Terkadang rasanya leher terbakar hingga pagi, seperti aku hidup berpasangan dengan api
Hindia; Cincin
Jeandra Nabastala Pramudya. Panggil saja Jean atau jika takut salah ucap bahkan terbelit dengan nama kembarannya, panggil saja Jeje.Kalau kata Jendra— kakak kembarnya, Jean itu sangat amat menyebalkan. Mukanya songong membuat tangannya gatal ingin menghajar. Seringkali Jendra melihat mata runcing itu menatapnya remeh.
Menurut Jendra pula, Jean itu banyak omong, membuat telinganya panas dan risih karena selalu berusaha menempel dengannya. Jangan lupakan jika Jean juga sumber dari segala masalahnya dengan ayah.
Ibaratnya seperti ini, jika Jendra itu sumbu pendek maka Jean itu koreknya. Jika Jendra itu gelap dengan sunyi-nya, maka Jean adalah bisingnya.
Namun, meskipun begitu Jean tidaklah menjadi terang. Karena nyatanya Jean itu ... abu-abu yang redup.
Kalau sudah puas menerka Jean dari sudut pandang orang lain. Maka kali ini, izinkan Jean menjelaskan hidup dari sudut pandang miliknya.
Kamar dengan nuansa minimalis dan cat putih gading yang bersih tanpa hiasan sama sekali. Bahkan jam dinding itu malah tergeletak begitu saja di atas nakas dekat tempat tidur dengan sprei abu abu.
Yang meramaikan kamar ini adalah tumpukan buku dengan beragam ukuran ketebalan di beberapa sudut. Kenapa dibiarkan seperti itu? Kenapa tidak di rapihkan menggunakan rak buku?
Jawabannya sudah. Bahkan sudah ada dua rak buku di sisi lain kamar, hanya saja memang sudah penuh. Jean tidak punya pilihan selain menumpuknya begitu saja di tempat-tempat yang sekiranya mudah dijangkau.
Kalau mengira buku itu adalah novel ataupun buku untuk hiburan belaka, maka kau salah. Salah besar. Hampir 70 persen koleksi Jean adalah buku penunjang materi sekolah, buku latihan soal, ensiklopedia dan banyak lagi yang berbau akademik. Sisanya adalah buku pengembangan diri yang mulai ia beli saat memasuki sekolah menengah.
Dibandingkan kamar Jendra, milik Jean terkesan lebih berantakan. Meskipun bukan sampah yang berserakan melainkan buku yang bertebaran di mana mana, tetap saja rasanya gatal ingin merapikan. Tapi Jean tak suka itu.
Seakan sudah menjadi peraturan tak tertulis. Siapapun yang masuk ke kamarnya, jangan pernah memindahkan posisi buku yang ada disana. Tapi tergantung, kalau mau melihat marahnya seorang Jeandra ya ... silakan.
Selain terkesan berantakan, kamar ini juga terasa gelap dan pengap. Penyebabnya seringkali si empunya tidak menyalakan lampu utama ataupun membuka gorden dan jendela. Karena baginya penerangan yang paling penting adalah lampu belajar.
Tak usah terkejut, hidup Jean memang hanya untuk belajar dan mendapat nilai bagus. Seperti pinta ayah.
"Shit!" Anak itu mengumpat walau dengan nada berbisik, tapi rasa kesal itu begitu kentara. Pasalnya kopi sialan itu tak sengaja tersenggol lengannya sendiri dan cipratannya menodai buku tulis.
Meskipun bukan buku tulis sekolah, melainkan hanya buku coretan untuk menghitung tetap saja Jean menggeram kesal.
"Kopi bajingan, sialan."
Begitulah kesalnya seorang Jean. Terus menggumamkan kata-kata kotor dan mengabsen nama nama binatang. Sangat kontras dengan wajah manisnya yang terkesan polos.
Kepalang kesal, Jean menenggak habis kopinya. Omong-omong itu adalah gelas kedua untuk malam ini. Jangan kaget, anak itu bukan maniak kopi, tapi memang hobinya saja menyiksa diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayu Semesta
Teen FictionIni adalah tentang kesalahpahaman yang belum menemukan titik akhir. Hanya mengandalkan sudut pandang masing-masing tanpa mau mendengarkan yang lain mejadikan sekat itu kian meninggi. Semakin menjauhkan keduanya yang sedari awal memang selalu berlawa...