Lima tahun yang lalu, seorang gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA, dipaksa oleh kedua orang tuanya untuk menikah secara tiba-tiba.
Namanya Anastasya Zara. Ia dijodohkan dengan anak dari teman ayahnya. Bukan tanpa alasan, ia tiba-tiba dijodohkan. Semua ini karena perjanjian bisnis yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya.
"Ma, Zara masih sekolah. Zara nggak mau nikah muda. Masa depan Zara masih panjang, Ma." Gadis cantik itu menangis sambil memeluk kaki sang Mama. Memohon agar tidak dinikahkan sekarang juga.
Mega menatap putrinya iba. Sesungguhnya ia juga sedang menahan tangis saat ini. Namun, ia mencoba tetap tegar demi putrinya.
Kemudian ia berlutut dan memeluk tubuh Zara, mencoba menenangkan putrinya yang masih menangis tersedu-sedu.
"Zara, sayang," ucap Mega dengan suara serak, "Mama tahu ini sangat berat buat kamu. Mama juga nggak mau ini terjadi, Nak. Tapi mau bagaimana lagi? Papa kamu udah terlanjur menerima perjodohan ini."
Zara menggeleng keras, air matanya semakin deras. "Tapi, Ma, Zara masih sekolah. Kenapa harus menikah sekarang? Kenapa harus Zara yang mengorbankan semuanya?"
Mega menarik napas panjang, menghapus air mata yang mulai menetes di pipinya. Ia tahu penjelasan ini tidak akan mudah diterima, tetapi ia harus mencoba.
"Zara, kamu tahu sendiri kan, sayang? Bisnis Papa sedang dalam masalah besar sekarang. Teman Papa kamu mau bantu, asal kamu mau menikah sama anaknya. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keluarga kita, sayang. Kamu nggak mau kita hidup susah, kan?"
"Masih ada cara lain, Ma. Jangan memaksa Zara demi memenuhi keinginan Mama sama Papa."
Mega menunduk, menahan isak tangisnya. "Mama sama Papa sudah mencoba semua cara, Nak. Dan ini adalah keputusan yang paling sulit yang pernah Mama dan Papa ambil. Mama sama Papa cuma pengen kamu dan adik-adik kamu tetap memiliki masa depan yang baik."
Zara masih menangis terisak-isak. Ia belum bisa menerima ini semua. Batinnya masih memberontak. Ingin membatalkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
"Calon suami kamu masih muda, sayang. Dia tampan, baik, lembut, tutur katanya halus. Mama yakin, kamu pasti suka."
Zara menggeleng. "Tetap aja Zara nggak mau, Ma. Zara masih pengen sekolah."
"Sayang, kamu masih bisa sekolah meskipun sudah menikah. Kita rahasiakan pernikahan ini dari Guru dan teman-teman kamu. Kamu pikir setelah menikah, pendidikan kamu langsung berhenti semua gitu? Enggak, sayang. Kamu masih harus kuliah, karena kamu calon pewaris bisnis Papa."
"Tapi, Ma ..."
"Percaya sama Mama, Nak. Pernikahan ini tidak akan membuat kamu menderita. Arfan orang baik. Dia pasti bisa menjaga dan membahagiakan kamu sebagaimana mestinya."
Dengan hati yang masih dipenuhi keraguan, akhirnya Zara mengangguk pelan. Ia tahu bahwa orang tuanya berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarganya, meskipun cara yang mereka ambil sangat tidak adil baginya.
Sambil berusaha menenangkan dirinya, Zara memutuskan untuk mencoba, meski dalam hatinya, ia masih berharap keajaiban akan datang dan mengubah jalan hidupnya.
***
Setelah melakukan beberapa serangkaian acara pernikahan, kini Zara dan Arfan sudah resmi menjadi suami istri. Semua tamu yang diundang sudah pulang. Dan saat ini, mereka berdua tengah berkumpul bersama keluarga di ruang tamu yang megah.
"Zara, Arfan, kalian sudah resmi jadi suami istri sekarang. Meskipun masih siri, tapi kalian harus tinggal bersama. Itu wajib hukumnya. Ayah nggak mau lihat hubungan kalian terus-terusan canggung seperti ini," tutur Ayah Arfan.
"Iya. Sebelum pernikahan kalian diresmikan secara hukum, hubungan kalian harus lebih baik dari sekarang," sahut Papa Zara.
Zara hanya meliriknya sekilas. Suasana hatinya belum membaik, jadi ia belum bisa menerima nasehat dan wejangan dari kedua orang tuanya.
"Biar Zaranya nggak tertekan, gimana kalau Arfan aja yang tinggal di sini?" usul Mega.
Arfan mengangguk. Meski tatapannya datar, namun ia tidak terlihat tertekan seperti Zara. Ia tampak fine-fine aja dengan pernikahan ini. Meskipun pada awalnya ia juga sempat menolak.
"Gimana, Zar? Boleh, Arfan tinggal di sini?" tanya Ibunda Arfan.
Zara mengangguk. "Boleh," ucapnya dengan suara yang sangat lirih. Hingga membuat kedua orang tua mereka langsung tersenyum senang mendengarnya.
"Tapi sering-sering main ke rumah Bunda, ya. Bunda juga pengen dekat sama Zara," ujar bundanya Arfan lagi.
"Itu bisa diatur. Nanti kita sering-sering adakan pertemuan keluarga, biar hubungan kekeluargaan kita semakin erat," sahut Papa Zara.
Mereka semua mengangguk setuju. Kecuali Zara dan Arfan tentunya. Karena mereka berdua masih sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Yaudah, ajak Arfan istirahat di kamar kamu, sayang. Kalian pasti sudah kelelahan," ujar Mega dengan begitu lembut.
Tanpa banyak bicara, Zara langsung berdiri dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruang tamu tanpa mengajak Arfan. Namun meski begitu, Arfan tetap mengikutinya di belakang.
***
Sesampainya di kamar, Zara langsung masuk ke dalam kamar mandi. Membiarkan Arfan duduk di kasurnya sendiri dengan sebuah kecanggungan yang masih terasa.
Tak lama kemudian, Zara keluar dari kamar mandi sambil membawa handuknya.
"Mandi aja kalau mau mandi. Aku mau mandi di kamar sebelah," ujar Zara dengan nada ketus.
Ia melewati Arfan begitu saja, tanpa mau menatapnya. Namun sebelum ia keluar dari kamar, Arfan buru-buru langsung mencegahnya.
"Zara ..."
Zara menatap pria itu yang berdiri di depannya menghalangi jalannya. Tatapannya sangat datar, seolah tak terpengaruh dengan kehadiran Arfan di hadapannya.
"Mari berbicara sebentar," ucap Arfan.
Zara hanya mengangguk singkat. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Enggan menatap Arfan yang masih berdiri di depannya sambil terus menatapnya.
Sebelum berbicara, Arfan menarik napasnya terlebih dahulu, lalu ia hembuskan secara perlahan.
"Ini memang nggak mudah buat kita, Zar. Tapi aku harap, kita bisa menerima satu sama lain. Bagaimanapun juga, kita sudah sah sekarang. Kamu milikku, dan aku juga milikmu. Aku berharap, hubungan kita bisa bertahan selamanya, meskipun kita belum saling mencintai sekarang."
Zara menatap Arfan. "Aku nggak yakin, hubungan kita bisa bertahan selamanya. Kita menikah bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Jadi aku harap, kita bisa saling membatasi diri. Suatu saat, aku akan minta cerai, karena aku punya masa depan, dan masa depanku itu bukan kamu, Arfan."
Arfan menghela napasnya. "Mari berdamai dengan keadaan, Zara. Pernikahan itu bukan permainan, dan bercerai itu nggak semudah yang kamu bayangkan."
"Aku nggak yakin bisa hidup bahagia sama kamu, Fan. Aku takut malah semakin tersiksa."
Arfan menghela napasnya lagi. Ia memberanikan diri untuk memegang kedua pundak Zara.
"Nggak perlu takut. Aku akan berusaha menciptakan hubungan yang nyaman diantara kita. Kamu juga jangan merasa tertekan. Kamu masih bisa melakukan apapun yang kamu mau, asal masih tahu batasan."
Zara menatap tangan Arfan yang sedang memegang pundaknya. Kemudian ia beralih menatap wajah pria itu lagi.
Mata Arfan terlihat sangat teduh. Wajahnya juga seperti pria baik-baik. Benar kata sang Mama, selain tampan, putih dan juga tinggi, Arfan memiliki sifat yang lembut dan tutur kata yang sangat halus. Satu lagi, dia juga sepertinya tipe pria yang manis dan juga romantis.
"Aku pegang ucapan kamu," ucap Zara dengan tegas. Sedangkan Arfan hanya mengangguk sambil tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosenku Mantan Suamiku
Romance"Jika kita tidak bisa bersama di kehidupan ini, mari bertemu di kehidupan selanjutnya. Aku pastikan kamu akan menjadi milikku selamanya," ucap Arfan. Dengan air mata yang mengalir deras, Zara pun menjawab, "Tidak, Fan. Pergilah. Kita tidak akan bis...