Matanya memandang tengah menatap seseorang yang sedang menangis di depannya ini. Mata coklat itu nampak kosong, seakan-akan tak ada kepeduliannya.
Oh, perkenalkan nama dia adalah Raylisa. Tak memiliki nama, panjang? Ya. Karena ia di besarkan di panti asuhan. Katanya, ia anak yang tak di inginkan.
"Nangis aja. Aku gak bakal peduli," Raylisa dengan santainya, membuka bungkus plastik untuk mengambil permen yang terhalang plastik tersebut.
Tangisan gadis itu seakan-akan tak berhenti, pikiran gadis bernama Beryl melayang kemana-mana. Ia kan anak pemilik sekolah, kenapa di bully seperti ini? Seharusnya, ia di sanjung dan di hormati bukan di bully seperti ini.
"Kamu! Bakal aku laporin ke papah ku!" Beryl bangkit, menunjuk wajahnya sembari menghapus air matanya, kasar.
Senyuman miring di tampilkannya, Raylisa nampak tak peduli sama sekali. Ia bahkan dengan santainya mengemut permennya.
Suara sepatu di lorong itu menarik perhatiannya, di sana seorang pria berjas nampak mendekatinya. Orang itu nampak mengenakan jas kantor miliknya. Rapih, tampan juga, iya. Aroma duit? Sudah jelas.
"Papah!" Beryl berlari dengan terpincang-pincang sembari memeluk pria paruh baya tersebut. Pria bernama Jahson Derinius itu adalah ayah dari Beryl. Sekaligus, pemilik sekolah.
"Papah --" Dengan sesenggukan ia mulai menceritakannya apa yang terjadi padanya.
"Tadi... aku di jahatin, sama dia." Beryl menunjuk-nunjuk Raylisa yang tengah bersidekap dada dengan santainya.
Jahson terdiam, wajah itu sama sekali tidak asing di benaknya. Tapi siapa? Menepis pikirannya, akhirnya ia menatap anaknya yang tengah merengek-rengek meminta agar, Raylisa di hukum.
"Keluarin dia dari sekolah. Pah," Beryl nampak dendam sekali, padanya.
Pria paruh baya itu menghela napas, lantas ia mengusap kepala Beryl lalu menatap gadis yang berada 200 meter di depannya ini.
"Tidak bisa. Dia berprestasi, kalau mengeluarkan dia, otomatis sekolah ini juga kehilangan piala emasnya."
Beryl marah, ia mengepalkan tangannya di balik jas Jahson. Ia ingin sekali mengeluarkan perempuan sombong itu. Berkali-kali ia memintanya pada Papahnya itu, tapi tak di gubrisnya. Maybe, Papah tak ingin kehilangan anak emasnya itu.
Jika saja wanita pembully itu keluar, ia bisa saja memjadi ratu di sekolah itu dan berbuat sesuka hati. Melakukan apa yang dia inginkan.
"Padahal sedikit lagi. Biar aku bisa menguasai sekolah," Geramnya dalam hati, sembari menatap Raylisa dengan aura permusuhan.
"Tapi dia membully aku!" Teriaknya. Yang membuat orang-orang yang baru saja dari kantin, melihatnya. Malu? Ia sama sekali, tak mempedulikan itu.
"Mungkin dia memiliki alasan, khusus." Ucap Jahson sembari melepaskan pelukan dari putrinya itu.
Mata Berly memerah, wajahnya juga. Nampaknya Papahnya tak lagi bisa di percaya lagi.
" Dia membully aku. Dan Papah bilang, dia punya alasan khusus?"
"Biarkan saja. Biar guru yang mengurusnya," Jahson mengelus kepalanya, kemudian berjalan ke depan menuju ruang para petinggi sekolah.
Setelah Jahson menjauh, Berly menghentakkan kakinya. Ia kesal lagi-lagi, ia tak di bela.
"Kasian, gak di bela." Raylisa mencoba menutup mulutnya, menahan tawanya yang akan meledak. Karena sedari tadi ia menyimak apa yang ke dua ayah-anak itu lakukan.
Raylisa melangkah, ia menjauh agar ia tak di hukum. Munafik? Jelas.
"Ke mana sekarang? Ah mungkin, ke perpustakaan." Kakinya langsung mengarah ke arah perpustakaan yang berada di lantai dua.
• • • • • • 💛 • • • • • • 💛
Sepanjang perjalanan ke perpustakaan, ia mendapatkan banyak sekali caci maki. Banyak yang menggunjing nya karena keterlaluan pada anak pemilik sekolah ini. Tapi ia tak peduli, yang terpenting sekarang hanyalah menuntaskan pekerjaannya untuk membaca buku, atau tidur di perpustakaan.
"Karma? Aku gak percaya, itu," Raylisa tersenyum miring, ia sama sekali tak percaya dengan karma. Menurutnya, karma itu tidak ada.
Di perpustakaan hanya ada ia dan seseorang berkacamata yang tengah membaca buku dengan serius. Bahkan perempuan berkacamata itu nampak membaca buku dengan seriusnya.
"Kelihatan seru banget, boleh pinjem gak?" Raylisa mendekati perempuan itu. Mencoba mendekati perempuan yang tengah asik tersebut.
"Gak." Jawab perempuan itu singkat sembari, membetulkan kacamatanya yang melorot ke hidung.
Dengan cepat, ia merebut buku itu dari anak berkacamata bernama Reva tersebut.
"Ah. Pinjem sebentar, pelit banget sih. Lagian bukunya seseru apa coba?" Tanya Raylisa sembari membaca sedikit buku itu dan langsung mencari tempat untuk membacanya.
"Semoga kamu dapet karma." Gumam Reva sembari menatap Raylisa yang tengah serius membaca buku.
Merasa di bicarakan, Raylisa melihat ke arah Reva. Tapi Reva sudah tidak ada, lalu kemana Reva pergi? Ia terkejut, secepat itu? Apakah apa pintu rahasia di perpustakaan? Sepertinya, tidak.
Buku yang tengah ia baca berjudul 'Aku menjadi bodoh gara-gara cinta'. Bercerita tentang kehidupan Raylisa Adaea yang jatuh cinta dengan, seseorang anak pejabat yang semena-mena. Yang singkat cerita, Raylisa Adaea jatuh cinta dengan Nathaniel Hawthorne, anak pejabat nakal itu.
Mereka saling jatuh cinta, tapi Sayangnya di balik itu semua, Nathaniel berselingkuh. Namun itu tertutup sangat rapih olehnya.
"Shit! Pinter banget dia," Puji Raylisa tanpa sadar, seketika ia langsung menutup mulutnya."Apaan sih!" Ia refleks menutup mulutnya, benci dengan perkataannya. Ah, di banding Nathaniel ia lebih menyukai Rayyanza Raiva Valeria. Panjang sekali nama hanya untuk, seorang figuran.
•
•
•
•
•TBC 🌠
Anak tunggal kaya raya 🐰🦅❤️💚 Na Jaemin and park Jongseong!
Bakal aku revisi kalau udah tamat.😅 Lagi, ya? Maaf atuh,🐱karena katanya cuma 800, kayaknya ke hapus deh soalnya kemarin aku nulis 1400 kata lebih loh 😩 Satu aja kok🤍☝🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, I'm coming!
Historical FictionTakdir membawanya menghilang, bahkan dengan kejam menghapus ingatannya. Bahkan, memutar-mutar kejadian yang tak mau ia ingat. (Aku lagi memperbaiki cara menulis ku) Namanya Raylisa ia tak memiliki nama yang panjang. Karena ia di besarkan di panti as...