[KIM BUM X KIM SO EUN]
Sekumpulan kisah pendek antara dua manusia. Tidak berlatar pasti, pun tidak memiliki ketepatan akhir. Hanya nikmati sepenggalan cerita-cerita mereka pada tiap-tiap bab yang tersuguh untuk menemani luangmu.
[Kumpulan cerita ini...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[Media, jika muncul, dari short manhwa Astra’s Dream by YAOwww0 on twt (X).]
Disclaimer: Cerita ini mengandung banyak kata eksplisit yang berhubungan dengan kekerasan atau umpatan yang dapat memicu rasa tidak nyaman.
Semua bagian dari isi cerita hanyalah karangan yang dibuat untuk menghibur. Latar yang dipergunakan dalam cerita tidaklah sepenuhnya tepat, serta hanya untuk keperluan cerita saja — termasuk karakter dan nama yang ada dalam cerita.
Dilarang keras untuk mempublikasikan ulang maupun menyadur cerita ini tanpa izin penulis.
Words count: 4500+
Selamat membaca.
•••
Tiap denyut kesengsaraan bukanlah untuknya. Hadir dalam wangsa dalam masa jaya dan menemui ikatan takdir yang lebih masyhur. Gadis ini tidak kalut pada apapun yang akan ia lalui. Tak ada barang sedikit terlintas bahwa ia harus menyungkup sebuah kesesatan yang ia lakukan hanya karena sebuah ... cinta? Tidak, itu bukan— hanya sebuah hasrat sebagai insan yang baru keluar dari sangkar.
Di dalam bilik kamar mandi ia menggigit bibir dalam tekanan gelisah. Ia merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya di malam ia akan melangsungkan pernikahan. Para pelayan sibuk mencari tahu penyebab dan mencoba membenahi kesalahan minor sekalipun di dapur. Namun kegelisahan orang-orang jauh berbeda dari yang ia terima. Ia berpegang pada handlebar dengan keringat mengucur dan air mata yang tak terbendung ketika merasakan sesuatu keluar dari tubuhnya.
Dengan tubuh gemetaran, ia membersihkan segala hal yang membawanya pada histeria untuk pertama kali. Termasuk segumpal darah yang ia intip sesaat sebelum ia membersihkan semua itu dengan air. Semua akan baik-baik saja, air yang jernih akan menghilangkan segala jejak dan renyut ketenangan hidupnya akan kembali seperti semula.
Sementara distopia yang tidak pernah ia bayangkan dari kehidupan lain di luar sana tengah melaju untuk mempertahankan denyut kehidupan, suara revolver dan segala bentuk pertahanan lain memekak telinga termasuk jeritan perjuangan keputusasaan. Dalam tekanan mengecutkan hati, darah yang tumpah di sini tidak bisa hilang dengan air jernih sekalipun, hanya karena pemuda ini salah satu boneka para wangsa penguasa yang akan memberinya kepingan emas. Baunya akan mengelana dalam kepala sampai tahun terus bergilir pada masa yang tidak pernah terbayangkan. Waktu berlalu terlalu cepat.
Itu semua kejadian yang terjadi ketika wanita ini masih seorang gadis naif. Ia kini tengah membaca lembaran-lembaran koran yang memberitakan kemasyhuran seorang pria dalam memegang senjatanya pada peperangan di tenggara. Ia mengenali laki-laki ini. Masih anyar untuknya ketika mata elang tersebut mencecar jiwa dalam tubuh yang dibalut luka. Diam-diam wanita ini meremas ujung koran pada ketenangan ditemani bayang-bayang dalam kepala.
Ia buru-buru menutup mulut sebelum mencekuk dengan tangan gemetaran, lalu kereta kuda yang berhenti mendadak menyadarkannya. Ia lantas mengintip dan melihat segerombolan orang militer lewat pada kecepatan yang mengejutkan menunggang kuda. Saat itu pula pandangannya menemui kembali tatapan elang yang tersimpan baik-baik dalam memori. Pandangan tersebut lebih menusuk dan penuh kebencian yang memaksa jiwanya untuk cepat-cepat menutup tirai kereta kudanya kembali.
‘Dia benar kembali ...’
•••
Serata negeri tahu kalau Pasukan Khusus telah kembali dengan membawa kemenangan dari Kaukasus setelah beberapa tahun perang terus berkecamuk di sana. Banyak prajurit panggilan yang masuk untuk membantu pergerakan ini termasuk orang-orang Sinae yang dalam beberapa tahun mulai memiliki peran dalam keberlangsungan Tsardom ini. Untuk itulah di malam pertama kejayaan, sang Tsar mengundang banyak orang-orang penting sebagai bentuk pengeratan hubungan demi kemajuan negeri ini.
