Kehidupan Jennie berubah 360 derajat begitu sang Ayah—Sony yang meninggal 3 tahun yang lalu.
Harta warisan serta rumah besar yang semula mereka tempati habis tak bersisa demi melunasi hutang rumah sakit yang membludak sebagai biaya pengobatan, operasi, cuci darah serta penginapan sang Ayah yang terkena kanker darah.
Sekarang ia bersama ibunya tinggal di rumah satu tingkat tanpa halaman. Gaya hidup mereka sangat sederhana dan Jennie cukup tahu diri untuk tidak mau meminta banyak karena ia tahu sekeras apa ibunya banting tulang untuk membiayai kehidupan mereka sekaligus melengkapi pembayaran hutang rumah sakit yang akhirnya lunas tahun lalu.
Ia tidak ingin ia juga menjadi menjadi beban untuk ibunya, jadi ia berusaha keras untuk terus belajar dan aktif mengikuti organisasi sekolah agar beasiswanya tidak dicabut dan diperpanjang sampai lulus sekolah nanti.
Maka dari itu, ia sebisa mungkin berusaha untuk tidak tergoda dengan kehidupan para gadis seusianya yang banyak berjalan mengunjungi banyak tempat bersama teman- teman sebaya mereka atau lebih banyak menghabis waktu berpacaran karena masih ada masa depan yang harus digapainya dengan susah payah agar tidak menjadi pikiran yang memberatkan sang ibu dan akhirnya menjadi penyakit.
Baginya sudah cukup kehilangan satu orang yang amat dicintainya, ia tidak ingin ibunya juga diambil Sang Pencipta dalam waktu dekat.
"Pagi, ma. Jangan sampe sakit lagi, nini jadi sedih banget." Katanya setelah melihat sang ibu sudah duduk di kursi makan.
Jiwon tersenyum manis, ia mencium sebelah pipi sang anak. "Iya Nini. Makasih ya udah ngerawat mama sampe sembuh."
"Sama - sama, ma."
"Ah ya, nini kemarin pulangnya dianterin siapa pake mobil gitu?"
Pipi Jennie memerah, "Um, dianterin Kak Lisa, ma..."
"Lisa Atlet Nasional itu?"
"Hu'uh." Jennie menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu - malu.
"Kok bisa? Kalian kan ga saling kenal terus Lisa kan sering banget ga masuk sekolah, Nini?"
"Iya jadi kemarin kan Nini diomelin karena lupa bawa almet padahal mau pelantikan OSIS, ma. Kak Lisa rupanya dengerin, terus ngasih almet dia deh buat nini pakek. Pulang sekolahnya pas nini mau balikin almet, Kak Lisa minta temenin makan ice cream ga boleh nolak, terus sekalian dia yang anter nini pulang deh."
"Oalah jadi gitu. Lisa emang anaknya baik sih, pinter juga selalu masuk peringkat dua besar."
"Hah? Bukannya dia jarang masuk sekolah ya ma?"
"Iya dia pinter, Nini. Guru - guru pada ngomongin dia hebat banget bisa bagi waktu latihan sama belajar, ya meskipun jarang belajar di sekolah mungkin dia belajar mandiri di sela - sela waktu sibuk latihan nya.
Tapi kalo mama ga heran sih, orangtuanya dokter semua. Gen pinter mereka jadi nurun ke anaknya."
Jennie menganggukkan kepalanya paham sekaligus mendapat informasi baru tentang Kakak Kelasnya itu dari sang ibu.
Dokter.....
Itu adalah profesi yang ia inginkan di masa depan, namun sayang hal itu harus ia kubur dalam - dalam karena mengingat status ekonomi mereka tidak sama seperti dulu lagi. Menempuh pendidikan dokter membutuhkan biaya yang sangat mahal, jika nanti mendapat beasiswa di Universitas pun masih tidak cukup untuk menanggung biaya diluar itu.
"Yaudah sarapan gih, jangan sampe nanti kita jadi telat ke sekolahnya."
"Iya, ma. Hari ini nini aja yang bawa motornya, badan mama belum fit banget soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roman Empire
Teen FictionTruth, dare, spin bottles, You know how to ball, I know Aristotle...