduanya; Akan kembali bertemu dengan hati yang sama sama sudah sembuh, pun kedua kaki yang kembali sanggup menapak pada bumi, menopang tubuh dengan kepala yang siap bertarung dengan segala pelik.
Dan pemuda ini telah selesai pada misinya, kini tinggal menagih janji teman baiknya.
"See? Gue gak pernah ingkar janji."
merayu semesta; bersambung...
Biru, 28 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayu Semesta
Teen FictionIni adalah tentang kesalahpahaman yang belum menemukan titik akhir. Hanya mengandalkan sudut pandang masing-masing tanpa mau mendengarkan yang lain mejadikan sekat itu kian meninggi. Semakin menjauhkan keduanya yang sedari awal memang selalu berlawa...