03 - Buku Harian Ayah

43 20 25
                                    

Sore itu, ayah Harris pulang lebih dulu. Sambil menunggu putranya datang, ia fokus membaca koran di ruang keluarga ditemani secangkir teh hangat. Sesekali dirinya melihat jam tangan. Sudah hampir jam lima dan Harris masih belum pulang. Hendak ia beralih menyeruput teh tersebut, Harris datang dengan keringat yang bercucuran.

"Habis dari mana kamu berkeringat begitu?" tanya ayah Harris membuat Harris memberhentikan langkahnya.

"Main sepak bola sama temen," jawabnya singkat.

Tidak bisa dipungkiri, Harris masih merasa kesal dengan sang ayah sebab keputusan yang seenaknya itu. Menyuruhnya memasuki jurusan penerbangan tanpa mengetahui di mana minat dirinya terlebih dulu.

Ayah Harris yang paham dengan perasaan putranya pun menaruh koran di atas meja, lalu bangkit dari sofanya. "Ris ...." Ayah Harris menjeda ucapannya, mengambil napas dalam.

Dirinya menepuk-nepuk pundak Harris, menatapnya dingin dan melanjutkan ucapannya. "Setelah mandi dan mengganti pakaian, datang ke kamar Ayah. Ada sesuatu yang ingin Ayah tunjukkan," pungkas ayah Harris mengakhiri percakapan.

Menatap punggung sang ayah yang semakin menjauh hingga masuk ke dalam kamar, Harris semakin bertanya-tanya. Tidak biasanya ayahnya terlihat serius seperti ini.

Harris merasa seperti ada sesuatu, atau mungkin hal besar yang ingin ayahnya tunjukkan pada Harris, meskipun Harris juga tidak tahu apa itu. Namun, sejujurnya yang ada di pikiran Harris hanya satu. Entah bagaimana ekspresi ayahnya nanti jika tahu kalau Harris sudah memilih jurusan dan kabar buruknya jurusan itu tidak sesuai dengan keinginan sang ayah.

Sesuai perintah sang ayah sebelumnya, Harris bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dengan cepat, lalu setelahnya berganti pakaian dan mengunjungi kamar sang ayah.

Langkah kaki Harris pelan memasuki kamar ayahnya yang dibiarkan terbuka lebar. Sejujurnya, Harris masih merasa takut jika menganggu ayahnya yang tengah sibuk berkutat dengan laptop. Akan tetapi, dengan sedikit keberaniannya, Harris pun mulai bersuara. "Permisi, Yah."

"Ya. Duduk dulu saja," perintahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Harris yang sudah berada di belakangnya.

Harris menurut. Ia memilih duduk di sofa panjang berwarna biru sembari menunggu sang ayah selesai berkutat dengan pekerjaannya. Detik demi menit berlalu, menunggu tidak kurang dari sepuluh menit, ayah Harris menutup laptopnya. Harris masih terdiam sambil sekilas melihat sang ayah membuka lemari dan mengeluarkan sebuah buku usang.

"Kemari," titah ayah Harris masih fokus menatap buku usang yang mana Harris duga adalah album foto milik ayahnya zaman dulu. Harris berjalan menghampiri sang ayah yang kini duduk di atas kasur.

"Apa itu, Yah?" tanya Harris yang sudah duduk di samping ayahnya.

Ayah Harris tidak menggubris. Ia terdiam, tetapi tatapannya berubah menjadi sendu. Dirinya tertunduk sambil mengusap album usang itu bersama jemarinya. Sebuah foto anak kecil sebagai cover utama.

"Ini album Ayah dan sampul ini adalah foto anak kecil dengan sejuta mimpi yang gugur. Atau mungkin lebih tepatnya, mimpi yang tak pernah sampai," jelas ayah Harris membuat Harris semakin tidak mengerti dengan ucapan yang baru saja ayahnya lontarkan.

Jemari ayah Harris membuka lembar demi lembar sembari menunjukkan siapa saja orang yang berada di dalam album tersebut. Mulai dari saudara perempuan ayah Harris yang tidak lain adalah tantenya, seorang pemimpin di perusahaan bank. Kemudian saudara laki-laki ayah Harris yang tidak lain adalah pamannya, seorang pilot. Ayah Harris menceritakan seluruh silsilah keluarganya. Hingga sampai pada satu foto, jemari ayah Harris berhenti membalik lembar selanjutnya.

Brother's Story [Terbit]✓Where stories live. Discover now