Para legiun yang menjadi bintang, terutama para Jenderal yang memimpin di baris depan di medan tempur lalu pada malam ini. Dari sekian banyak Jenderal pun hari ini yang tersisa hanya beberapa, yang paling mencolok adalah seorang Sinae Selatan berpangkat Letnan di bawah kepemimpinan Jenderal Viktor, ia satu-satunya berasal dari Sinae yang tersisa. Rumor mengatakan ia bagai mesin kematian yang meluluhlantakkan segala musuh meski mereka menurunkan senjata. Moral yang ia buang jauh-jauh itu kini membawanya menghadap sang Tsar untuk mendapat lencana sebagai Jenderal Pasukan Khusus baru menggantikan Jenderal yang gugur sebelumnya.
Orang-orang menyelamati Jenderal baru Pasukan Khusus ini, tak terkecuali salah satu pebisnis yang namanya tampak seperti gemericik uang tiap kali orang mendengarnya, Mikhail Fedorov. Nama itu tampaknya sangat membawa kemujuran sebab ia mengibarkan banyak sayap dalam dunia bisnis. Ia datang dengan istri cantiknya yang beberapa kali membuang wajah darinya. Wanita yang sama-sama dari Sinea Selatan sepertinya.
“Selamat untuk keberhasilanmu, Jenderal.” Mikhail menyodorkan tangan yang disambut hangat oleh Jenderal baru ini. Untuk sesaat sang Jenderal melirik Nyonya Fedorov yang tampak tidak nyaman berusaha tersenyum padanya. “Tidak perlu terlalu formal Tuan Fedorov, kau tahu namaku, benar?”
Mikhail yang tersenyum berusaha mengenalkan istrinya yang malam ini sangat luar biasa cantik. “Oh, ini istriku,” sehingga ia dapat menjabat tangan wanita tersebut yang dibalut sarung tangan sutra, gaun kemben beludru hitam yang ia kenakan menggoda banyak pasang mata sebab tampak malu-malu tertutup selendang bulu putih pada bagian bahu hingga ke punggung lalu melilit lembut tangannya.
Wanita ini berusaha tersenyum, “Kim So Eun, senang melihatmu kembali dengan selamat, Jenderal.” Suaranya terdengar manis di telinga sehingga sang Jenderal menyunggingkan senyum terbaiknya.
“Kau bisa memanggilku, Kim Bum, Nyonya,” ia dengan halus memberikan tekanan ketika mata mereka bertemu.
Ketika Mikhail membawanya untuk bertemu para tamu lain, Kim So Eun dalam tekanan yang ia simpan baik-baik berusaha untuk tidak bertemu Kim Bum yang kerap kali memberi tatapan yang ia tidak bisa deskripsikan. Ia ingin cepat-cepat Mikhail membawanya pulang sebab semakin lama ia merasa mual akan atmosfer yang laki-laki itu berikan tiap mereka bertemu pandang.
•••
Pada pagi yang dituruni salju, ketika kepulan teh hangat menari-nari dengan lembut mengitari meja dan aroma pastei salmon dan jamur yang baru keluar oven, samar terdengar suara kuda yang memekik. Wanita yang baru selesai berpakaian ini cepat-cepat memasang antingnya. Ia yang ditemani pelayan setianya terperanjat melihat tamu yang datang dengan jas biru gerau khas militer berdiri memberi salam. Tidak pernah ia bayangkan laki-laki ini akan datang saat Mikhail tengah keluar kota setelah pekan lalu pertemuan mereka pada acara perjamuan.
Dengan canggung ia tersenyum, “apa yang membawamu kemari, Jenderal Kim?”
Laki-laki ini memperhatikan penampilan wanita di depannya sesaat sebelum bicara. Kim So Eun tampak cantik dengan gaun merah muda di bawah lutut dengan kalung aksen mawar dan rambutnya tergerai bergelombang. “Aku membawa kabar duka untukmu, Nyonya,” ia melepas ushanka yang ia kenakan sebagai bentuk penghormatan. “Kapal yang dinaiki Tuan Fedorov tidak selamat dari keputusan Tsar—”
Kim So Eun menampakkan wajah terkejutnya, “apa maksudmu??” suaranya penuh penekanan. Diam-diam laki-laki di depannya ini menyukai wajah cantik itu saat terkejut. Oh, Mikhail kau meninggalkan wanita secantik ini dengan dosa-dosamu.
“Nyonya, ini mengenai bisnis ilegal yang Tuan Fedorov lakukan dengan musuh selama tiga tahun ini. Ia memasok banyak senjata dan mendanai pihak musuh, apa kau tidak mengetahui ini?”
Seharusnya pagi ini ia akan menuliskan surat pada Mikhail untuk segera pulang sebab ada berita bahagia yang ingin ia sampaikan, namun ternyata berita duka meranyak lebih cepat di pagi hari yang damai ini. “Jenderal Kim ... bagaimana dengan jasadnya?” Air mata wanita ini menetes bersamaan dengan sorot mata mereka yang bertemu saling tarik-menarik.
Untuk sesaat Kim Bum yang melihat wanita ini menitihkan air mata terdiam. “Kami takut tidak menemukannya, Nyonya,” ia mengambil sapu tangan, kemudian dengan lembut berusaha mengusap air mata tersebut. Namun So Eun menepis dengan tak senang. “Semoga mereka menemukannya.” Serunya lamat-lamat selepas penolakan tersebut.
‘Aku benar-benar kembali.’
Kim Bum bersama pion-pionnya bergegas keluar dari area rumah ini dengan kereta kuda mereka. Menyisakan So Eun yang bagai tersiram air sungai di musim dingin ini. Ia membeku di depan pintu dengan mata berangsur-angsur menyalang menatap sapu tangan sialan yang menyentuh kulitnya dengan kurang ajar tadi.
•••
Pemakaman jasad Mikhail sudah dua pekan lalu. Banyak hal berubah dan runtuh begitu saja termasuk banyak bisnis yang bergerak di bawah kaki laki-laki hebat dari wangsa Fedorov itu kolaps hanya dalam beberapa waktu. Selama masa-masa penantian jasad yang tidak lagi bisa diberkati dengan baik, orang-orang dari pemerintahan datang untuk terus mencecar So Eun mengenai bisnis yang ia sendiri tidak ketahui. Selama ini ia hanya hidup bagai seorang puteri yang tinggal menikmati hari-harinya tanpa celah apapun. Ia bahkan sudah tidak lagi peduli pada kehancuran bisnis suaminya dan memilih untuk menepi selepas banyak sidang yang ia lakukan atas nama sang suami.
Ia benci situasi di mana ia terpojok, sendirian, tidak diberi kesempatan untuk benapas santai sehingga hari-hari ia lalui dengan makan buah-buahan yang Galina—pelayan setianya—beri. Wanita yang telah bersamanya sejak ia kecil ini juga diminta selalu keluar dari ruangan ketika ia disidang. Ia juga benci ketika Kim Bum ikut bicara memojokkannya yang jelas tidak tahu-menahu apapun mengenai bisnis lain di luar negeri. Selama ini ia hanya tahu kalau mereka memang memiliki bisnis persenjataan untuk negara dan saham pada bisnis pertambangan. Ia selalu menangis sendirian selepas sidang usai. Bukan karena ia takut, tapi ia benci bagaimana Kim Bum tampak menyukai penyiksaan kalimat-kalimat yang keluar untuknya.
Hari ini konvensi terakhir dan keputusan sudah ditentukan bahwa harta yang berhubungan dengan pengkhianatan tersebut akan diambil negara dan ia akan jadi tahanan rumah. Kini yang tersisa hanya rumah mereka yang penuh bayang-bayang di masa mereka saling mengasihi. Dalam kesakitan ini, untuk kedamaian yang selalu ia miliki, So Eun memilih untuk menaiki kuda seorang diri meninggalkan Galina yang mungkin akan menangis mencarinya.
Ia butuh ketenangan dari segala mimpi buruk yang mendadak datang sejak Kim Bum datang dengan persona iblisnya itu. Mungkin memang benar Kim Bum merupakan mesin kematian dari Senae Selatan yang akan menghancurkan apapun jika ia mau mengayunkan senjatanya. Namun dalam kasus So Eun, laki-laki ini melempar peluru sebagai ganti bunga mawar di atas pusara hidupnya. Sekarang yang tersisa hanya dia yang menangkup bunga mawar dalam dekapan di atas kehancuran ini.
“Kau pergi tanpa izin penjaga, Nyonya.” Bulu So Eun meremang mendengar suara itu hampir menggema di antara makam-makam yang tertimbun salju.
Wanita ini meremas mawar yang ia bawa untuk sang suami yang terbaring di bawah tumpukan salju. “Aku hanya menemui suamiku.” Ia tidak menoleh dan sibuk merapikan bunga yang ia bawa untuk di simpan di atas pusara cintanya.
Belum sempat So Eun berdoa, ia melihat Kim Bum menaruh tiga peluru tepat di depan buket mawar merah yang ia bawa. “Untuk masa lampau, kini, dan masa depan.” Tukas pria itu begitu saja sehingga So Eun menatapnya seperti belati yang menusuk dada.
“Apa maksudmu, bajingan?” Kim Bum terkekeh mendengar suara So Eun yang penuh ancaman. Wanita ini begitu mempesona sampai umpatan pun terdengar indah keluar dari mulutnya.
“Oh, So Eun, kau tidak mungkin terus berpura-pura tak tahu, benar?” Pria ini mendekat membawa senyum menawan yang membuncah hati panasnya. So Eun tampak jelas sekali ingin mencekiknya sekarang, namun Kim Bum tak peduli. Ia menikmati apapun yang perempuan ini suguhkan. Semuanya tampak bagai hiburan sekarang dalam genggamannya.
Dengan lembut Kim Bum menarik helaian rambut So Eun untuk ia cium sebagai pengganti tangan wanita tersebut yang tampak sibuk dalam kekesalannya. “Kurasa kau sudah menikmati serpihan dari luka-luka yang aku tuai menuju jalanmu. Bagaimana rasanya, So Eun?”
So Eun tidak mengatakan apapun, ia mundur menjauh sembari memegangi perut dan kepalanya. Kim Bum memerhatikan wanita tersebut yang jalan menjauh sampai ia tersadar salju yang wanita itu lalui memiliki bercak-bercak merah. Untuk sesaat ia terdiam memproses segala hal dalam kepala hingga So Eun tiba-tiba ambruk di tengah tumpukan salju.
“SO EUN?”
•••
Kepala yang terasa berat menyulitkannya untuk membuka mata. Dalam pandangan yang masih buram ia melihat sosok laki-laki berkemeja hitam tengah berdiri dekat jendela menikmati udara dingin yang menyentuh lembut kulit-kulitnya. Untuk sesaat ia terlena dengan kenyamanan yang ia rasakan sampai ia teringat perutnya yang sempat sakit sehingga ia buru-buru bangkit dan memicu atensi laki-laki itu.
“Bagaimana perasaanmu?” Pertanyaan tersebut seperti pisau yang menusuk kembali lukanya. Wanita ini menatap tak suka.
Kim Bum mengambil gelas air dan menyodorkannya. “Minumlah, sudah dua hari kau terbaring di sini. Tidakkah kau haus?”
“Jangan sok peduli, Jenderal, ini bukan tugasmu.” Kim Bum yang mendengar umpatan tersebut lagi-lagi terkekeh. “Aku hanya menawarkan minum, So Eun.”
Untuk sesaat So Eun termenung dan ia merasakan perutnya masih sedikit nyeri. “Apa yang terjadi?” Ia berusaha untuk tidak berpikir macam-macam setelah ia menyadari ia pingsan di pemakaman.
“Aku tahu ini berat, tapi aku harus mengatakan ini—”
“Bagaimana janinku?” So Eun menginterupsi.
Kim Bum menghelas napas, “kau keguguran. Dokter mengatakan kau terlalu stres dan tidak makan dengan baik,” ia duduk di ujung kasur dan secara halus membelai rambut wanita ini. “Bukankah lebih baik begitu? Kau tidak perlu menambah beban hidup—”
Satu tamparan keras mendarat pada pipi Kim Bum. “Jaga bicaramu, iblis.” Tidak tampak ekspresi apapun pada pelafalan tersebut sehingga terdengar begitu dalam. Wanita ini kehilangan banyak hal dalam kurang dari dua bulan. Untuk itu Kim Bum hanya diam menatap mata kosong wanita di depannya ini.
Dengan gerakan lembut Kim Bum menarik So Eun dalam pelukan sebagai penghormatan sekaligus permintaan maaf atas ucapannya tentang jabang bayi wanita ini. Ketika So Eun merintih seolah ia merasakan belati menusuknya berkali-kali, Kim Bum menyadari bahwa balas dendamnya hampir sempurna pada wanita ini, yang menghancurkannya sampai ia merasakan So Eun jatuh dalam dekapannya sekarang. Kebencian yang ia simpan pada keluarga wanita ini dan keluarga Fedorov telah dikembalikan dengan sempurna sampai ia bisa melihat semuanya hancur perlahan-lahan hanya dalam dua bulan ia menarik pelatuk pada satu titik.
Bisnis keluarga yang hancur memang tidak bisa ia dirikan kembali, namun satu peluru berhasil ia lepas untuk membalikkan semuanya. Dalam kehancurannya itu, cinta yang merebak seperti di musim semi menusuknya dari duri-duri batang bunga yang tidak terlihat— kini ia taburkan racun di atas pasu yang So Eun genggam. Tak perlu baginya bergerak untuk menarik pelatuk, kenangan manis yang tersisa bagi wanita ini telah lebur. Segalanya telah berbalik bahkan ia kini berhasil menyimpan sisa-sisa yang ada dalam kepalan.
“Kau biadab, Kim Bum.” Itu kalimat yang keluar sebelum So Eun tidur dalam genggaman damainya.
Kim Bum tidak menjawab, hatinya telah redup bersama ratusan orang di Kaukasus yang mati. Dia mungkin kini benar-benar telah menjelma menjadi iblis seperti yang orang-orang katakan, ‘dia mesin kematian dari Senae Selatan, yang memberimu kehancuran dalam sekali tebasan.’
•••
Pagi hari ketika perapian baru dihidupkan di ruang tamu, Kim Bum pergi memeriksa kamar yang digunakan So Eun tampak masih temaram, yang ia ingat wanita itu biasanya akan duduk dekat jendela sembari membaca buku dengan penerangan yang menandakan ia ada di sana. Namun kali ini ia tidak menemukan sosok cantik tersebut yang akan memandangnya dengan wajah tak bersahabat. Lantas ia bergegas keluar rumah untuk memastikan satu hal sampai ia bertemu prajurit yang berjaga mendekatinya.
“Jenderal, sepertinya ia pergi dengan kudanya.”
Saat itulah ia memutuskan untuk bergegas mencarinya. Wanita yang masih harus membayar tiap denyut kesakitan yang ia terima di masa lampau tidak boleh pergi begitu saja. “Cari perempuan itu, ia bisa jadi masalah untuk kita.”
[••]
Sementara itu, dengapan jantung yang membawanya menjauh dari kota, menuju tempat yang tidak diketahui oleh siapapun meski oleh Mikhail, bahkan mungkin Galina sendiri juga akan lupa tempat tersebut. So Eun menarik napas ketika kudanya hampir saja oleng karena sebuah akar pohon yang dilalui, seolah ia diberi peringatan bahwa mungkin kini Kim Bum sudah menyadari kepergiannya.
Sebetulnya ia sendiri tidak tahu mengapa ia lari dari Kim Bum, namun hatinya mengatakan ia harus segera mangkat dari sosok kelam tersebut. Memori yang berselindung kini menguar samar-samar— tentang bagaimana dulu senyum Kim Bum tampak manis dan tulus, sosoknya yang dulu begitu lembut ... tidak, So Eun buru-buru menepis semua bayang-bayang yang sudah tamat itu. Ia tidak boleh menoleh ke belakang.
[••]
Penciuman anjing pelacak yang berlari bagai cemeti dewa membawa rombongan panjaga keamanan pada sungai besar yang separuhnya membeku sehingga mereka berhenti dan memeriksa sekitar. Mereka menemukan jas panjang yang mengapung tersangkut di akar pohon besar yang tertarik-tarik aliran sungai.
Saat regu ini mengelilingi sekitar, Kim Bum datang dengan kuda hitam lengkap dengan jas bepergian dan sarung tangan kulit. Ia menyesap cerutu sembari tersenyum melihat cara So Eun yang bisa dibilang cukup cerdik untuk menghilangkan jejak. Wanita itu pasti tidak ada di sini sebab sejak awal mereka mengejar bau yang berasal dari pakaiannya yang disebar.
“Yah ... dia lumayan juga untuk ukuran tuan putri.” Gumam salah satu petugas dengan kekehan setengah kesal.
Kim Bum tersenyum menanggapi. “Dia lebih cerdas dari ini, ia hanya menahannya agar aman sejak awal,” ia lantas segera menaiki kudanya kembali.
“Aku yakin dia sebenarnya banyak terlibat dalam bisnis suaminya.”
Kalimat tersebut membuat Kim Bum terkekeh, “memang benar, itu sebabnya aku memberondongi dia di pengadilan. Sayang sekali jaksa penuntut itu lebih terpesona pada kecantikannya.”
[••]
Pada situasi mencekam tadi akhirnya So Eun sampai di desa yang telah lama tidak ia kunjungi ini. Ia berjalan dari dekat hutan meninggalkan kudanya agar tidak membawa aroma yang bisa dilacak anjing-anjing para petugas keamanan. Ia telah mengestimasikan segalanya baik-baik sejak ia bangkit dari rasa sakit pasca keguguran beberapa hari lalu. Kini rasa aman kembali dapat ia hirup meski ia agak gemetaran merasakan dingin yang menusuk sebab pakaian seadanya yang ia kenakan.
Ketika ia sampai pada gerbang desa, seorang gadis umur belasan menghampirinya dengan instensi khawatir. “Nona, apa kau datang dari jauh?” Ia melepas jubah yang ia kenakan.
So Eun mengangguk, “Ya, aku datang untuk menemui Heidi.” Ia memeluk bagian depan jubah tersebut.
“Maksudmu Heidi Lehtonen?” Gadis ini berusaha mengampu So Eun yang tampak telah kehabisan tenaga.
“Benar, apa dia di sini?”
Gadis ini menyangguk dalam kekhawatiran. “Iya, kebetulan aku tinggal dekat rumahnya. Biar aku bantu menemuinya, di jam seperti ini dia biasanya ke hutan mencari kayu bakar.”
Hati So Eun menghangat mengetahui wanita yang ia pinta untuk menetap ternyata memegang janjinya meski ia sendiri hampir lupa. Dalam hidup yang ia jalani tanpa terikat pada apapun, kebaikan yang ia beri pada Heidi ternyata dapat menolongnya hari ini. Entah bagaimana dulu ia benar-benar bersikeras membantu wanita itu dengan penyakitnya dan memberikan fasilitas di desa ini. Hanya jika ia percaya pada keajaiban sejak dulu, mungkin ia akan membantu orang lebih banyak.
•••
Rasa pahit-manis cokelat panas dalam gelas mengembalikan kedamaian dalam jiwa. Suara kayu yang perlahan-lahan lebur dilahap api pun turut menjadi bagian dalam ketenangan ini. Heidi datang dari dapur membawa pastei yang baru keluar dair tanur lalu diletakkan di atas meja. Ia menatap So Eun yang tampak kacau jika dilihat dari air wajahnya— mata yang lelah dengan pandangan kosong, rambut yang tidak ditata benar, dan bahkan ia tampak kurus. Heidi ingin bertanya pada wanita ini, namun terus menahannya sebab ia rasa akan sulit untuk wanita ini jika ia mendorongnya.
“Nona—”
“Heidi, panggilan namaku dengan benar, bukankah kita berteman?” Senyuman yang Heidi tidak pernah kira akan lihat. Bukan sebab ia pernah menunjukkannya, namun ini tampak seperti keputusasaan sekarang.
Heidi meraih tangan So Eun. “So Eun, kau perempuan hebat,” ia memberikan senyum terhangat untuk wanita ini. Sebetulnya ia tidak begitu tahu bagaimana kehidupan memperlakukannya hingga perempuan yang dulu kerap tersenyum penuh percaya diri kini tidak begitu bisa ia temukan. “Katakanlah padaku kalau kau memerlukan sesuatu.”
So Eun tertegun sejenak, ia menarik napas lembut. “Terima kasih atas kebaikanmu. Untuk sekarang, aku hanya perlu tempat bernaung sampai aku bisa menentukan tempat baru.” Lalu ia tersenyum simpul.
Heidi tidak dapat mendengar suara perempuan yang dulu sangat lantang atas segala keputusannya, untuk itulah ia mengangguk dan memahami bahwa waktu merubah banyak hal. “Apapun yang kau perlukan, So Eun.”
•••
Pelarian yang So Eun lakukan dapat dikatakan sukses, sebab hampir genap satu bulan ia tinggal di pesisir gunung ini dengan Heidi yang mengajarkan ia banyak hal termasuk menggunakan puukko—pisau berburu—yang dulu kerap kali jadi pertanyaan olehnya tiap kali melihat orang-orang di pasar tradisional membawanya di pinggang. Penampilan So Eun pun kini berubah jauh dari kata glamor elegan yang menjadi abdalan berpakaiannya sehari-hari, termasuk rambutnya yang kini selalu digelung asal-asalan.
Kadang kala ia berpikir, mungkin saja Kim Bum pura-pura tidak tahu dan membiarkan dia begitu saja, sebab di desa ini tidak ada pemberitaan apapun mengenai dia atau bahkan kehidupan di kota sana. Mungkin sesekali berita kemasyhuran Tsar selepas perang berakhir. Desa ini seperti memiliki kesibukannya sendiri dan tidak benar-benar terikat oleh kekaisaran sana. Seperti beberapa saat lalu, ia sempat dengar kalau tidak ada satupun orang-orang di sini yang ikut andil berperang ke Kaukasus dan tidak juga mendengar desas-desus warga yang terdengar seperti pengkhianat. Di tempat ini hanya ada kehidupan mereka yang tentram.
So Eun menarik tali kekang kuda yang ia ajak ke hutan untuk berburu rusa. Ini kuda yang saat ia melarikan diri ia tinggal, terdengar seperti keajaiban ketika ia menemukan kuda ini berkeliaran di hutan dan dapat dengan mudah ia bawa. Keringat kekecewaan kini mengalir musbab ia tidak mendapat tangkapan apapun, membuat ia tergugah untuk ke area sungai yang ramai dibicarakan karena cukup banyak ikan yang bisa didapat dari sana. Akan tetapi banyak pula yang melarang memberangkatkan diri sendiri sebab kadang kala beruang mencari makan di sana. Lantas di sinilah So Eun sekarang, turun dari kuda melihat sungai yang sebagiannya masih beku di dekat ia berpijak.
So Eun agak melirik kudanya yang meringih tak senang. Ia tak tahu apa, yang jelas kuda ini tampak memberi sinyal untuknya. Oleh karena itu So Eun meneliti sekitar dan mendengar suara kuda lain dari arah timur di mana hutan menuju wilayah luar desa berada. Diam-diam So Eun menelan ludah karena hatinya mendadak gundah. Kemudian ia mendengar suara deraman beruang dan pacuan kuda yang makin dekat, disambung suara revolver yang memekak sehingga kuda yang bersamanya berlari ketakutan.
Dalam histeria yang tidak dapat ia ungkapkan, So Eun dikejutkan dengan beruang besar yang mengamuk mendekat padanya. Namun hal yang membuat jantungnya seperti melompat adalah orang di atas kuda itu. “Kim Bum ...”
So Eun hampir gemetar dihadapkan pada hal yang paling tidak ia inginkan. Kedamaiannya ... namun beruang yang saat ini membuat ia terjatuh di atas sungai beku menyadarkannya untuk segera melakukan sesuatu. Beruang itu melukai kakinya dan kini Kim Bum tak jauh darinya tampak bersiap menarik pelatuk.
“Jangan bergerak,” suara yang terdengar begitu tenang sehingga membuat So Eun semakin masuk pada jurang ketakutannya. Lalu selanjutnya ia mendengar suara yang memekak telinga beberapa kali dari revolver itu dan darah mewarnai salju bersih di sekitar.
Untuk sepersekian detik tak ada pergerakan apapun kecuali sang beruang yang ambruk di depannya, dan belum sempat So Eun menatap pria itu kini ia merasakan tubuhnya membeku dan semuanya terasa hilang begitu saja. Namun yang ia tahu, Kim Bum turun dari kuda belingsatan berlari ke arahnya dengan wajah khawatir.
•••
Derakan kayu yang menghantar panas pada kulit menyadarkan So Eun untuk bangkit dari kegelapan yang menyungkup. Ia mengambil napas dengan serakah mengingat terakhir kali keadaan yang menimpanya, dan mendapati dirinya telanjang dengan sehelai kemeja setengah kering membalut tubuh. Lalu wajah Kim Bum yang sekelebat masuk dalam kepala memaksa ia meneliti sekitar, pakaiannya terlepa dekat perapian tersebar bersama jas militer laki-laki itu. Benar, ia masuk ke dalam sungai yang cukup dalam untuk ia sadari. Namun entah mengapa ia sangat marah. Kim Bum merampas banyak darinya dan ia kini juga datang untuk mengambil kedamaiannya lagi.
So Eun menelusuri sekitar dan menemukan puukko dekat patahan kayu. Dengan napas memburu ia mengambil pisau berburu itu lalu mendekat pada Kim Bum yang tampak tenang dengan mata terpejam. Dari jarak dekat ia bisa melihat ada banyak bekas luka goresan dan keloid akibat bekas tembakan di sana-sini seolah menegaskan pria ini telah melalui kehidupan yang keras jika dibandingkan dengan kulitnya yang baru memiliki bekas pada kaki akibat cakaran beruang tadi. Ia menelan ludah dalam gemuruh dada yang memanas merasa marah dan kalah secara bersamaan pada sosok di depannya ini.
Dengan gerakan ragu So Eun bersiap menancap pisau tersebut tepat di dada sebelum satu tangan pria itu menahannya. “Wah, begini rupanya caramu berterima kasih?” Lalu mata mereka bertemu dalam penerangan yang samar di bilik kayu ini.
Sembari menelan ludah So Eun tak gentar untuk menusukkan pisau tersebut. Namun Kim Bum justru tersenyum dan menarik pinggangnya mendekat. “Jika kau mau membunuhku, seharusnya jangan ragu sejak kau memegang pisau ini,” ia bergerak dengan mudah merampas pisau itu ketika So Eun melonggarkannya.
“Tapi aku takjub pada keberanianmu, tidak ada yang berani mencoba melakukan ini. Bahkan musuhku di medan perang hanya berani dari jarak jauh.” Kim Bum memain-mainkan pisau tersebut, menempelkannya dengan halus pada kulit leher So Eun lalu menurun ke dada. Ia tersenyum dengan menawan dan membelai pinggang So Eun dengan satu tangan. “Sekarang katakan, kau ingin aku menyelesaikan ini di leher atau kita akhiri dengan damai?”
So Eun membuang wajah dan mendorong tangan Kim Bum dari hadapannya. “Oh pilihan yang tepat, jadi mari berpakaian dan kembali ke kota. Pelayanmu hampir setiap hari memohon bantuan padaku karena Nyonya kesayangannya kabur begitu saja.”
Kim Bum bangkit memeriksa keadaan di luar bilik ini. Ia mengambil pelples dan menenggak wiski di dalamnya dengan santai. “So Eun, apa dulu kau benar-benar hamil?”
So Eun yang tengah mengancingi pakaiannya yang hampir kering tertegun. Ia melirik Kim Bum yang bersedekap tanpa dosa sehingga membuat ia menatap tak suka. “Apa maksudmu? Aku dan Mikhail—”
Kim Bum terkekeh, “kau tahu ini bukan tentang kau dan Mikhail,” ia menandaskan wiski yang tersisa.
So Eun dengan kepala dan ingatan yang bergulung-gulung terdiam sejenak. “Itu hanya masa lalu—”
“Aku hanya memastikan sesuatu yang membuatku bertanya-tanya setiap hari.” Mata mereka bertemu, So Eun menemukan sorot mata yang tidak dapat ia artikan. Penyesalan? Bukan, itu semacam sesuatu yang membuatnya ragu untuk menancapkan pisau tadi.
“Ya, dan sebaiknya kau lupakan itu untuk kedamaianmu.”
Kalimat tersebut mendorong kesabaran Kim Bum pada batasnya. Ia menghampiri So Eun dengan kemurkaan yang ia tahan dari tiap rasa sakit yang ia derita selama belasan tahun ini. Ia bisa menerima pukulan, goresan, atau bahkan peluru yang menancap pada kulitnya berkali-kali tanpa merasakan apapun. Namun kalimat So Eun barusan memberikan efek luarbiasa yang ia bendung selama ini. Seolah apa yang ia nanti dikubur paksa tanpa dihiasi mawar cantik. Dalam sekali gerakan ia mencium So Eun yang membisu seakan-akan tahu pada akhirnya ini akan terjadi.
“Katakan bagaimana Mikhail menjamahmu, So Eun.” ia tergesa-gesa menyingkap rok So Eun dan membelai pahanya dengan serakah. Lalu tangannya yang lain menekan pinggangnya menancapkan kerinduan melalui kuku-kukunya yang menempel di sana.
So Eun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, namun pusaran gairah yang mereka bagi benar-benar merusak pusara perasaannya yang terkubur jauh. Gerakan dan sentuhan Kim Bum begitu familiar sehingga membuatnya mengerang tak mengelak pada pergumulan nonverbal yang mereka lakukan.
Ah benar ... mereka dulu saling mengasihi.
•••
Musim silih berganti dengan So Eun yang menjalani hari sebagai tahanan rumah tepat satu tahun penuh ini, masih tersisa beberapa tahun ke depan yang harus ia jalani sesuai dengan keputusan penuntut hukum. Ia bahkan kesulitan untuk sekadar keluar dari gerbang rumahnya dan memerlukan waktu hampir sepekan agar mendapat izin resmi.
Hari ini ia menyibukkan diri di taman belakang untuk melihat-lihat tanaman yang ia rawat belakangan. Dulu ia hanya sibuk menghadiri kegiatan-kegiatan sosial sebagai istri dari pebisnis sukses. Jika ia bandingkan, hidupnya kini jauh lebih menenangkan dan ia tidak perlu lagi berpura-pura ramah-tamah. Tidak ada waktu baginya untuk berpikir bagaimana tanaman dan bunga-bunganya memerlukan nutrisi yang tepat agar tumbuh dengan indah. Buku-buku yang terbengkalai pun kini hampir rampung ia baca. Beberapa kali pula ia belajar masak dengan Galina yang akan memujinya habis-habisan.
So Eun tengah memetik satu mawar merah yang tampak pada puncak pemekaran dan menghirupnya dengan lembut aroma samar yang menenangkan hidupnya ini. Namun ia dikejutkan dengan kedatangan Kim Bum yang berjalan ke arahnya dengan begitu gagah di sana. Ia mengenakan pakaian militer musim panas dengan cerutu dalam apitan jari.
“Hari yang indah, benar, So Eun?”
So Eun mendelik, “matikan rokokmu itu.” Ia lalu menyibukkan diri untuk memetikan daun-daun yang menguning pada tanaman-tanamannya.
Kim Bum tersenyum tak menggubris, ia hanya bertandang sebentar. “Ada sesuatu yang harus kuberikan sejak lama,” ia mengeluarkan sebuah kotak dari jaket militernya.
So Eun melirik kotak beludru yang bercalar-cakar dimakan waktu. “Apa ini?”
Kim Bum mengedikkan bahu. “Aku seharusnya memberikan ini ketika kau mengkhianatiku,” ia terkekeh. “Aku dulu laki-laki yang manis, bukan?”
So Eun berdecih lalu membuka kotak tersebut yang berisi sepasang cincin berwarna perak, tampak masih begitu cantik walau sedikit berubah warna. “Kau akan melamarku saat itu?”
Kim Bum tersenyum, “yah ... mungkin akan jauh lebih dramatis saat itu.”
So Eun memutar bola matanya pada guraun pria ini. “Aku akan memakainya kalau kau pulang dengan nyawamu nanti.”
Kim Bum mengernyit, “aku tidak melamarmu lagi kali ini, Nyonya.”
So Eun mengedikkan bahu lalu melepas pandangan dari pria ini kembali pada tanamannya. “Aku hanya memberi semangat pada pria yang akan pergi ke medan perang.”
Kim Bum terkekeh. “Kalau begitu, jika aku pulang tanpa luka sedikitpun, aku mau kau yang memakaikan cincin itu pada jariku, bagaimana?” Ia menarik helaian rambut So Eun dengan lembut dan menghirupnya.
So Eun menarik rambut-rambutnya dengan tak senang. “Tidak sopan menyentuh wanita yang bukan milikmu, Jenderal. Sebaiknya kau segera pergi dan tunjukkan saja padaku bualanmu itu.”
Kim Bum terkekeh lagi, “baiklah, sampai bertemu lagi.” Ia lalu memberi hormat selayaknya seorang pemimpin perang pada atasannya.
So Eun diam-diam tersenyum memandangi punggung Kim Bum yang semakin jauh. “Kembalilah tanpa luka, Kim Bum.”
[.]
•••
Huaaaaa apa-apaan cerita barusan =_=
Ya ampun, sekian lama akhirnya aku bisa post cerita pendek lagi. Sampai ketemu di cerita lain ^_^