Kini, setiap hari ayah Harris mulai mendidik Harris jauh lebih keras dari pada biasanya. Waktu demi waktu Harris lalui dengan susah payah. Padahal, kala itu Harris teramat senang tatkala perilaku ayahnya berubah sedikit lebih hangat perhatiannya. Namun, ternyata sikap ayahnya tidak bertahan lama. Kembali lagi ke setelan awal.
Biasanya, Harris diberi waktu satu jam untuk mempelajari materi dari sang ayah. Akan tetapi, saat ayahnya tahu jika Harris masih belum juga paham, Harris pun diberi lebih banyak waktu untuk belajar. Setiap malam, Harris diberi ayahnya dua jam untuk memahami materi dan dua jam untuk pengerjaan soal.
Selama satu minggu lebih, Harris selalu dibangunkan sang ayah setiap pukul tiga pagi demi kembali mengulang materi yang dipelajarinya setiap malam. Hal itu dilakukan sang ayah untuk mengawasinya, agar Harris konsisten belajar dan terus belajar. Sebab, kata ayahnya pengumuman kelulusan administrasi tidak kurang dari dua minggu. Jadi, Harris harus mengebut untuk setidaknya bisa mengerjakan tujuh puluh persen dari seratus soal, dengan hasil yang benar jika ingin lolos di tes tulis pertamanya nanti.
Beban yanqg dipikul Harris sangatlah berat. Sejujurnya, Harris memiliki banyak kecemasan, juga pertanyaan yang terputar di kepalanya. Salah satunya, tentang bagaimana jika nanti dirinya tidak lolos tes dan semacamnya. Ia takut, ayahnya akan membentak Harris, lagi dan lagi.
Diri Harris tidak ingin membuat orang tuanya kecewa. Terlebih sang ayah. Ia takut jika membuat sang ayah kecewa jika tidak lolos. Padahal segala biaya sudah diberikan sepenuhnya pada diri Harris untuk pendaftaran administrasi jalur mandiri itu, demi bisa melihat Harris menjadi salah satu bagian dari anggota di sekolah penerbangan.
Setiap kali Harris selesai mengerjakan latihan soal dari ayahnya di malam hari, Harris termenung sembari merasakan keheningan malam. Ia melihat bulan dan bintang yang berpencar di langit-langit malam, seakan ingin memeluk Harris dalam malam yang dingin. Harris rasa, benda kecil di langit sana turut merasakan apa yang Harris rasakan.
Dirinya tidak mampu mengeluh, karena sang ayah selalu menekankan sebuah kalimat pada Harris setiap sebelum tertidur. "Ayah tidak suka kekalahan. Jadi, kamu harus berusaha keras untuk bisa lolos tes itu. Ayah sangat berharap banyak pada kamu, Ris."
Mengingat kata-kata itu selalu sukses membuat rasa malas Harris terkungkung. Semangatnya seakan kembali berapi-api. Akan tetapi, di lain sisi kata-kata itu juga membuat Harris seakan memiliki tanggung jawab besar. Ia merasa, banyak sekali hal dan tuntutan yang dibebankan pada pundaknya. Pikir Harris, mungkin seperti inilah rasanya hidup yang akan memasuki jenjang dewasa. Banyak yang dipikirkan, juga banyak yang dikorbankan.
××××
Dua minggu kemudian, hari berjalan tanpa terasa. Harris bersama sang ayah telah bersiap menunggu hasil pengumuman kelulusan administrasi, bagi para pendaftar peserta didik angkatan penerbangan sore ini. Mereka sudah bersiap di depan laptop Harris. Sambil menunggu, adik dan ibunya datang membawa sebuah camilan bersamaan dengan teh dan susu. Mereka bersama-sama turut menyaksikan hasil kelulusan tersebut.
Tidak disangka, paman Harris berserta istrinya pun turut datang melihat pengumuman Harris sore ini. Ibu Harris pun membuatkan kembali camilan rumahan kesukaan ayah Harris, pisang goreng, agar bisa dimakan bersama-sama. Momen emas ini, momen berkumpul dengan keluarga yang sudah lama tidak dirasakan oleh Harris. Dirinya sangat bersyukur. Jarang sekali hal ini terjadi jika bukan pada hari raya.
"Waktu Mas Baron daftarin Harris, apa aja yang perlu disiapin, Mas?" tanya Rosa, tante Harris, membuka obrolan.
"Ya, siapin uang pastinya yang utama. Terus KTP, SKCK, KK, ijazah. Gitu-gitu aja, sih. Tapi, kalau ijazah, kan, nunggu dapet pas kelulusan Harris. Jadi, ya, kalau lolos tes pertama itu nyusul ijazahnya nanti nggak papa katanya. Soalnya nggak semua sekolah waktu wisudanya sama. Mumpung juga seingat aku rapor Harris, kan, bagus. Yang terpenting juga dia masuk eligible waktu itu. Jadi, ya, yakin aja aku kalau dia pasti lolos," ujar ayah Harris berbangga diri.
Tante Harris hanya membentuk o dalam mulutnya sambil mengangguk-angguk. "Loh, berarti kalau nilainya misalkan jelek, nggak lulus, dong, ya?"
"Ya, iya. Kamu ini pake nanya segala," celetuk paman Harris menyahuti istrinya.
Harris hanya tersenyum canggung mendengarkan obrolan mereka. Sementara Ila tiba-tiba turut bertanya. "Tapi, kok, jalur undangan Kakak nggak lulus? Harusnya kalau penerbangan ini lulus, berarti yang jalur undangan itu lulus?"
Semua orang tidak habis pikir dengan pertanyaan Ila. Cerdas. Ibu Harris yang baru saja datang membawa sepiring camilan pun ikut terdiam. Sementara di sisi lain, tante Harris yang penasaran pun kembali bertanya.
"Nah, bener juga itu pertanyaan Ila." Paman Harris yang merasa tidak enak pada ayah Harris pun, langsung menyikut lengan istrinya dengan sorot mata tajam, seakan menyuruh untuk diam.
Rosa tidak peduli. Justru ia mengabaikan kode itu dari suaminya. "Kenapa, sih, Mas? Aku, kan, cuma bertanya," bisiknya.
"Itu, kan, beda. Mungkin jurusan yang Harris pilih itu keketatannya tinggi. Ibarat, banyak juga yang ambil di sana atau mungkin juga ada beberapa faktor tertentu. Jadi, nggak lolos. Lagipula jalur itu hoki-hokian juga," pungkas ayah Harris membela.
Ibu Harris hanya mengembuskan napas pasrah, menggaruk kepalanya sebab merasa tidak enak hati. Terkadang, memang ucapan ayah Harris itu terlalu meninggi hingga ibu Harris pun sering merasa canggung. Melihat hal itu, ibu Harris langsung menyela obrolan mereka dengan menawarkan camilan yang sudah dibawanya sedari tadi. Berharap agar topik pembicaraan ini tidak berlangsung lama.
Menunggu tidak kurang dari lima belas menit, pengumuman mengenai kelulusan administrasi pun sudah dibuka. Harris mengetahui itu dari web yang sudah dipantaunya sejak tadi. "Yah, udah ada info pengumuman itu, Yah," tutur Harris semringah pada sang ayah.
Baron pun langsung sesegera mungkin mengetik nama Harris di web tersebut untuk melihat apakah putranya lolos atau tidak. Sebelum itu, Baron memejamkan mata, berdoa. Kali ini dirinya sangat berharap putranya akan lolos. Selesai berdoa dengan sungguh, dia pun menarik napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol klik!
Sebuah kalimat dinyatakan lulus administrasi atas nama Ahmad Harris pun membuat semua keluarganya turut berbahagia. Baron sangat senang, akhirnya mimpi itu tercapai meski tidak berasal dari dirinya, melainkan keturunannya. Ia memeluk Harris erat, sembari menciumi beberapa kali puncak kepala Harris.
Mereka semua pun, termasuk paman dan tante Harris turut memberi selamat pada Harris. Mereka semua bangga padanya. Hal ini terasa seperti mimpi bagi seorang Harris. Setelah perjuangannya yang lumayan panjang, ditambah bentakan dan tuntutan yang setiap kali ayahnya beri ternyata tidak sia-sia.
Meskipun Harris sadar, masih ada rintangan-rintangan selanjutnya. Namun, dirinya berharap bisa melewati berbagai rintangan itu seperti sebelumnya. Harris senang. Membayangkan saja menyenangkan, jika Harris bisa sampai bekerja di sana suatu saat nanti. Menenteng seragam dengan berjalan gagah. Sangat keren!
"Besok pagi tes tulis pertamamu, Ris. Kamu besok berangkat sama ibumu dulu, ya, ke Surabaya. Ibumu besok biar cuti kerja. Ayah nggak bisa nganter karena besok harus lembur," ujarnya menjelaskan.
Lagi dan lagi, Harris mengembuskan napas kecewa. Setidaknya Harris lulus seleksi ini, jadi rasa kecewa itu tidak seberapa besar menjalar di hati Harris. Sekarang, Harris hanya fokus pada satu hal, langkah barunya. Ia menatap tajam, lurus ke depan dengan semangat yang membumbung sembari berkata dalam hatinya. Nggak papa, Ris. Tetep semangat! Langkah awal kamu baru saja dimulai. Mimpi baru, semangat baru!
~Bersambung
YOU ARE READING
Brother's Story [Terbit]✓
Teen FictionDituntut untuk selalu bisa menjadi contoh yang baik dalam keluarga dengan bersembunyi di balik kata 'Kamu, kan, anak pertama,' membuat Ahmad Harris hidup penuh dalam tekanan. Terlebih saat ia diberi tanggungjawab untuk mewujudkan mimpi ayahnya yang...