01 - Pengumuman Eligible

136 31 47
                                    

Suara langkah kaki dari sepatu hak tinggi yang berjalan di samping kelas membuat semua siswa dalam ruangan dua belas MIPA tiga kembali pada posisi duduk masing-masing. Mereka yang awalnya sibuk bermain uno juga mengobrol mengenai kelulusan pun terdiam seketika saat Bu Sapta dengan tatapan tajam juga rambut sanggulnya yang khas memasuki kelas mereka.

“Selamat pagi. Saya cuma mau ngasih informasi jika hari ini tidak ada pelajaran, ya.”

Satu kata di pagi hari yang menyegarkan telinga para siswa dua belas MIPA tiga, termasuk Ahmad Harris yang sedari tadi fokus mengerjakan tugas biologi, di samping teman-temannya sibuk mengobrol dan bercanda tawa bersama. Dirinya lega karena memang jarang sekali guru biologi tersebut yang juga menjadi wali kelasnya memberi jam kosong di pagi hari.

“Di sini saya mau menginformasikan jika pengumuman eligible akan diumumkan hari ini di mading depan kantor guru. Tapi, di setiap kelas nanti hanya ada beberapa siswa yang masuk dalam jajaran tersebut,” jelasnya dengan tegap.

“Siswa yang konsisten dari kelas sepuluh hingga dua belas yang mendapat peringkat ataupun nilai yang baik, kemungkinan delapan puluh persen bisa masuk dalam jajaran kategori siswa eligible yang mana artinya ia berkesempatan untuk mengikuti jalur undangan tanpa tes,” sambungnya runtut.

Harris mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat semua pasang mata tertuju padanya. “Bu, bagi yang bisa mendapat kesempatan jalur undangan nanti untuk jurusannya apakah boleh memilih lebih dari satu?”

“Pertanyaan bagus, Harris. Tahun ini, seperti yang sudah diinformasikan oleh menteri pendidikan kita bahwa kelas dua belas boleh memilih dua universitas dengan dua jurusan yang berbeda. Paham?” tanyanya pada Harris. Lelaki itu mengangguk mantap.

Ardi, teman sebangku Harris giliran mengangkat tangan seraya berucap, “Berarti kalau misalnya ambil bioteknologi Unbraw sama Ilkom Unpad boleh, ya, Bu?”

Bu Sapta hanya mengacungkan dua jempolnya sebagai jawaban. “Ada pertanyaan lain?” Bu Sapta kembali bertanya, tetapi tidak satu pun siswa bersuara.

“Jika tidak ada lagi yang bertanya, Bu Sapta akan memberi sedikit nasihat untuk kalian,” tuturnya sambil mengedarkan pandangan ke masing-masing siswanya.

Para siswa terdiam dan menunduk, membuat Bu Sapta menghela napas. Ia rasa mungkin semua muridnya sudah paham atau memang pertanyaan dari Harris dan Ardi sudah mewakilkan teman sekelasnya.

“Nak, ibu hanya ingin berpesan. Jagalah etika kalian di mana pun kalian berada. Entah ketika kalian nanti di kampus atau di luar kampus atau mungkin beberapa dari kalian memutuskan bekerja, tetap jaga itu, ya, karena etika sangatlah penting dalam berkehidupan.”

“Nanti setelah lulus dari SMA, kalian akan merasakan betapa beratnya hidup ini, Nak. Sebab, kehidupan yang sesungguhnya akan dimulai pada saat kalian meninggalkan masa putih abu-abu.”

Bu Sapta berjalan mengitari bangku siswa sembari melanjutkan kalimatnya. “Bagi yang nanti mau melanjutkan kuliah, ibu mohon kalian lebih aktif lagi karena dunia SMA dan perkuliahan sangatlah berbeda. Tolong jangan disamakan. Kalian nantinya dituntut untuk bisa berbicara di depan umum juga berpikir kritis kedepannya. Begitu juga yang memilih untuk bekerja, utamakan kejujuran dan sopan santun,” tutur Bu Sapta.

Jujur saja, semua siswa hanya bergeming mendengarkan setiap nasihat yang dilontarkan Bu Sapta termasuk Harris dan Ardi. Dua karib yang sebenarnya masih bingung dengan arah kehidupan mereka selepas lulus SMA, padahal hanya tinggal hitungan hari mereka akan lulus tetapi keduanya masih bimbang menetapkan untuk memilih melanjutkan kuliah atau bekerja.

“Ris,” bisik Ardi sambil menyikut lengan Harris. “Setelah ini kamu mau kerja atau sekolah lagi? Kalau aku mungkin kerja aja, soalnya ibu aku sakit-sakitan. Sekarang, nyari makan pun aku kesusahan. Tapi belum tahu lagi, aku bingung juga. Sebenarnya aku ada keinginan untuk kuliah, tapi aku juga tidak bisa egois dengan kondisi ekonomi keluargaku saat ini. Aku akan berunding dengan ibuku nanti.” Ardi melanjutkan kalimatnya.

“Kan, ada beasiswa untuk anak kurang mampu, kenapa nggak ambil itu aja? Atau mungkin minta sekolah buat bantu urusin itu. Sayang banget soalnya kamu pintar, Ar,” balas Harris yang juga berbisik.

Harris menyilang tangannya di atas meja dengan murung sambil menyambung kalimatnya. “Kalau aku maunya kuliah, tapi aku masih bingung ambil jurusan apa, karena menurutku aku tidak cukup pintar, biasa saja. Mau bekerja juga susah kalau lulusan SMA. Aku juga sama bingungnya, makanya mau tanya orang tuaku dulu nanti, Ar.”

“Astaga, kamu kuliah saja. Kamu itu cerdas, Ris, cepat tanggap. Aku akan mendukungmu. Yakin, kau akan masuk kategori eligible itu,” ucap Ardi dengan percaya diri.

“Jangan seperti dukun,” timpal Harris membuat keduanya terkekeh bersama.

Sementara di sisi lain, dering ponsel Bu Sapta mengejutkan satu ruangan. Ia berjalan cepat mengambil ponsel tersebut. Bu Sapta memerintah agar para murid jangan mengeluarkan suara selagi ia mengangkat telepon. Ketika tersambung, rautnya berubah menjadi semringah. Setelahnya, ia menutup ponsel itu sambil memandang tiap pasang mata dari para muridnya dengan senyum merekah.

“Silakan cek mading di depan kantor guru. Kelas kita mendapat giliran pertama untuk melihat pengumuman tersebut. Cari nama kalian di sana. Jika nanti nama kalian tidak tertera, jangan berkecil hati, ya, karena kalian masih memiliki jalur lain bagi yang berminat berkuliah,” ujar Bu Sapta memberi pesan sebelum akhirnya semua siswa berlari keluar kelas untuk melihat pengumuman tersebut.

Harris dan Ardi berlari beriringan. Teman sekelasnya tidak ingin mengalah satu sama lain hingga akhirnya mereka saling berdesakan.

“Woi! Nggak keliatan.”

“Tolong, yang depan itu gantian,” celetuk yang lain.

Melihat Harris yang kesusahan tatkala berdesakan dengan teman lainnya, Ardi pun mengutarakan ide. “Ris, kamu di sini saja. Biar aku yang ke depan lihat papan pengumumannya, kamu tunggu di sana,” titah Ardi menunjuk pada taman baca yang terletak tidak jauh dari kantor guru.

“Oke, Ar.” Harris hanya mengangguk mengikuti instruksi Ardi. “Terima kasih, ya,” pungkasnya. Harris langsung berlari menjauhi kerumunan menuju taman baca, sementara Ardi masih berdesakan demi bisa mencari nama mereka pada papan pengumuman di sana.

Di kejauhan, Harris berkacak pinggang sambil sesekali berjinjit untuk melihat apakah Ardi sudah selesai melihat papan pengumuman itu. Banyak dari temannya yang membalik badan dengan raut kecewa, tetapi di sisi lain ia juga mendapati beberapa dari temannya menampakkan raut semringah. Harris semakin was-was. Akankah dirinya dan Ardi bisa masuk dalam jajaran kategori siswa eligible itu atau tidak, karena jujur saja ia sangat berharap.

Dirinya terus berdoa agar Ardi datang membawa kabar baik untuk mereka nantinya. Sesekali ia mengambil buku di taman baca tersebut sekadar meminimalisir rasa cemasnya. Namun, rupanya sama saja. Harris tidak bisa tenang. Berkali-kali ia duduk, berdiri dan duduk lagi setelahnya sambil memejamkan mata serta menyatukan tangannya selayaknya orang berdoa.

“Harris,” celetuk Ardi membuat Harris membuka mata lebar-lebar. Ia bangkit dari tempat duduknya.

Melihat ekspresi Ardi yang menampilkan raut wajah yang murung membuat Harris turut mengembuskan napasnya kecewa. “Nggak papa, Ar. Mungkin belum rezeki kita. Semangat,” ujar Harris menyemangati Ardi sambil menepuk bahu karibnya sekadar menguatkan.

Sebenarnya, Harris juga kecewa karena dia berharap namanya tertera di sana, tetapi mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa berpasrah.

“Siapa bilang? Ini rezeki kita, kok,” balas Ardi membuat kening Harris berkerut. “Kita masuk jajaran eligible, Ris!” sambungnya bangga, “kamu di peringkat ke lima dan aku di peringkat ke tiga dari seangkatan kita!” Raut Ardi berubah berseri-seri.

“Tapi ekspresimu tadi seperti ....” Harris menjeda kalimatnya saat melihat Ardi yang tengah menyeringai menatap dirinya. “Oh, dasar! Kamu membohongiku, ya!”

Ardi berlari kencang menuju kelas ketika Harris berusaha mengejarnya. “Awas kamu, Ar!” pekiknya dari jauh, Ardi terbahak sambil terus berlari.

Tidak bisa dipungkiri, Harris benar-benar senang saat ini. Meskipun sedikit kesal dengan Ardi, tetapi ia merasa lega.

~Bersambung

Brother's Story [Terbit]✓Where stories live. Discover now