Di lokasi yang sudah tertera di web kala itu, Harris dan ibunya menunggu di sebuah ruangan tunggu yang sudah sesak oleh kerumunan peserta berbaju putih dan hitam sama seperti Harris. Dindingnya berwarna putih mendominasi. Mereka saling bincang-bincang dan berkenalan satu sama lain. Ada juga yang masih sibuk berkumpul bersama anggota keluarga. Masing-masing dari mereka ditemani lengkap oleh orang tuanya. Ayah dan ibunya. Tidak seperti Harris. Melihat itu jujur saja membuat Harris merasa iri. Akan tetapi, untuk saat ini dia lebih memilih menggenggam tangan ibunya.
Kendatipun ia merasa iri. Namun, rasa ketakutan dan kecemasan pun lebih mendominasi perasaan Harris. Banyak pertanyaan kembali muncul di benaknya, meskipun Harris sudah berulang kali membuang pikiran buruk itu.
"Bu, Harris takut. Kalau soalnya nanti lebih susah dari yang pernah Harris pelajari bagaimana?"
Sang ibu hanya mengelus punggung Harris sambil memberikan senyum dan tatapan teduhnya. "Jangan khawatir. Ibu sudah berdoa, Ris. Yang terpenting kamu sudah belajar. Urusan hasil, serahkan pada Yang Maha Kuasa."
Belum selesai sang ibu melanjutkan ucapannya, pengeras suara terdengar memenuhi ruangan. Menyuruh para peserta memasuki ruang ujian dengan segera. Harris bersama peserta lain berlomba masuk.
Terdapat banyak komputer juga bangku yang berhadapan satu sama lain. Harris pun memilih bangku yang tidak jauh dari pintu keluar. Ia mulai menarik napas panjang, lalu setelahnya mengetikkan nama dan memasukkan password yang baru saja disediakan oleh pengawas pada masing-masing peserta.
"Baik, silakan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing sebelum mengerjakan," titah salah satu pengawas. Harris dan yang lain mulai berdoa sendiri-sendiri. Lalu setelahnya mengeklik tombol 'kerjakan' pada layar komputer tersebut.
Di soal pertama, Harris merasa cukup percaya diri karena apa yang dipelajarinya ternyata sesuai dengan soal di nomor satu. Dirinya kembali mengklik tombol next untuk mengerjakan soal berikutnya. Tidak ada kesulitan, Harris masih bisa mengerjakannya dengan yakin jika jawabannya benar.
Soal demi soal Harris kerjakan sungguh-sungguh. Beberapa kali ia juga menghitung sambil mencoret-coret kertas putih yang baru saja diberi oleh sang pengawas. Harris benar-benar fokus sampai tidak sadar beberapa peserta di belakangnya memanggil Harris seraya berbisik, seakan bertanya.
Harris tidak menghiraukan. Ia sadar harus tetap fokus pada pengerjaannya, karena waktu yang diberikan kurang dari dua jam dengan seratus soal di dalamnya. Berisi Matematika, Bahasa Inggris, Fisika, juga Bahasa Indonesia. Menit demi menit berlalu, tidak jarang juga Harris meloncati soal yang dirasa susah. Dia berkejaran dengan waktu. Otaknya mulai sedikit pening, tetapi ditahan. Tepat pada soal ke dua puluh lima yang hendak Harris kerjakan, listrik di seluruh ruangan mendadak mati. Komputer tidak menyala dan sedikit kericuhan mulai terjadi.
Pengawas terlihat sedang menelepon seseorang, lalu setelahnya menenangkan dan mengatakan pada para peserta jika listrik kembali menyala setengah jam lagi. Mendengar hal itu entah mengapa membuat firasat Harris menjadi tidak karuan. Jantungnya berdebar. Pikiran buruknya kembali melintas di kepala.
Setengah jam telah berlalu. Seluruh listrik dan komputer kembali menyala. Harris dan yang lain memulai ulang mengerjakan soal. Waktu berjalan, Harris senang karena merasa mampu menyelesaikan tiga puluh soal dengan baik. Namun, di soal empat puluh ke atas, dirinya mulai kesusahan. Materi-materi yang sudah sebelumnya ia pelajari tidak muncul sama sekali. Entah karena Harris lupa atau apa, tetapi sungguh dirinya tidak bisa berpikir jernih.
Lembar demi lembar Harris coret untuk menghitung, tetapi sama saja, tidak menemukan hasil dari soal tersebut. Dirinya mulai stres. "Susah banget, sih!" gerutunya sambil sesekali menatap lembar soal dan komputer secara bergantian.
Harris sedikit meregangkan ototnya dengan diam sejenak meskipun otaknya terus berpikir. Bahunya rasanya keras sekali terus menunduk mengerjakan soal-soal yang menurutnya tidak masuk akal untuk dikerjakan. Mungkin lebih tepatnya, Harris saja yang tidak tahu cara memecahkan soal-soal tersebut.
Dua puluh menit terakhir dan Harris masih berkutat dengan enam puluh soal. Semakin lama dirinya merasa tertekan. Napasnya menderu sambil beberapa kali memukuli dahinya agar bisa berpikir dengan benar dan cepat. Waktu terus berjalan hingga tersisa sepuluh menit dan Harris sepertinya menyerah. Ia memilih asal pilihan ganda tersebut untuk menjawab. Dirinya memblok huruf C untuk jawaban yang tersisa. Harris, putus asa.
Ketika pengawas membunyikan jam. Semua peserta harus sudah menyelesaikan soalnya. Menunggu satu menit untuk akhirnya pengawas berucap agar mereka semua, seluruh ruangan menekan tombol submit pada komputer tersebut. Harris terkejut, ia pikir hasilnya akan diumumkan esok hari, rupanya saat itu juga.
Diri Harris pun mengambil napas dalam selagi terus berdoa dalam hati sebelum akhirnya menekan tombol enter, submit untuk melihat hasil kerjanya. Matanya mendadak merah, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Jujur, ia tidak ingin menangis. Namun, Harris tidak mampu menahannya. Air mata Harris menetes bukan sebab terharu. Melainkan Harris gagal, lagi.
Ia memukuli kepalanya sendiri saat layar komputer bertuliskan 'Anda Dinyatakan Tidak Lolos di Tes Penerbangan.' Sorak-sorai dari beberapa peserta terdengar keras. Ada banyak nada suara bahagia sebab diterima, ada juga yang bersedih seperti Harris saat ini. Harris sangat takut untuk keluar ruang ujian itu walau pengawas sudah memberi informasi agar segera keluar ruangan jika sudah melihat hasil masing-masing.
Dada Harris sangat sesak rasanya. Berkali-kali ia gagal. Sampai ia bertanya dalam hatinya sendiri. Mau sampai kapan gagal lagi dan lagi?! batin Harris menjerit. Ia takut menghadap wajah ibunya yang sudah berharap. Harris sudah mengecewakan semua orang. Terlebih ayahnya. Entah apa yang harus ia katakan pada ayahnya nanti.
"Semangat, Nak. Mungkin kamu bisa cari kesuksesan di lain kesempatan. Mungkin rezeki kamu bukan di sini. Jangan putus asa, ya," ujar pengawas yang tidak tahu dari mana datangnya menyemangati Harris yang tengah dirundung kesedihan.
Harris tidak menjawab. Hanya mengangguk dengan air mata yang terus menetes tanpa henti. Meskipun ayahnya pernah bilang pada Harris jika laki-laki tidak diciptakan lemah dan suka menangis, Harris tidak peduli. Dirinya hari ini benar-benar merasa sedih. Langkahnya berjalan lambat, keluar ruangan menghampiri sang ibu yang berlari ke arahnya.
Melihat kesedihan di raut wajah Harris membuat ibunya semakin bertanya-tanya, karena sang putra tidak berucap sepatah kata pun. Saat ibu Harris mulai memeluknya dengan erat sambil mengusap punggung Harris. Harris pun mulai berkata yang sesungguhnya.
"Maaf, Bu. Harris gagal lagi." Satu kata itu lolos membuat air mata Harris semakin mengalir deras. Dipelukan hangat sang ibu, Harris terisak.
Ibu Harris terus menerus mengusap-usap punggung Harris dengan lembut seraya berkata, "Tidak apa-apa." Ucapannya begitu lembut membuat Harris semakin merasa bersalah.
Harris sudah berjuang susah payah selama ini. Belajar dan terus berlatih. Namun, hasilnya tetap nihil. Harris merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Ia masih tidak menyangka jika kalimat keramat 'Tidak Dinyatakan Lolos' itu di hadapkan padanya dua kali, ketika di jalur undangan dan kali ini di jalur penerbangan. Harapan terakhirnya pupus dan pandangannya kosong. Harris benar-benar frustasi. Ia merutuki diri.
~Bersambung
YOU ARE READING
Brother's Story [Terbit]✓
Teen FictionDituntut untuk selalu bisa menjadi contoh yang baik dalam keluarga dengan bersembunyi di balik kata 'Kamu, kan, anak pertama,' membuat Ahmad Harris hidup penuh dalam tekanan. Terlebih saat ia diberi tanggungjawab untuk mewujudkan mimpi ayahnya yang...