Elio said, 'Nurut, Mas'.

2.4K 87 2
                                    

Kepala AU ada di x @/gyuwords
-------

Kaki panjang Elio membawanya tergesa keluar dari lift ke arah salah satu pintu apartemen bernomor 617. Begitu dirinya sudah berada di depan pintu, dengan cepat jarinya menekan bel. Sudah bunyi bel keenam, pintu apartemen tetap tidak dibuka. Elio dengan cepat menghubungi Restu. Menanyakan perihal passcode apartemen Angkasa. Begitu diberitahu, Elio memencet pin di passcode pintu depannya. Kemudian masuk dengan cepat.

Langkahnya masuk lebih dalam sembari memindai ruangan, mencari sosok yang dicarinya seharian ini. Dirinya kini mendekat ke salah satu pintu yang Elio ketahui milik Angkasa. Pintu dibuka setelah sebelumnya diketuk perlahan. Netranya langsung menangkap sosok yang kini tengah berbaring lemas di atas ranjang. Salah satu lengannya menutupi kedua matanya. Hingga Elio tidak dapat melihat apakah lelaki itu tengah tertidur atau hanya berbaring.

"Mas Asa?" panggil Elio ketika kakinya sudah berada tepat di sisi ranjang Angkasa. Tidak ada jawaban. Hanya dengkuran halus yang terdengar. Elio mendudukkan dirinya di samping Angkasa. Merasakan ranjangnya bergerak, barulah Angkasa menyingkirkan lengannya. Matanya terbuka perlahan.

"Elio?" panggil Angkasa lemah. "Kamu kenapa bisa disini?"

"Harusnya Elio yang tanya, Mas. Kenapa Mas disini? Bukannya ke kantor. Malah tiduran kayak gini. Kamu tuh ngeyel, Mas, kalo dibilangin. Jadi sakit gini kan?" Punggung tangan kanan Elio menyentuh kening Angkasa. "Panas banget, Mas! Ini kamu dari kemarin ngapain sampe panasnya masih tinggi gini? Makanya kalo Elio bilang istirahat tuh nurut, Mas. Nurut. Kamu tuh bukan anak SD. Kamu tuh udah gede. Kalo udah sakit gini kan repot kamunya juga. Elio tuh–"

Kalimat Elio terpotong ketika netranya menangkap Angkasa yang tengah tersenyum lemah ke arahnya. Membuatnya membuang nafas. "Elio tuh khawatir, Mas. Tiga hari ini kamu gak ada kabar. Sesibuk apapun kamu, biasanya juga ada chat. Ini chat Elio aja gak dibaca." Suara Elio melembut sembari menatap Angkasa sendu.

"Mas udah makan?" Gelengan dari Angkasa menjadi jawaban yang kembali membuat Elio membuang nafas. "Kok bisa-bisanya belum makan? Kak Restu gak kasih kamu makan?"

"Restu PA Mas. Bukan baby sitter."

"Tapi kak Restu Mas suruh kasih Elio makan tuh."

Angkasa hanya tersenyum tipis. Elio hendak bangkit ketika pergelangan tangan kirinya ditahan Angkasa. "Mau kemana, El?"

"Ngasih kamu makan lah, Mas. Ya kali Elio diem aja denger kamu belum makan?"

Angkasa melepas genggamannya. Membiarkan Elio yang kini melenggang pergu ke dapur. Elio bersyukur karena tahu bahwa Angkasa sering memasak di apartemennya. Sehingga masih ada beberapa bahan masakan yang tersisa. Selama Elio sibuk di dapur, Angkasa bangkit perlahan. Meraih ponselnya yang berada di atas nakas. 6 panggilan tak terjawab dari Ibu. Dan beberapa panggilan juga pesan dari kantor. Juga chat dari Elio. Angkasa tersenyum melihatnya.

Ada rasa bungah melihat perubahan sikap Elio padanya. Selama dirinya melakukan pendekatan pada Elio, pemuda itu selalu bersikap seadanya. Akhir-akhir ini memang respon Elio membaik. Tapi dua bulan pertama Angkasa mendekatinya, Elio selalu cuek. Chat Angkasa pun dijawab sekadarnya jika ingat. Hingga akhirnya Angkasa menyampaikan maksud sesungguhnya pada pemuda itu. Barulah, beberapa waktu kemudian sikap Elio mengalami perubahan. Elio tidak pernah berani meninggikan suaranya, mengomelinya, atau berinisiatif mengiriminya pesan duluan. Elio selalu berhati-hati.

Tapi kali ini, Angkasa mendapatkan semuanya. Lelaki itu tidak merasa tersinggung karena Elio memarahinya. Justru sejak tadi senyumnya tidak luntur. Hanya Elio yang dapat membuatnya seperti ABG kasmaran begini.

Setengah jam lebih Elio berkutat di dapur. Kini, pemuda itu kembali memasuki kamar Angkasa. Dengan nampan berisi bubur, dan sup ayam. Senyum Angkasa masih terpatri ketika Elio mendudukkan dirinya kembali di samping lelaki itu–setelah sebelumnya menyimpan nampan di atas nakas. "Ini pertama kalinya kan Mas Asa makan masakan Elio? Elio udah coba bubur sama sup nya. Menurut Elio sih udah pas rasanya. Semoga cocok juga di lidah Mas Asa."

"Iya, Elio. Terima kasih." Baru Angkasa akan membawa sendok di atas nakas. Elio menahannya.

"Biar Elio aja. Mas diem. Gak usah banyak gerak."

Disuruh seperti itu, Angkasa menurut. Baru kali ini Angkasa senang karena sakit. Karena Angkasa dapat merasakan perhatian dari pemuda itu. Elio menyuapinya dengan telaten. Tidak ada obrolan yang berlangsung. Elio sibuk menyuapi, dan Angkasa yang sibuk memperhatikan pemuda itu.

Barulah ketika bubur dan sup nya sudah habis, Elio bersuara, "Maaf ya, Mas, Elio gak tahu kalo Mas Asa sakit. Padahal kalo Elio yang sakit, Mas Asa pasti selalu tahu. Entah dari Aji, atau tahu sendiri. Tapi Elio bukannya tanya kamu langsung sama Kak Restu, malah mikir yang engga-engga. Elio jadi ngerasa bersalah sama Mas."

Angkasa menyimpan gelas minumnya. "Gak papa, Elio. Kok jadi ngerasa bersalah? Memangnya Elio pikir Mas kenapa?" ujar Angkasa lembut.

Elio terdiam sejenak sembari memainkan tautan jarinya. "Elio pikir Mas udah gak mau sama Elio."

Ucapan Elio membuat kening Angkasa mengerut. "Mas gak pernah pikir gitu, El. Kalo pun memang iya, udah dari lama Mas jauhin kamu. Tapi kan nggak. Mas sayang sama Elio. Jangan pikir yang tidak-tidak ya?"

Elio menelan ludahnya. Biasanya, jika Angkasa bilang menyayanginya, Elio hanya tersenyum. Kemudian mengalihkan topik. Tapi kali ini tidak. Elio menatap manik gelap Angkasa yang agak meredup karena tengah sakit. "Mas Asa. Kalo Elio jatuh sama Mas, Mas Asa bakal tangkap Elio kan?"

Kali ini Angkasa yang menelan ludahnya. Tenggorokannya mendadak kering. Otaknya mencerna kalimat Elio barusan.

"Elio mau terima Mas Asa. Elio mau coba buka hati buat Mas."

Angkasa memejam. Kemudian kembali terbuka. "Kamu jahat, El."

Elio sontak kaget. "Kok jahat, Mas?"

"Kamu bilang gini disaat Mas lemah. Gak adil." Jawaban Angkasa membuat Elio mendengus. "Pasti Mas bakal tangkap kamu, El. Sebelum kamu jatuh pun, Mas udah pegang kamu erat-erat supaya kamu gak jatuh sendirian."

"Tapi, Mas, Elio masih takut. Mas Asa gak keberatan kalo nantinya ada waktu Elio bikin Mas Asa ngerasa sendirian?"

"Bagi takutnya sama Mas kalo gitu. Biar kita hadapin bareng-bareng takutnya. Kita usir semua takut dan pikiran buruk kamu. Rasa takut itu wajar. Yang gak wajar itu kalo kamu terus-terusan biarin rasa takut itu memeluk kamu." Angkasa membawa jemari Elio ke genggamannya. "Biar Mas aja yang peluk kamu, El. Mas cemburu kalo bukan Mas yang peluk."

Elio tertawa pelan. Genggamannya di tangan Angkasa mengerat. "Mas bakal sama Elio terus kan?"

"Pasti, El. Mas usahakan sama Elio terus."

Sudah. Untuk saat ini, dada Elio lega. Dirinya mendekat perlahan pada Angkasa. "Elio boleh peluk Mas?"

"Boleh, Elio." Angkasa membuka kedua tangannya. Membiarkan Elio masuk dalam dekapannya. "Makasih ya, El."

"Sama-sama, Mas. Makasih juga, Mas Asa." Elio menyandarkan dagunya di bahu Angkasa. Baru Angkasa menikmati momen hangat mereka, Elio kembali bersuara, "Kayaknya kamu harus dikompres deh, Mas. Panas banget. Aku kayak meluk hot pack jumbo."

Angkasa terkekeh dibuatnya. "Iya, El. Tapi sebentar lagi ya. Mas masih pengen peluk kamu."

-----

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang