Bab 1. Untuk Mama 1

143 22 5
                                    

#

Maura bergegas mendekati mobil yang sudah menunggunya.

Dia langsung pulang secepat yang dia bisa karena dia tidak ingin ketinggalan acara penting putranya hari itu

"Bawaanmu cuma ini?" tanya Cakra yang membantu Maura untuk memasukkan barang bawaannya ke dalam bagasi.

"Iya, hanya itu. Sisanya nanti akan dikirim karena aku tidak punya waktu untuk berkemas dengan cepat. Aku sempat lupa kalau hari ini adalah hari di mana Max akan ikut kompetisi piano tingkat nasional untuk pertama kalinya. Kau tahu, aku buruk dalam mengingat," ujar Maura.

Cakra masuk ke kursi pengemudi dan Maura duduk di depan.

"Kau tidak seharusnya lupa. Dia sangat mengharapkan kehadiranmu,"  balas Cakra. Dia sebenarnya berkata begitu karena merasa kasihan dengan Max yang sudah dianggapnya seperti keponakannya sendiri. Terlebih Max cukup dekat dengan istri dan anak-anaknya setiap kali anak itu datang berkunjung ke Jakarta bersama dengan kedua orang tua Maura.

Maura menarik napas panjang. Tidak mudah baginya untuk membesarkan Max seorang diri sementara dia sendiri sibuk dengan pekerjaannya.

Tahun ini kedua orang tuanya sudah secara bertahap menyerahkan pengelolaan sebagian besar resort dan hotel kepadanya. Itu membuat kesibukannya bertambah karena dia memiliki ambisi besar untuk melihat perusahaan keluarganya semakin berkembang.

Pengalaman bekerja di perusahaan keluarga Pangestu dulu membuat Maura semakin sadar kalau dia memiliki kemampuan untuk berkembang dan mengembangkan perusahaan keluarganya. Jika dia melewatkan kesempatan yang ada maka selamanya tidak akan aman bagi keluarganya untuk berbisnis dengan bebas karena pasti akan ada perusahaan yang lebih kuat yang akan menjadikan mereka target.

Sama seperti yang hampir terjadi dulu saat perusahaan masih dipegang oleh ayahnya.

"Hei, aku tahu itu tanpa harus kau ingatkan. Aku hanya tidak sengaja melupakannya. Toh aku sudah berada di sini," balas Maura.

Cakra menarik napas panjang. Dia menyalakan mobil dan mulai mengemudi ke arah gedung tempat perlombaan berlangsung.

"Aku mengingatkanmu untuk kebaikanmu Maura. Anak-anak tumbuh dengan cepat dan dalam sekejap kau pasti akan merindukan setiap momen ketika mereka masih kecil serta selalu tergantung padamu."  Cakra melirik Maura.

"Max anak yang mandiri," sanggah Maura.

Sejak berusia sekitar tiga tahun, Max sudah menunjukkan kalau dirinya bisa diandalkan. Dia tidak menangis ketika Maura harus ke kantor dan tidak membawanya. Dia juga tidak protes ketika Maura terlambat menjemputnya di sekolah. Sebaliknya, dia hanya akan diam menunggu hingga dijemput.

Max bahkan tidak pernah mengeluh ketika Maura memilih untuk meninggalkannya sementara waktu di Bali dengan kedua orang tua Maura yang adalah Kakek dan Nenek Max juga. Dia hanya meminta Maura untuk datang ketika dia lolos babak penyisihan dan ikut berlomba di Jakarta.

Maura sebenarnya tidak menyangka kalau Max akan benar-benar lolos. Meski Max berbakat tapi kenyataannya di luar sana ada lebih banyak lagi anak yang berbakat lebih dari Max, jadi bukannya dia tidak mempercayai putranya. Dia hanya tidak ingin Max merasa tertekan kalau dia menaruh harapan yang terlalu berat di bahu anaknya yang bahkan belum masuk SD.

"Kau benar. Dia mandiri, tapi dia kesepian Maura. Sekali lagi aku mengatakan ini karena aku peduli padamu dan Max. Bukan bermaksud untuk memprotes caramu mengasuh anak. Percayalah padaku, dia membutuhkanmu untuk selalu berada di sisinya. Mungkin kau berpikir akan lebih baik kalau dia tinggal di Bali dengan kedua orang tuamu untuk sementara waktu tapi apa kau pernah bertanya kepadanya? Jangan mengabaikan pendapat anak kecil," omel Cakra.

Cinta Dalam Dekapan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang