KEPADA BUMI

12 2 0
                                    

Alampun menjadi latar, ilalang yang gemulai bergerak ke kanan dan kiri seakan mengagungkannya, dandelion yang apatis pun mulai menyatukan diri dengan hijau hembusan angin bijaksana, gemericik sungai Nagasari yang mengalir tenang itu mulai menciptakan sebuah instrumen indah , bahkan sang langit mulai mengundang sisik Januari saat surya mulai angkuh menguasai cakrawala. Ah, surya memanglah angkuh. Kenapa pula tak ia izinkan chandra untuk menunjukkan kesuciannya di lembaran malam? Apa ia para pelancong malam itu harus menyaksikan perdebatan keduanya sebelum akhirnya mereka berkelana dalam gulita?. Kalau saja senja yang menjadi perwujudan dalam perdebatan mereka tak seanggun adanya, mungkin saja semesta akan murka atas hukum mutlak dari alam.

Tapi kali ini, surya benar-benar mengalah dengan lapang untuk sang chandra. Para pelancong malampun keluar dengan mudah terkecuali sekawanan jubah hitam itu. Merekalah sang penguasa malam, merekalah yang tak dapat menyaksikan dunia tetapi mampu menguasai dunia pada suatu zaman, merekalah yang semakin di segani pada zaman itu pula. Kaki-kaki cekatan mereka mencengkeram kuat batang kitolot yang tampak gagah berwibawa kala terpendar sinar mentari, namun tampak beritu menyeramkan dengan kemistisannya kala disorot suci sang chandra. Benar-benar riuh. Masing masing dari mereka terus berbicara tak mau kalah satu sama lain.

 "DASAR MANUSIA!!!,"

Mungkin itulah yang ingin mereka katakan kepadaku yang memandangi mereka lamatlamat sembari duduk menyandarkan punggungku pada kokohnya batang Akasia. Tak kusangka senja telah mengundurkan diri, haripun semakin larut tanpa kusadari. Tapi ada masalah apa mereka denganku? Apa mereka marah?. Aku telah mengenal mereka sejak lama, meski hanya dengan nama kalelawar. Merekapun telah mengenalku meski hanya dengan nama manusia. Entahlah, akupun memilih untuk diam lantas kembali mencoba untuk menafsirkan perdebatan mereka malam itu. 

"MANUSIA MEMANGLAH TAK BERGUNA!," hina mereka lagi, "Bukankah tugas kalian hanyalah menjadi manusia? Kenapa percaya diri sekali memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar?,"

Aku mulai mendapat petunjuk. Alam memanglah adil. Alam menerapkan hukumnya sesuai dengan jalan taqdir, sesuatu yang terjadi keluar dari nalar manusia. Manusia hanya tahu bahwa bumi yang paling dekat dengan merekalah yang berotasi, hingga mereka lupa kalau yang paling dekat dengan mereka adalah waktu. Waktu, sesuatu yang lebih mudah dijangkau daripada bumi. Kenapa manusia lebih suka mempermainkan bumi dari pada waktu yang selalu mempermainkannya?. Maka jangan salahkan jika waktupun mulai berotasi. Barulah aku sadar sebagai manusia bahwa waktu mulai kembali ke masa dimana manusia mulai berulah setelah berhasil menggenggam tongkat kejayaan.

Aku mulai memandangi telapak tanganku. Mulai menduga-duga palmistri apa yang bisa kubaca dari garis-garis yang meliuk bagai aliran sungai ditanganku. Apa aku akan berakhir mengenaskan seperti manusia yang lain? Tiba-tiba tersungkur di jalanan lengang dan kehilangan nyawa? Tiba-tiba menutup mata menuju alam yang sungguh aku tak siap untuk mendatanginya?. 

"Bagaimana bisa mereka menyalahkan kami yang tak tahu apa-apa?," pertanyaan dalam diskusi mereka berhasil mengembalikanku dari lamunan, membuatku mendongak seketika. "Mereka yang memburu keturunan kita, mereka yang menghabisi keturunan kita, mereka yang menyantap keturunan kita tanpa rasa iba, lantas mereka pula yang berteriak dengan lantang bahwa kitalah yang bersalah,"

 Harus kuakui, apa yang mereka katakan memanglah benar. Akupun baru menyadari, seberapa angkuh manusia, seberapa mereka melupakan tuhan hingga merasa seakan-akan bahwa merekalah penguasanya.

"Mau sampai kapan kau duduk disini?,"

Baru saja aku mendapati satu kesimpulan, seseorang---dengan koko putih yang terkesan penuh kesucian di tubuh nya, kain bermotif kotak yang biasa kusebut sarung membalut sempurna di kakinya, dan sebuah penutup kepala yang kusebut dengan kopyah yang menutupi rambut di kepala bagian atasnya membuat wajah bersih nan putihnya begitu jelas di mata seorang tuna asmara sepertiku---menanyakan keberadaanku.

Asmaraloka - Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang