07

104 15 5
                                    


“Akh!”

Laura meringis kesakitan saat Mujin dengan kasar melemparnya ke sebuah sofa yang ada di ruangan milik Aizen, sang pemilik restoran di mana Laura bekerja.

Wanita itu lekas bangun dan memilih duduk di pojok sofa sambil menatap takut pada Mujin. Demi Tuhan, pria itu terlihat menyeramkan saat ini.

Laura tidak mengerti kenapa Mujin bisa sampai menemukan dirinya di kota kecil ini? Padahal ia tidak meninggalkan jejak apapun yang bisa memudahkan Mujin menemukan keberadaannya.

Mujin bergerak mendekati Laura tanpa melunakkan tatapan matanya yang tajam. Pria itu lantas mencekal tangan Laura dan mengangkat tangan wanita itu hingga sejajar dengan wajah Laura sendiri.

“Sudah cukup main-mainnya, Laura.” ucap Mujin penuh penekanan.

Pria itu memperhatikan wajah Laura dengan seksama. Ingin sekali rasanya Mujin mencium Laura. Namun ia tidak akan melakukannya sekarang.

“Kau tahu, dari mana aku mendapatkan informasi tentangmu?” sudah saatnya Mujin kembali menekan mental Laura agar wanita itu berpikir ulang jika ingin meninggalkannya.

Laura menggeleng pelan. Dirinya memang tidak memiliki gambaran apapun tentang di mana Mujin mengetahui keberadaannya saat ini.

Pria itu tersenyum culas. Dia kemudian melepaskan cekalannya di tangan Laura. Dan membuat wanita itu refleks menyentuh pergelangan tangannya.

Mujin bergerak menjauh dari hadapan Laura, “Aku mendatangi kedua orang tuamu.” ucap pria itu membuat Laura terkejut.

“Kau tahu bagaimana keadaan mereka, Gongju?” tanya pria itu lagi sambil tersenyum tipis pada Laura.

Laura lantas berdiri di tempatnya. Wanita itu bergerak mendekati Mujin dengan wajah yang berubah menjadi penuh kecemasan. Wanita itu takut jika Mujin menyakiti kedua orang tuanya.

“Apa yang kau lakukan pada mereka?” tanya Laura menuntut penjelasan.

“APA KAU MENYAKITI KEDUA ORANG TUAKU?!” wanita itu berteriak marah.

Kemudian Laura berjongkok di bawah sambil menutup kedua matanya. Bayang-bayang terbunuhnya kekasihnya kembali melintas dalam ingatan Laura. Kini wanita itu ketakutan bukan main karena Mujin sudah berani menyinggung kedua orang tuanya.

Laura menangis merutuki kebodohannya. Ia tidak berpikir panjang saat memutuskan untuk melawan seseorang seperti Mujin. Padahal Laura sudah tahu bagaimana bengisnya pria itu ketika marah. Seharusnya itu menjadi acuan Laura untuk tidak bersikap sembarangan.

Mujin ikut berjongkok di depan Laura. Pria itu dengan santai meraih kedua tangan Laura dan menggenggamnya dengan lembut. Laura membuka kedua matanya dan melayangkan tatapan penuh kebencian pada pria itu.

Laura bahkan diam saja saat Mujin mulai mencium hampir seluruh permukaan wajahnya, juga mengahapus jejak air mata wanita dengan lidahnya.

Mujin tersenyum manis, “Semua tergantung sikapmu padaku, Laura.”

“Untuk saat ini kedua orang tuamu baik-baik saja. Namun jika sekali lagi kau kabur dariku.

Maka aku tidak akan segan menyakiti kedua orang tuamu.” ancamnya terdengar serius.

..

Mujin menatap sekeliling apartemen yang selama satu bulan ini Laura tempati. Apartemen kecil yang membuatnya terasa sesak berada di dalamnya.

“Jadi selama ini kau tidur di tempat seperti ini?” tanya Mujin yang ditujukan pada Laura. Namun wanita itu memilih mengabaikan pertanyaan itu karena sibuk membuatkan minum untuk tamu yang tidak diinginkannya.

Prisoner Of Love [Choi Mujin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang