02 - Perdebatan Jurusan

82 29 50
                                    

Sepulang dari sekolah, Harris mengayuh sepedanya secepat mungkin karena tidak sabar ingin segera memberi tahu kabar baik ini pada ayah dan ibunya. Dalam perjalanan, hati Harris merasa sangat gembira. Ia membayangkan bagaimana ekspresi kedua orangtuanya saat tau, jika dirinya menjadi salah satu murid yang masuk dalam jajaran siswa eligible dari beberapa ratus siswa di sekolahnya. Pasti akan sangat bangga!

Senyum Harris terus mengembang hingga ia sampai pada halaman rumahnya. Terdapat Irna-Ibu Harris-yang tengah menyapu, masih mengenakan seragam kerjanya.

"Tumben pulang sore? Ada ekstrakurikuler?" tanyanya. Irna masih melanjutkan kegiatannya, menyapu sambil memandangi Harris yang sedang memarkir sepeda di garasi.

Harris tidak menjawab. Ia justru langsung berlari memeluk ibunya erat. "Bu, Harris ada kabar baik!" ucap Harris dengan nada antusias, juga menampakkan ekspresi yang tak berubah sejak tadi, semringah. Ia melepas pelukannya.

Ibu Harris tersenyum sambil mengelus puncak kepala putra sulungnya. Tanpa membiarkan ibunya lebih dulu bertanya, Harris langsung memberi kabar yang sedari tadi ingin ia utarakan. "Harris masuk jajaran siswa eligible, Bu!"

"Eligible itu apa, Kak?" sahut Ila, adik Harris yang berumur empat belas tahun, muncul dari balik pintu rumah sembari mengayuh kursi roda dengan dua tangannya.

Harris beralih menghampirinya, lalu berjongkok di sebelah Ila. "Intinya, kalau Kakak mau kuliah nanti, Kakak bisa daftar pakai jalur undangan, La. Jadi, nggak perlu ikut tes," terangnya membuat mata Ila langsung terbelalak.

"Wow! Kakak hebat!" pujinya sangat antusias, "berarti suatu saat Ila harus bisa kayak Kakak!" sambungnya melebarkan senyum hingga deretan giginya terpampang.

Ibu Harris menepuk punggung putra sulungnya pelan dari belakang. "Pintar. Ibu bangga, Ris," pungkasnya dengan senyum simpul.

Irna kemudian masuk ke dalam rumah diikuti Harris yang juga mendorong kursi roda milik Ila menuju kamar milik adiknya. "Ila, kakak tinggal dulu, ya. Kamu belajar saja yang giat di kamar," titahnya. Gadis dengan kerudung bergo itu pun hanya mengangguk menuruti ucapan Harris.

Setelah memasukkan sang adik ke dalam kamar, Harris keluar untuk menemui sang ayah. Ia mencari keberadaan ayahnya di taman belakang, yang biasanya digunakan untuk bersantai membaca koran. Namun, tetap saja nihil. Harris tidak menemukan keberadaan ayahnya. Padahal biasanya, ayah Harris pulang lebih dulu daripada dirinya.

Ia kini berjalan menghampiri sang ibu di dapur yang sedang menyiapkan makan malam. "Bu, Ayah belum pulang?" tanyanya pada sang ibu yang tengah menggoreng sebuah ikan.

Irna membalik badan, melihat jam dinding. "Sebentar lagi. Lebih baik kamu mandi dulu, gantian sama Ibu nanti. Adikmu saja sudah wangi dan bersih," titahnya pada sang putra sulungnya yang juga diselingi sindiran. Harris mengangguk, menuruti perintah ibunya. Ia mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi.

Detik berganti dengan menit. Harris telah menyelesaikan kegiatannya. Ia keluar mengenakan handuk yang dikalungkan pada lehernya juga celana boxer. Saat langkah kakinya hendak menuju kamar, sudut mata Harris menangkap bayangan ayahnya.

Ia berbalik badan dan benar saja, ayahnya telah pulang. Dengan kemeja biru dan tas kotak berwarna hitam, ayah Harris menghempaskan diri di sofa ruang keluarga. Wajahnya terlihat letih.

Harris menghampiri sang ayah sambil memberikan kabar baik itu. "Ayah, Harris masuk kategori eligible." Ia duduk di samping ayahnya sambil sedikit memijat tangan kiri sang ayah.

"Ayah tidak mengerti. Bahasnya nanti saja, ayah masih capek," balasnya singkat sembari menggeser tangan Harris agar berganti untuk memijat bagian bahunya.

Brother's Story [Terbit]✓Where stories live. Discover now