Love Bird

11 2 0
                                    

BAB 3

Love Bird

Pagi datang lagi bersama kicauan burung dan siraman sinar matahari yang sempurna. Menyorot bumi dengan sinar yang hangat melalui riuh rendah daun-daun pohon rindang. Selain cicit burung, terasa juga embusan angin yang membuat daun-daun menari bersentuhan.

Di sebuah kamar bernuansa putih, terdengar alunan musik yang berasal dari ponsel genggam seseorang. Sebuah tangan muncul dari dalam selimut tebal, bergerak mencari sesuatu di atas nakas. Sibuk mencari-cari letak di mana ponselnya berada. Dan setelah mendapatkan apa yang dicari, dia pun kembali menarik tangannya, membawa ponsel itu masuk ke dalam selimutnya. Menatap layar ponsel dengan mata setengah terbuka.

Sosok di balik selimut itu adalah Zaidan Morley. Pria dengan paras tampan yang kini masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Menggeliat seraya menyingkirkan selimut, menendangnya perlahan sampai menunjukan ujung kakinya. Kemudian bangkit sambil menguap dan menggaruk tengkuknya.

Berdiri di depan pintu kamar mandi sambil memandangi layar ponselnya. Mengerutkan keningnya saat membaca beberapa pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari kontak dengan nama “Bellamy”. Ada perasaan malas untuk membalas pesan tersebut, karena baginya sapaan basa-basi Bellamy atau gadis dengan nama asli Arabella itu sangat membosankan. Pada awalnya Zaidan berniat untuk mengabaikan semua pesannya, tapi pada akhirnya dia tetap membalasnya saat gadis dengan nama panggilan Bella itu menanyakan kelanjutan kasusnya dengan Fandi.

Lama kelamaan Zaidan semakin terhanyut dengan obrolan Arabella. Sampai membawa ponselnya ke dalam ke kamar mandi dan menaruhnya di dekat meja wastafel. Menggunakan pengeras suara selama berbincang dengan Arabella lewat panggilan telepon. Dia menghabiskan waktu paginya sambil mencuci muka dan menggosok gigi. Sementara di seberang sana Arabella sibuk berkemas dan memakai seragam sekolahnya.

Zaidan pun menaruh ponselnya setelah berbicara panjang lebar dengan Bella. Kali ini dia benar-benar terjebak dan terhanyut dengan celotehan gadis 17 tahun di seberang sana. Karena pada awalnya Zaidan hanya berniat membalas satu pesan saja, tapi pada akhirnya Zaidan terjebak dengan obrolan Bella sampai membuatnya secara tidak sadar menerima panggilan telepon Bella.

“Tidak semenyebalkan yang aku pikirkan,” ungkap Zaidan dengan senyum tipis.

Pria itu memutar playlist lagu di ponselnya. Kemudian mengusap wajahnya dengan handuk sambil berdiri di depan wastafel. Memandangi ngeri wajahnya yang berhias bekas luka dan lebam buah dari perkelahiannya dengan Fandi. Diakhiri dengan mencukur habis kumis dan janggut tipisnya. Sementara itu kaki dan alisnya bergerak seirama seiring ketukan melodi.

Rumah terasa ramai seperti biasanya; suara musik memanjakan telinga, suara televisi yang menyiarkan berita, dan suara dentingan kuali dengan spatula. Hari yang berbeda, waktu yang berbeda, dan semangat yang berbeda. Laki-laki itu sudah siap dengan setelan celana pendek selutut, kaos lengan pendek, dan sepatu olahraga.

"Sarapan dulu, Zaidan," panggil sang ibu dari arah dapur.

Zaidan pun berjalan ke arah dapur. Memeluk sang ibu dari belakang sambil mencium pipinya penuh kasih sayang. "Selamat pagi," sapanya sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Kemudian berjalan cepat ke arah ruang tamu, menghampiri sang ayah dan melakukan tos dengan kepalan tangan.

“Wajahnya terlihat tidak asing,”  ungkap sang ayah bernama Bram.

Sang ibu menoleh pada layar televisi yang tengah ditonton suaminya. “Arabella? Dia putri Iriana. Kecantikannya menurun sempurna pada putrinya.”

“Oh Iriana. Apa mungkin dia akan jadi primadona seperti ibunya dulu?”

“Apa yang ayah bicarakan? Apakah ayah salah satu penggemarnya?” tanya Zaidan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARABELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang