Reuni.

1.8K 71 4
                                    

Sayup-sayup suara jangkrik bersenandung mendamaikan. Ikon malam ini adalah hamparan awan gelap yang terbawa desau angin dibarengi sedikit kilauan redup dari sang rembulan. Suasana yang sangat cocok untuk menenangkan pikiran dari skenario kehidupan yang mempermainkanmu dan kemudian dalam waktu singkat juga mengajakmu untuk bangun. Setidaknya itulah yang sejak tadi ditertawakan oleh benak gadis yang identik dengan musim gugur ini.

Ia menggeser badan untuk meraih boots di dekat keset. Dalam pusaran pikiran yang tak henti-henti ia bangkit tanpa arah dengan napas gusar. Belakangan ia kerap kali panik dan kalut akan pikirannya sendiri. Pun juga tak dapat diingat berapa lama ia mendadak bak ditelan bumi, semua akses akan keberadaan dia seakan tak pernah ada. Ia menutup diri hampir setahun belakangan. Meski tak pernah menyalahkan apa yang terjadi, namun proses di mana ia menerima ini semua jauh lebih sulit daripada saat ia harus berpura-pura baik-baik saja sembari mematri senyum yang tidak pernah ia rasakan dalam diri.

Kenop pintu ditarik bersamaan dengan muncul sepasang sepatu tepat di depan pandangan saat ia menunduk. Dan sebelum ia berhasil menutup kembali pintu, seseorang dengan lugas menahan dan bahkan membukanya lebih lebar.

“Tolong jangan ganggu aku,” Lolos begitu saja dengan napas setengah tertahan untuk menyeimbangkan emosi. Gadis ini juga tidak mau menatap tubuh jangkung di depannya.

“Mari bicara,” Suara bariton di depannya menginterupsi pergerakan dia yang hampir menutup pintu, kaki itu kini bahkan menahan ujung bawah pintu.

Gadis ini berdecih, “Aku tidak ingin membicarakan apapun.” Ia berusaha menatap mata setajam elang tersebut. Jelas sekali berwarna pekat dengan pandangan yang menunjukkan seseorang dengan karisma tak terelak. Selalu seperti itu.

“Kau tidak bisa menyimpulkan segalanya begitu saja dan mengurung diri seolah aku tidak peduli, So Eun sayang.”

Sayang...

Hening.

Sampai pada titik puncak emosi, gadis ini menangis. Tangan kurus pucat tersebut memukul bahu tegap di hadapan. “Kemana kau saat aku benar-benar memerlukanmu?” Suara yang keluar terdengar bergetar meski lamat-lamat keluar dengan tangis.

“Biarkan aku masuk dan mari kita bicara. Di luar dingin untuk tubuhmu yang semakin terlihat ringkih ini,” Ada desis kasihan melihat bagaimana gadis bertubuh kecil di depannya ini semakin terlihat kurus hanya dalam setahun belakangan.

Gadis ini menggeleng, “Sebaiknya kau pulang sebelum aku berteriak, Kim Bum.” Suara itu parau. Wajahnya memerah terutama pada bagian hidung dan pipi. Terlihat manis sekaligus memperihatinkan secara bersamaan.

Namun sebelum gadis Kim itu berteriak, dalam sekali gerakan pintu putih tersebut sudah tertutup dan sang pelaku mendekap erat tubuh kecil di balik mantel kebesaran yang memeluknya. “Sstt... tenangkan dirimu...” Suaranya begitu lembut mengiris hati sang gadis. Sesuatu yang ia nanti-nanti sampai pada batas di mana dia ingin mendapat semua.

“Kenapa kau datang?” Hampir seperti cicitan tak bersuara yang masih dapat didengar jelas oleh sosok tegap tersebut.

“Aku selalu mencarimu jika kau ingin sebuah pengakuan dariku,” Ia mengusap lembut surai panjang So Eun penuh afeksi.

“Kau menghilang begitu saja—

“Maaf untuk itu, tapi aku terus mencarimu selama delapan bulan belakangan. Aku bersumpah hampir putus asa mencarimu, So Eun...”

Keduanya terdiam menikmati momentum yang mereka tunggu dengan sangat baik. Hanya ada napas mereka yang sama teraturnya dengan desiran darah menandakan kehangatan yang mereka tahan sejak lama berakhir terbagi dengan cukup lugas.

“Bisa kita bicara di dalam?”

•••

Netra cokelat gelap tersebut menatap langit-langit kamar dengan gipsum cantik bercorak bunga dan daun bersambungan. Mata tersebut mengelilingi sekitar sampai merasakan tangan kekar yang mengitari pinggangnya posesif. Mereka tidak bicara secara verbal setelah memutuskan ke dalam, yang ada hanya tatapan saling mencari hingga entah bagaimana mereka berakhir tanpa pakaian dan saling menghangatkan. Bahkan ia masih dapat mengingat betul geraman laki-laki di sebelahnya itu saat dia mencicipi rasa surgawi yang mereka capai bersama.

So Eun akan menyingkirkan tangan tersebut untuk bangkit, namun tertahan saat tubuh besar itu menarik dan membalikkan tubuhnya. Mereka saling berhadapan dan beradu napas. Mata sayup So Eun terbakar oleh tatapan dari seseorang yang pandangannya begitu ambisius untuk dihentikan.

“Saat aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan, aku tidak benar-benar ingin berakhir,” Telunjuk itu bergerak di perut seolah menggambar sesuatu, berhenti di pinggang dan mengusapnya halus. Menyalurkan gelenyar yang mereka rasakan beberapa saat lalu.

So Eun hanya diam, ingin mendengar apa yang akan Kim Bum katakan. “Aku hanya sempat tidak yakin dan memerlukan waktu,” Mata mereka bertemu dan So Eun dapat melihat jelas keseriusan di mata elang tersebut.

“Tapi kau mendadak hilang saat aku sudah yakin akan keputusanku.” Tukas suara bariton tersebut diakhiri kecupan di ceruk leher gadis yang selalu membuat dia lemah di segala sisi itu.

So Eun masih terdiam, dia bangkit dan entah keberanian dari mana ia duduk tepat di atas Kim Bum tanpa bersuara. Tangan kurusnya berada di atas perut kotak-kotak tersebut sehingga Kim Bum berdesis lembut dibuatnya. Di mata Kim Bum sekarang, So Eun bagai seekor kelinci yang tengah bermain-main. Jika boleh jujur, Kim Bum benar-benar menyukai payudara So Eun yang menggantung sempurna di sana. Pikiran dia kembali berkabut dibuatnya.

“Ada banyak hal yang kulalui. Berharap aku dapat melewati semuanya dengan keberadaanmu. Tapi kau justru hilang dan menyisakan aku yang terus bertanya-tanya. Semua yang kulakukan terasa salah dan rasanya lebih baik jika sendirian,”

Diam-diam tangan mereka saling menaut dan So Eun menangkupkan diri dengan kepala di dada Kim Bum. Ada kehangatan yang mereka rasakan, jauh lebih intens dan menenangkan daripada penyatuan tubuh yang penuh damba pada momen sebelumnya.

“Aku takut untuk menatap dunia yang sedang tidak baik padaku tanpa keberadaanmu. Alih-alih mencoba bertahan, aku langsung menyerah dan membuang diriku jauh-jauh ke pojok. Aku takut sendirian, tapi entah bagaimana terasa lebih baik.”

Kim Bum memeluk tubuh So Eun yang dapat dengan jelas ia rasakan tonjolan-tonjolan tulang pada bagian-bagian tertentu. “Kau hanya takut kalau aku tidak kembali, bukan?”

Tak ada jawaban dari So Eun, itu berartikan sebuah pengakuan. “Yang terpenting sekarang kita di sini. Kita akan hadapi bersama.” Tukas Kim Bum begitu saja tanpa menunggu respon kekasih hatinya itu.

So Eun mendongak, menatap mata Kim Bum yang juga menelusuri sorotnya. Mereka berdua kemudian tersenyum yang disambung kecupan hangat So Eun pada bibir Kim Bum.



Rigth, that’s it. See you later. Semoga saya ada mood buat cerita lain. Buat sekarang cukup ini dulu. Saya tunggu tanggapan kalian ^^

MOMENTS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang