Sebelumnya mohon untuk mengaktifkan video di atas judul agar suasana dapat tercipta dengan baik, terimakasih.
.・゜゜・.・゜゜・.・゜゜・.・゜゜・
Indonesia, 30 Desember 2019
Nabastala hari ini tak secerah biasanya. Langit kelabu kelam menaungi tempat para manusia berpijak di kota ini.
Gemuruh memekakan telinga membuat siapapun yang mendengarnya berlari mencari tempat bernaung.
Tak henti disitu saja, perlahan-lahan gerimis membasahi dataran bumi ini.
Sebagian merasa gamang mendengar gemuruh tersebut beserta derasnya hujan seakan-akan mereka akan ikut terhanyutkan.
Sebagian pula merasakan harsa dikalbunya ketika aroma tanah bercampur hujan memasuki indra penciuman.
Terra Cafe
Sosok wanodya membisu ditempatnya. Menatap keluar dengan pikiran yang berkelana mencari maksud hati.
"Apa ini? Mengapa selalu seperti ini? Tak bisakah sekali saja aku merasakan ketenangan tanpa terbayang akan sesuatu yang aku pun tak tahu? " Berembun sudah aksanya.
"Aku lelah. Padahal orang lain bisa merasakan kebahagiaan ditengah derasnya hujan ini." Ucapnya gamang, menatap betapa bahagianya kerumunan orang yang menari dibawah derasnya hujan.
Tuk..
"Hai nona, tempatnya kosongkan? Boleh g saya duduk disini? " Seorang pemuda yang tak kukenal asal usulnya menghampiriku menanyakan kursi disampingku yang tak memiliki pemilik.
"Tempat itu memang kosong, tapi bukan berarti kamu boleh duduk di samping sy. Silakan cari kursi yang lainnya. Masih penuh tuh saya liat-liat. " Aku mengedarkan mataku kepenjuru memperhatikan sekitar.
"Yah.. Gimana dong padahal saya kan mau duduk sama nona.. " Mukanya terlihat memelas. Namun, tetap saja aku tak merasa kasihan.
Drekk..
"Kalo disini boleh dong? " Ia menggeser kursi, duduk dihadapanku. Tersenyum manis seolah caranya benar.
"Haishh.. Terserahlah! " Pasrah sudah diriku ini menghadapi orang setidak tahu diri itu.
Setelahnya tak ada percakapan diantara kami. Seolah tak ada keributan yang telah terjadi.
Lama ku amati kerumunan orang yang masih saja tertawa bahkan saat ini suasananya semakin seru saja.
Hingga aku tersadar ada sebuah tangan terulur di hadapanku, memberikan sebuah tisu. Tunggu, untuk apa dia memberi ku tisu?
"Hapuslah air matamu nona. Jangan sampai pemuda lain melihatnya, selain aku. Wajahmu terlalu cantik untuk dilihat. " Lagi-lagi dia tersenyum.
Air mata? Ah.. Ternyata aku menangis lagi dan lagi yaa. Selalu saja seperti ini ketika hujan turun.
"Terimakasih" Aku lekas mengambil tisu tersebut untuk menghentikan cairan yang keluar dari mataku ini.
"Sama-sama" Pemuda itu mengikuti arah pandangku. Tersenyumlah dirinya.
"Mengapa nona yang manis ini menangis? Hmm" Tangannya terulur mengusap bekas air mataku.
"Ngga tahu" Aku lelah, juga bingung akan perasaanku yang ambigu ini. Sedih karena hal yang tak berdasar.
"..." Ia terdiam.
Kami pun terdiam lagi dan lagi. Menyeruput minuman yang telah ada di hadapan kami. Mencoba menenangkan diri.
Tunggu, aku rasa teh ini unik? Rasanya pedas, membuat kehangatan menjalar perlahan-lahan di tubuhku. Aku merasa lebih baik saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sosok yang Fana
Historical Fiction𝘔𝘢𝘶𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩? 𝘠𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘴𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘢𝘥𝘪𝘴 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. ◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇ Kisah ini dimulai dari dia yang saat itu...