9. Hujan dan Redanya

20 2 0
                                    

Nardha pov

Kata orang buah itu jatuh nggak jauh dari pohonnya, dan ungkapan itu emang relate sama gue dan Papa. Sedikit banyak gue itu mirip Papa. Bukan cuma soal wajah kami yang mirip tapi juga kepribadian kami pun juga mirip.

Papa suka banget ngegym, gue pun juga. Kadang kalo Papa nggak sibuk pasti ngajakin gue ngegym bareng. Papa juga orangnya random banget kayak gue. Hardi dan Rey pasti tau banget kelakuan gue kayak gimana kalau lagi mode random. Papa juga nggak bisa masak atau ngurus pekerjaan rumah, gue juga sama. Dan tentang Papa yang suka menyibukkan diri dengan bekerja gak kenal waktu untuk lupain Bunda, sepertinya itu juga nurun ke gue juga.

Sejak Papa dan Bunda cerai gue juga melakukan hal yang sama dengan apa yang Papa lakukan. Menyibukkan diri dengan apapun biar otak gue ke distract dengan hal lain. Kalau Papa tiap hari lembur maka gue tiap hari ngurusin BEM.

Awalnya gue emang niat ikut organisasi kampus biar lupa aja sama masalah keluarga, tapi lama kelamaan gue ngerasa nyaman sama apa yang gue lakuin. Dengan ikut BEM gue jadi bisa belajar banyak hal dan pengalaman yang gue dapet di organisasi ini yakin banget bakalan kepakai ketika gue masuk di dunia kerja.

Emang sih ikutan organisasi kayak gini banyak capeknya, ya kayak malem ini. Rasanya kepala gue mau meledak gara-gara mikirin ide buat event tahunan kampus.

"Gue nyari ide dimana lagi ya Tuhan..." Gue mengusap wajah kasar dilanjutkan menyunggar rambut ke belakang karena frustasi.

Gue beranjak dari meja belajar dan memilih untuk membuka jendela kamar lebar-lebar. Kayaknya gue emang butuh udara segar masuk ke kamar gue yang pengap ini. Maklum gue itu jarang buka gorden dan jendela kamar karena gue suka suasana kamar yang warm dan remang remang. Yah gitu deh pokoknya konsepnya. Cuman mungkin ide gue jadi mampet karena itu juga, makanya nggak ada salahnya kalau gue membiarkan udara malam masuk ke kamar. Kebetulan juga lagi hujan, jadi gue juga bisa menghirup aroma tanah yang basah karena diguyur hujan. Gue suka aroma petrichor.

"Hujannya deres banget." Gumam gue melihat keluar jendela dan satu tangan yang terulur untuk merasakan telapak tangan gue yang terkena jatuhan air hujan. Bulu kuduk gue sampai meremang efek kena air hujan yang dingin.

Gue memejamkan mata menghirup dalam dalam aroma petrichor yang menguar kuat menembus hidung. Saat mata gue terpejam tiba-tiba terlintas potongan potongan puzzle dari masa lalu kembali datang. Periatiwa ketika malam terakhir gue, Papa dan Bunda jadi keluarga. Dulu malam terakhir ketika Bunda akan pergi meninggalkan rumah ini juga sedang turun hujan sangat lebat seperti ini. De javu. Gue selalu ingin mengubur memori itu tapi ada saat saat seperti saat ini tiba-tiba memori itu menyeruak kembali. Tanpa bisa gue cegah. Emang benar ya Tuhan itu menciptakan otak untuk mengingat bukan untuk melupakan.

Gue tersenyum getir kemudian membuka mata dan melemparkan pandangan ke depan sana berharap ingatan itu enyah untuk saat ini aja. Gue pengen refresh otak gue bukan malah sebaliknya jadi gue mohon untuk kali ini aja biarkan gue nggak kesakitan.

Gue memilih menatap jendela kamar Nay yang entah kenapa malah terbuka dengan gorden yang terbawa angin.

"Nay..."

Gue mengambil HP yang tadinya gue taruh di nakas. Dengan ragu gue membuka kotak obrolan dengan Nay.

Nay
Lo udah tidur?

Satu menit telah berlalu tapi Nay tidak kunjung membuka pesan dari gue. Gue kembali menatap jendela kamar Nay. Gue yakin gorden bunga bunga miliknya itu sudah basah karena air hujan dan gue juga takut engsel jendelanya akan rusak kena angin yang kencang.

Tanpa pikir panjang gue menekan ikon telepon di HP gue. Fyi gue itu tipe orang yang apa apa langsung call, bukan tipe chatan jadi ya nggak aneh juga kalau sekarang gue milih nelfon Nay daripada gue mati nungguin balasan pesan darinya.

My First And LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang