3

715 165 12
                                        

Barangkali manusia yang bisa dipercayai oleh Tasya, selain papanya, hanya Danu. Lelaki itu seperti ibu kedua bagi si bocah cilik. Setahuku papanya Tasya pekerja kantoran yang lebih sering meluangkan waktu mencari uang daripada di rumah. Aku tidak tahu posisi maupun jabatan papanya Tasya. Mungkin CEO, atau direktur, jangan-jangan sekretaris? Namun, bisa kupastikan satu hal. Keluarga satu ini amat makmur.

Danu, sebagaimana ibu kedua pada umumnya, mengisi kekosongan dalam kehidupan Tasya. Menemani main, makan bersama, mendengar keluhan ini dan itu, lalu memosisikan diri sebagai seorang teman. Kupikir Danu bisa dinobatkan sebagai salah satu suami idaman.

“Om, nggak suka kartun! Bosan!”

Tasya mulai mengomel. Pantas, sih. Film yang Danu pilih, di antara deretan kaset film, merupakan judul yang sudah ditonton Tasya sekitar sepuluh kali.

“Bagus kok,” Danu mendebat. “Apa kamu nggak suka kartun mengenai kucing?”

Tasya yang duduk di sofa nyaman terlihat seperti dewi cilik yang hendak menjatuhkan hukuman kepada Danu. “Nggak suka!”

“Nggak suka hihihi,” tiruku sembari terkikik.

Aku duduk di sandaran sofa. Tepatnya, di samping Tasya yang mulai terlihat mirip tomat gemuk. Pipinya itu sungguh keterlaluan ranumnya.

“Mbak Kun, nakal!” seru Tasya sembari menudingku dengan salah satu jemarinya yang makin mirip wortel.

Berbeda dengan Tasya yang terlihat santai, Danu justru mengusap lengan seolah meredakan sensasi dijamah laba-laba. “Tasya, kamu nggak bisa kasih nama teman khayalanmu dengan sesuatu yang manis? Susu? Cokelat?”

“Tapi, Mbak Kun nggak minum susu dan nggak makan cokelat!”

“Yeeee,” selaku berusaha mencemooh, “aku doyan kok. Sewaktu masih hidup, sih. Sekarang mana bisa aku makan makananmu, Sayang. Hihihi!”

Danu mulai memutar film dan jelas sekali berusaha mengabaikan celoteh Tasya.

Hujan di luar sana makin deras. Aku tidak mau melayang di tengah terpaan air. Repot!

Sekali lagi terdengar suara raungan petir. Benar-benar memekakkan. Seumur setan (sebab tidak mungkin kubilang seumur hidup. Aku sudah jadi hantu) baru kali ini aku mengetahui badai yang begitu mengerikan. Seolah ada naga dan harimau yang tengah adu silat di langit. Satu sama lain berusaha menyerang dengan kesaktian yang mereka miliki.

“Tasya,” panggilku dengan suara merdu, “lebih baik nggak usah nonton dulu deh. Cuaca di luar sana makin seram.”

Aku melayang, mendekati televisi.

“Mbak Kun, jangan dekat televisi!” Tasya memperingatkan.

“Tasya, Om nggak suka diajak diskusi mengenai teman khayalan....”

Terdengar suara dentuman. Amat nyaring. Aku melihat kilat putih. Televisi di sampingku langsung mengeluarkan bunyi aneh. Seperti desis. Atau, mungkin ada benda jatuh. Aku tidak tahu sebab sekujur tubuhku seolah dilanda sensasi aneh dan asing. Panas! Panaaaas! Teriakan tertahan di tenggorokkanku sebab tubuhku telanjur kaku.

Sungguh aneh. Kuntilanak seharusnya tidak merasa kaku. Kesemutan pun tidak. Namun, kali ini aku merasa kakiku kesemutan. Perlahan gravitasi menarikku, turun, menghantam lantai.

“Aaaaaaa!” teriakku sembari berguling-guling, berusaha meredakan serangan rasa sakit yang melandaku. “Aaaaa!”

“Mbak Kun! Mbak Kun!”

Aku tidak mampu memperhatikan sekitar. Adapun yang kutahu ialah, sakit.

Semakin gelap. Gelap. Gelaaaap.

Tasya dan Miss Kunti (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang