Darkness of the Sky

29 3 0
                                    

Chapter One
Darkness of the Sky

Jakarta. 2015
Loveland Festival; Music & Art

Di sebuah lapangan luas dengan panggung musik di depannya. Lautan manusia berdesakan dan saling mendorong satu sama lain. Bernyanyi bersama mengiringi sekelompok musisi di atas panggung. Identitas wajah penonton hampir tidak dikenal karena hampir semua orang melukis wajah mereka atau biasa disebut face painting.

Seorang gadis cantik bernama Arabella Putri berdiri diantara lautan manusia dengan penyamaran sempurna. Face painting kupu-kupu berwarna biru dan merah muda terlihat cocok dengan wajah putihnya. Didukung dengan warna matanya yang cokelat alami berhasil mempercantik wajahnya. Meski begitu, gadis yang biasa disapa Bella itu merasa tetap harus menyembunyikan identitasnya dengan topi.

Arabella berpegangan pada pagar pembatas antara penonton dan panggung hiburan. Tidak seperti penonton lain yang sibuk berteriak memanggil nama sang idola. Arabella justru hanya tersenyum menikmati indahnya suara sang vokalis dan musik yang mengalun memanjakan telinga. Dia juga menyukai suasana festival yang cantik dan penuh warna.

Tak lama kemudian langit menurunkan tetesan air. Sepertinya awan sudah terlalu lelah menampung beban yang mengubah dirinya menjadi gelap. Meski begitu tak mengurangi euforia festival musik yang semakin meriah. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membuka kaos, memainkan dengan memutarnya di atas kepala.

Keramaian riuh rendah beserta derap hentakan kaki seolah tak kunjung berhenti walau disertai dengan hujan deras. Lapangan tiba-tiba menjadi semakin kacau karena tangan-tangan usil tak bertanggung jawab. Tepat saat itu tiba-tiba saja seorang laki-laki terdorong dari belakang ke depan. Terperosok menerobos kerumunan dengan wajah pucat ketakutan.

Bedebum....

Kacamata lensa tebal laki-laki itu jatuh ke dalam genangan air hujan. Deburan lumpur basah menerjang menutupi wajahnya. Pandangannya mengabur terhalang lumpur dan air mata. Sementara orang-orang di sekelilingnya mengumpat saat lumpur mengenai baju-baju mereka. Laki-laki malang itu meminta maaf dan berusaha untuk berdiri kembali, tetapi tangannya bergetar, sendi-sendinya bergemeretak beradu. Badannya menggigil, mulutnya meracau seakan penderitaannya tak berkesudahan.

“Aku tidak bisa melihat,” katanya sambil membersihkan lumpur di wajah.

Gambar elang mewarnai wajah tembamnya. Dia terlihat sedih seraya mengusap pergelangan kakinya yang terasa sakit hingga membuatnya tak mampu berdiri. Kemudian mengulurkan tangan pada orang-orang di sekelilingnya. “Aku tidak bisa berdiri, bisa bantu aku?”

Tak lama kemudian sekelompok anak muda datang berteriak mengelilingi anak laki-laki tadi sambil berlutut ketakutan di tanah. Salah satu dari mereka menjambak rambut sambil memaki tepat di depan wajahnya. Bahkan orang-orang itu tidak segan menendangnya hingga jatuh terjerembab. Mereka sudah menjadi satu dalam satu lautan amarah.

Tiba-tiba saja Bella berteriak kencang sambil menunjuk ke arah samping panggung di mana beberapa pria berseragam polisi berdiri. "Polisi! Ada kekacauan di sini!"

Mereka langsung menoleh dan melihat sekeliling, kemudian melarikan diri setelah tertangkap basah sedang merundung seseorang di tempat umum. Setelah merasa aman, laki-laki itu kembali meminta belas kasih mereka agar membantunya berdiri, tapi muda-mudi itu hanya menatapnya sebentar dan kembali acuh. Bahkan beberapa dari mereka ada yang mengumpat kesal hanya karena melihatnya mengulurkan tangan dengan wajah dipenuhi lumpur.

“Kamu tidak apa-apa?” terdengar suara seseorang di belakangnya.

Wajahnya terlihat senang. Dia benar-benar mengira ada seseorang yang peduli terhadapnya. Namun, saat menoleh ke arah sumber suara, petir kembali menggema. Kali ini hanya terjadi di dalam dadanya. Bagaimana tidak, dia sangat berharap kalau ada orang yang masih peduli, tapi kenyataannya perhatian itu bukan ditujukan padanya.

ARABELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang