Kayaknya, ini bab terakhir deh. Soalnya, gak ada notif wattpad Yang ngasih tau kalau ada yang vote. Kasih tau dong cara menulis yang baik di comment! Tulisanku aja masih acak-acakan haha🥺
-
-
-
-Tangannya terlihat sibuk menggambar sesuatu. Dari dulu, ia sangat menyukai menggambar. Tapi sayangnya ia sama bakat tersebut tidak ia tonjolkan. Ia sangat suka menggambar tapi hobinya harus sering tertunda karena pekerjaannya. Plus tak ada y,ang mendukungnya.
Raylisa menggambar seseorang yang terlihat mencium tangan si perempuan. Pakaian yang di kenakan dua pasangan tersebut, pakaian kerajaan. Dengan si perempuan yang terlihat tersenyum malu-malu saat tangannya di cium.
"Aku menggambar ini seperti familiar. Tapi siapa mereka?" Tangannya sibuk mewarnai gambar tersebut, saat mulutnya berbicara.
Perempuan yang ada di gambar Raylisa ia warnai dengan rambut berwarna putih, gaun panjang seperti putri dengan warna merah. Iris mata yang berwarna ungu cerah. Si laki-laki Raylisa gambarkan dengan rambut yang terlihat berantakan, berwarna hitam dengan manik merah darah. Dan pakaiannya yang berwarna putih, sama seperti rambut sang perempuan. Mahkota terlihat menghiasi di kedua kepala pasangan tersebut.
"Mereka terlihat, perfect!" Raylisa terlihat membangga-banggakan hasil gambarannya. Lengkungan bibirnya membentuk senyuman.
Raylisa bangun dari tempat duduknya. Ia lalu melihat sekali lagi gambar yang ia buat tersebut. Lalu saat ia asik memamerkannya, angin berhembus dengan kencang hingga menerbangkan gambar miliknya. Raylisa berusaha menahannya, tapi anginnya terlihat begitu kuat.
"Ah sialan! Kenapa terbang segala, sih!" Raylisa menghentakkan kakinya, sebelum mengejar gambarnya yang terbang tersebut. Bahkan ia terlihat melupakan pensil warna, spidol, dan alat-alat menggambar yang ia pinjam dari Rain. Iya, Raylisa meminjamnya dari Rain. Saat di sekolah tadi. Iya Raylisa meminjamnya, dengan sedikit menggoda Rain.
Saat mengejar gambarannya, ia terpaku melihat seseorang yang tengah memegang sebuah kamera. Dan ia terlihat sedang memotret pemandangan danau. Yang kebetulan, danau tersebut ada di depan taman ini.
"Rain!?" Raylisa menutup mulutnya sendiri, suaranya saat memanggil Rain. Terlalu, keras. Ia takut orang menganggapnya, sebagai orang gila.
Manik mata yang terhalang kacamata tersebut melirik ke arah-nya, lalu senyuman lebar terlihat di wajah itu. Bahkan kedua bolongan di pipi Rain terlihat begitu jelas, karena senyuman yang lebar.
Sebelah tangan milik Rain yang tidak memegang kamera, melambaikan tangan. Sepertinya, ia sudah ketahuan. Mati sudah. Apalagi Rain terlihat cerah di siang menjelang sore hari.
"Aduh gimana aku gak jatuh, cinta coba." Raylisa menggigit bawah bibirnya, ia gugup sekaligus grogi. Pikirannya yang tadi sempat marah akibat gambarannya yang hilang sekarang ikut menghilang. Ah tidak, lebih tepatnya ia melupakannya karena tiba-tiba ada laki-laki yang sangat ia sukai tersebut.
Saat berkedip sekali lagi, Raylisa melihat Rain tengah berjalan ke arah-nya. Dengan kamera yang yang di gantungkan di leher dan tangan kanannya sudah terlihat memegang sebuah kertas.
1 detik, 2 detik. Raylisa memandangi laki-laki imut bercampur tampan di depannya ini. Jantungnya seakan-akan berhenti sendiri, saat melihat Rain.
"Ini gambaran mu, ya?" Rain menyodorkan kertas tersebut. Raylisa mengambilnya dengan tangan yang bergetar. Sungguh aura Rain sangat kuat. Ia tidak sabar, menjadikan Rain sebagai pasangannya!
"Kamu gapapa? Tangan kamu gemetaran, tuh,"
Rain tertawa, melihat wajah Raylisa yang terlihat lucu menurutnya. Apalagi raut wajah Raylisa yang seperti pertama kali bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, I'm coming!
Historische RomaneTakdir membawanya menghilang, bahkan dengan kejam menghapus ingatannya. Bahkan, memutar-mutar kejadian yang tak mau ia ingat. (Aku lagi memperbaiki cara menulis ku) Namanya Raylisa ia tak memiliki nama yang panjang. Karena ia di besarkan di panti as...