Sebelum baca jangan lupa vote dan komennya yaw!
Yang belum follow aku, follow dulu sini Caaay_
————————
Anak laki-laki berseragam SMA Gentala dengan nametag 'DANAN SAFAZI' dan gaya rambut berponi itu tersenyum ceria memandang ayah, bunda, serta abangnya yang sedang menikmati sarapan di meja makan.
"Ayah, bunda, hari ini Danan mau ikut berangkat sekolah sama Bang Malbi, ya," ucapnya sambil tersenyum cerah.
Malbi—remaja laki-laki berahang tegas yang juga mengenakan seragam serupa dengan Danan itu seketika langsung menoleh.
"Nggak!" Tolaknya mentah-mentah. "Siapa juga yang mau berangkat sama orang cacat kayak lo. Malu-maluin!"
Alih-alih mendapat pembelaan dari sang bunda, perempuan paruh baya dengan rambut dicepol yang duduk di hadapan Malbi itu justru ikut menimpali.
"Jangan malu-maluin abang kamu."
Ia menuangkan segelas air lalu menyodorkannya untuk Malbi supaya putranya itu tidak tersedak. "Udah gede berangkat sendiri," ucapnya sinis tanpa memandang ke arah Danan.
Danan menatap ke arah ayahnya yang masih duduk tenang menyantap sarapan. Ia sangat berharap kalau ayahnya akan membelanya.
"Jadi cowok nggak usah manja!" Sindir pria paruh baya berjas hitam yang duduk di samping Malbi.
"Tapi kaki kiri Danan masih sakit." Danan menunduk menatap kaki kirinya yang terbalut kaos kaki.
Kakinya memang tampak baik-baik saja, tanpa ada luka maupun goresan yang terlihat. Akan tetapi kakinya terasa sangat nyeri kalau digunakan untuk berjalan.
"Kaki kanan kan masih ada." Malbi mengunyah roti dalam mulut. "Biasanya juga lo jalannya pincang," ucapnya dengan begitu enteng.
Ayah dan Bunda hanya diam, sama sekali tidak menegur ataupun mengingatkan mulut pedas Malbi yang terus mencaci Danan. Sikap mereka menunjukan seolah-olah apa yang barusan putranya lakukan itu adalah hal yang sudah biasa. Padahal sebenarnya Danan juga anak mereka.
Ya, setiap hari Malbi memang selalu mencaci Danan. Mengatainya cacat, bikin malu.
Nggak papa Danan, nggak papa... kan nanti masih bisa naik bus, batin Danan.
Ia berusaha mendoktrin dirinya sendiri kalau saat ini ia baik-baik saja, meskipun tenggorokannya terasa kelu seperti ada sesuatu yang mengganjal, begitupun dengan hatinya yang terasa sesak bukan main.
Danan hanya diam menunduk. Bohong kalau saat ini ia mengatakan baik-baik saja, karena nyatanya ia terluka. Namun, ia berusaha mati-matian menahan semuanya seorang diri, mengubur semua lukanya sedalam mungkin.
Usai menghabiskan sarapan, Malbi mengambil tas sekolah yang sebelumnya sudah ia siapkan di sofa. Ia meletakkan tas itu asal-asalan dibagian pundak kanannya. Ia kemudian berjalan menuju motor ninja merahnya, meninggalkan Danan begitu saja.
Padahal jelas-jelas bagian belakang motornya itu kosong, tidak ada yang membonceng. Terserah adiknya itu akan pergi ke sekolah bagaimana dan naik apa, ia sama sekali tidak peduli.
Adik? Cih! Malbi bahkan malu untuk menganggap laki-laki itu sebagai adik.
"Hati-hati sayang!" Seru sang Bunda seraya tersenyum ketika motor Malbi melaju meninggalkan garasi.
Danan diam-diam memperhatikan.
Bunda, Danan juga ingin Bunda tersenyum sama Danan seperti Bunda senyum sama abang...
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME
Teen Fiction"Bunda, aku tidak ingin terlahir cacat." -Danan Tentang Danan Safazi yang harus menyembunyikan identitas dirinya karena tidak ingin membuat malu abangnya yang merupakan laki-laki paling bersinar di SMA. Karena bagi keluarganya, Danan adalah aib. Dit...