Chapter 8 [revisi]

32 8 0
                                    

DING!! DONG!!

Suara bel yang nyaring itu terus terdengar menggema di sepanjang lorong apartemen nomor 105. Sudah hampir lima belas menit berlalu, namun tak seorang pun datang untuk membuka pintu. Dari luar, bel tersebut seakan memanggil perhatian orang-orang yang khawatir, bertanya-tanya mengapa pintu tidak juga dibuka.

"Kenapa tidak dibukakan ya? Apa Kak Gem keluar?" tanya Solar dengan nada kebingungan, berharap mungkin Gempa telah menghubungi salah satu dari mereka.

"Kenapa tidak dibukakan ya? Apa Kak Gem keluar?" tanya Solar dengan nada kebingungan, berharap mungkin Gempa telah menghubungi salah satu dari mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namun, semua hanya menggelengkan kepala. Tidak ada yang tahu mengapa Gempa tak juga membuka pintu. Kekhawatiran semakin menyelimuti suasana.

"Aduh, badan gue pegel nih. Mau tidur aja deh," keluh Blaze sambil meregangkan tubuhnya yang mulai terasa kaku.

"Kak Gem biasanya kalau pergi, ngabarin setidaknya salah satu dari kita," ucap Aliya, mencoba memberi saran. "Coba buka deh, Kak," titahnya kepada Halilintar, yang sejak tadi hanya diam.

Halilintar mengangguk, mengerti apa yang dimaksud. Dengan santai, ia melangkah menuju pintu, menarik knop pintu dengan satu gerakan ringan.

Cklek.

Pintu apartemen itu akhirnya terbuka, menampilkan sebuah ruangan yang seharusnya menyambut mereka dengan kehangatan. Namun, yang mereka temui justru sesuatu yang berbeda. Wajah mereka langsung berubah terkejut, merasa ada yang tidak beres. Meski mereka tak perlu menunggu lebih lama di luar, yang membuat mereka kaget adalah kenyataan bahwa Gempa tak pernah seceroboh ini. Mereka masuk satu per satu dengan rasa tidak nyaman yang semakin menekan.

Ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam, ketegangan semakin terasa. Apartemen itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya dari jendela yang sudah dipasangi tirai. Pukul 19.00 WIB, namun seharusnya lampu sudah menyala. Keheningan yang memeluk ruangan menambah rasa takut di hati mereka. Bau asing yang tak mengenakkan mulai menusuk indera penciuman mereka, membuat mereka terpaksa menutup hidung masing-masing.

"GEMPAAAA!!"

"GEMPAAAA, KAU DIMANAAA?"

Halilintar berteriak dengan keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. Namun, tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mengisi apartemen itu. Semua mulai gelisah, bertanya-tanya apakah Gempa ada di sana atau tidak.

"Eh, bukannya Taufan sama Gempa nggak pergi bareng kita?" tanya Ying, memecah kesunyian sejenak. Wajahnya terlihat cemas.

"Iya juga ya, di mana Taufan?" tambah Blaze.

Tiba-tiba, lampu di sekitar mereka mulai berkedip-kedip sendiri, menciptakan suasana yang semakin aneh dan mencekam. Lalu, suara benda tajam yang digesekkan ke dinding terdengar, seiring dengan langkah kaki yang menuruni tangga. Suara itu semakin mendekat, menciptakan ketegangan di hati mereka.

Srekkk... srekkk...

Mereka mulai waspada. Dengan hati-hati, mereka mencoba memperhatikan suara yang semakin jelas. Tak lama kemudian, dua sosok perempuan muncul dari kegelapan, memegang sebuah kapak dengan senyuman yang tak bisa dijelaskan. Senyum itu terlihat sangat psikopat, dan suasana semakin menakutkan.

"Oh, sepertinya kita kedatangan tamu," ujar salah satu dari mereka dengan seringai yang mengerikan, tersembunyi di balik cahaya lampu yang terus berkedip (seperti disko yang tidak diinginkan).

Mereka berdua mendekat, dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat siapa yang datang. Marsya dan Liona. Dua remaja perempuan yang sebelumnya mereka kenal. Namun, kini mereka tampil dengan wajah yang jauh berbeda, seperti berubah menjadi sesuatu yang sangat asing dan mengerikan.

"Apa yang kalian lakukan di sini?!" bentak Halilintar, yang mencoba menahan ketakutannya.

Marsya dan Liona hanya bertatapan, lalu tersenyum lebar. "Oh, astaga, Marsya, kita lupa menjamu tamu kita. Cepat ambilkan hidangan istimewa kita," ucap Liona dengan suara yang menekankan bagian akhir kata-katanya, menambah ketegangan yang ada.

"Baik, Kakak," jawab Marsya dengan nada yang terdengar aneh. Ia mulai melangkah menuju dapur, yang masih bisa dilihat dari ruang tamu.

"Kalian tidak akan menyesal," sambung Marsya, sambil tersenyum sinis.

Marsya berjalan cepat menuju kulkas, membukanya dengan tangan yang penuh kegelisahan. Suasana semakin tegang.

DEG.

Liona menatap dengan tatapan puas saat melihat pergerakan Marsya. "Gempa..." ujarnya pelan, menyeringai.

"Bagaimana? Spesial, bukan?" tanya Liona kepada Halilintar dan yang lainnya, seolah semuanya ini adalah sebuah permainan yang mengerikan.

Halilintar menatap tajam ke arah Liona, wajahnya dipenuhi amarah. "APA YANG KAU LAKUKAN PADA ADIKKU, BAJINGAN?!" teriaknya, suaranya penuh dengan kebencian.

Liona tetap tenang, bahkan tak terlihat terganggu. "Santai saja, kawan. Aku hanya membuatkan sesuatu yang spesial untuk kalian," jawabnya dengan nada santai, seperti sedang berbicara tentang hal biasa.

"BAJINGAN!! KAU KENAPA MELAKUKAN INI PADA KAKAKKU? HIKS... HIKS..." Aliya meracau, hampir tak bisa mengendalikan emosinya. Tangisannya pecah, menggema di seluruh ruangan.

Semua merasa terkejut dengan kenyataan yang sangat mengerikan ini. Ketegangan semakin terasa, dan kecemasan mereka terhadap nasib Gempa semakin dalam.

"Aku akan ceritakan bagaimana kejadiannya," ujar Liona dengan senyum yang mengerikan, seperti seseorang yang sangat menikmati penderitaan orang lain.

---

Gempa

Perasaan Gempa semakin mengabur, pandangannya mulai kabur dan tubuhnya terasa berat. Ia terengah-engah, darah mengalir deras dari tubuhnya yang terluka parah. Belati yang terbenam dalam dadanya semakin membuatnya lemah. Dalam saat-saat terakhirnya, ia mencoba berpikir, mencoba mencari jalan keluar, tapi semuanya sudah terlambat.

Jleb.

Satu tusukan kuat tepat mengenai jantungnya, dan darah pun mengalir dengan deras. Gempa tidak bisa lagi bertahan. Tubuhnya terasa lemas dan jantungnya berhenti berdetak. Penderitaannya berakhir di situ. Nafasnya pun menghilang seiring dengan matinya harapan terakhirnya.

"Ish, ayolah. Ternyata kau lemah juga seperti kakakmu," kata Marsya dengan nada mengejek, melihat tubuh Gempa yang kini hanya tinggal mayat.

"Kau tusuk jantungnya, gimana nggak mati, bodoh?" sarkas Liona, memandangi adiknya dengan ekspresi penuh kesenangan.

Marsya hanya diam, matanya memandang tubuh Gempa yang kini sudah tak bernyawa. Tubuh itu mulai memucat, wajahnya menampilkan ekspresi damai yang tidak bisa dimengerti. Marsya mengelap keringat dari dahinya dan menatap Gempa dengan senyum yang aneh.

"Apa sih yang kau lihat?" tanya Liona kepada adiknya, yang memperhatikan mayat Gempa dengan penuh perhatian.

"Kak, hari ini sangat panas ya," kata Marsya dengan nada basa-basi, mencoba mengalihkan perhatian kakaknya.

"Hm, iya," jawab Liona singkat.

"Bagaimana kalau kita buat yang dingin-dingin saja?" tanya Marsya, sambil melirik wajah Liona, lalu menatap mayat Gempa.

Liona tersenyum penuh arti. "Bagus, ide bagus, Marsya."

Mereka berdua saling tersenyum, dan suasana di apartemen itu semakin mencekam. Apa yang mereka lakukan selanjutnya? Apa yang akan terjadi dengan Taufan? Semua pertanyaan itu masih menggantung, seakan menunggu jawaban yang lebih mengerikan.

---

Bagaimana dengan Taufan? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dunia ini mungkin tak akan pernah tahu.

DU APARTEMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang