Jendela Dunia

10 1 0
                                    

"Baca buku, hanya itu, ji." Lema kemudian pergi jauh dari pandangan.

***

Seandainya Ipun dengar lebih banyak petuah Lema. Mungkin dia tidak kebingungan seperti sekarang.

Hari pertama kuliah, Ipun merasa lepas. Bukan lega, melainkan hampa. Dia tidak punya seorang diajak bicara.

Lema sekarang mungkin sudah punya uang. Sesaat kelulusan, dia bilang akan bekerja. Dia memilih jalan itu karena uang lebih berharga daripada ilmu, pikirnya.

Ipun sedikit iri dengan Lema yang yakin memutuskan pilihan. Uang di mata Lema sudah seperti tujuan hidup. Ipun pernah ingin bekerja juga. Namun, orang tua melarangnya.

Ipun berkuliah di luar daerah, tepatnya di Makassar. Kampus merah kecil yang punya nama sekelas kampus jawa. Ipun memilih kampus itu karena dekat rumah.

Bukan satu atau dua kilometer, melainkan satu pulau. Ipun berasal dari Sulawesi Tenggara, bukan dari Sulawesi Selatan.

Kendari, tepatnya. Kota kecil yang penuh kenangan. Kota itu seakan tertinggal dari kemajuan. Namun, unggul membentuk memori.

Sudah berulang kali Ipun mengenang masa lalu, dan tidak ada yang sama dengan rumah barunya sekarang. Ipun tinggal di sebuah kontrakan bekas milik kenalan orangtuanya, di dekat kampus.

Kota metropolitan cukup bising. Beberapa kali Ipun mengunjungi danau kampus karena tempat itu lebih tenang daripada kontrakan jambu itu.

Ipun sedikit mual saat tiba di kota coto ini. Dia tidak pernah melihat kerumunan kendaraan sebanyak semut mengerumuni gula.

Ipun mulai baikkan setelah dua pekan berlalu. Akibat sering menyantap coto di sekitar jalan poros.

Meski sudah dua pekan, Ipun masih belum bertemu seorang teman. Orang-orang disini sering berbahasa daerah. Ipun tidak terlalu mengerti bahasa mereka walau tinggal di pulau yang sama.

Ipun sebenarnya orang jawa. Kakeknya datang setelah program migrasi beberapa puluh tahun silam. Ipun hanya mengerti beberapa kata hubung, seperti ko, ji, mi, dan pi. Mungkin 'pi' hanya perasaan Ipun saja kata itu dipakai.

Setelah dua pekan itu, sebulan berlalu, Ipun masuk kuliah. Hari pertama tanpa teman bicara. Dia kemudian merasa rindu dengan masa SMA.

Saat itu Lema seperti Lintang di buku Andrea, bisa apa saja. Dia menaklukan keterbatasan dengan ide-ide cemerlang. Membuat robot dari barang bekas, Juara tiga olimpiade geografi nasional, dan lolos ke kampus jawa melalui jalur undangan. Namun, Lema menolak sebab fokus bekerja.

Dia hanya berpesan kepada kami di hari perpisahan sekolah, di lapangan bola basket, ketika semuanya berkumpul, berambisi keluar dari dua belas tahun pendidikan formal ini.

"Baca buku, hanya itu, ji."

Ipun membuka kembali album foto perpisahan. "Buku apa yang ko' maksud?"

Ipun tidak tahu buku yang dimaksud Lema itu berjenis apa. Ipun memang pernah membaca buku seperti novel Andrea Hirata dan pelajaran, seperti LKS. Namun, Ipun merasa bukan buku seperti itu yang Lema maksud, kecuali novel seperti punya Andrea, Laskar Pelangi.

Ipun sadar beberapa saat semenjak tiba di kota ini. Novel yang pernah dipinjamnya itu ternyata punya nilai tinggi di mata orang. Ipun tahu itu setelah menelusurinya di internet selagi gabut.

Internet juga membuat Ipun sadar kalau dia harus melakukan kesan pertama. Dia harus melakukan itu agar orang senang bersama dengannya. Sama seperti di kota Lulo. Ipun perlu membangun kepercayaan.

Yang menjadi pertanyaan adalah Ipun harus memberi kesan kepada siapa?

Hari kedua, kali ini kuliah dijalankan seperti seharusnya. Kelas masuk dan terbagi-bagi waktunya. Kemarin hanya pengenalan saja, begitupun beberapa hari sebelumnya. Tetapi dilakukan secara daring.

Kelas pertama, Pengantar Ekonomi Mikro. Ipun membuka pintu kaca bergambar 'ayam kampus' itu. Terlihat sekitar tiga orang duduk di bangku, dan empat yang lain ngobrol di dekat tiganya.

Ipun mengambil langkah, dia datang ke kerumunan kecil itu. Pakaian mereka rapi sepertinya anak orang terpandang.

Tidak dirasa Ipun sudah tenggelam ke obrolan mereka soal masa sekolah. Tujuh orang itu bernama Dido, Milla, Reza, Kin, Fikra, Adelia, dan Ibra.

Dido, Milla, dan Reza ternyata satu sekolah. Mereka bersekolah di SMA 1 Negeri Makassar. Sementara Kin dan Fikra bersekolah di SMA 13 Bone.

Adelia gapyear sebelumnya, tetapi lulusan SMA 11 Tangerang. Dia terdampar ke pulau ini karena keluarganya berasal dari Pinrang.

Ibra sendiri dari SMA Negeri 5 Kupang. Dia datang kesini tanpa kerabat. Hanya keinginan belajar yang dia kenal.

Beberapa menit lagi kelas pertama dimulai. Kelas sudah mulai sesak, beberapa saat setelah kerumunan kecil itu terbentuk, mahasiswa yang lain datang satu per satu. Kemudian penuh seperti ruang tunggu rumah sakit.

Sesaat setelah itu, dosen masuk. Kemudian kelas berlangsung. Karena hari ini pertama kali masuk, dosen hanya bercerita soal dirinya dan kampus merah ini. Setelah kelas ini pun begitu, dosen bercerita sendiri.

Hal itu berlangsung hingga kelas terakhir. Kelas bahasa Indonesia. Setelah beberapa jam, kelas diusaikan. Ketika keluar dari kelas yang dingin dan cukup maju itu. Kami dijagal oleh beberapa orang.

Ibra seperti sudah kenal gelagak mereka. Ibra hanya tersenyum tipis dan mundur ke belakang Ipun. Selain Ibra, beberapa orang hanya menyimak apa yang akan terjadi. Beberapa yang lain juga tampak gelisah. Salah satunya seperti Milla.

Milla tidak berhenti berisak. Dia seakan pecah setelah lama bertahan. Sementara orang-orang itu menyuruh beberapa teman Ipun menolong, sebagian mereka juga ikut membantu.

Ipun berdiri menunggu kejutan dari mereka. Salah seorang melihat Ipun. Orang itu lantas tersenyum. Kemudian menyodorkan sebuah buku tebal yang jarang dijual, tetapi gemar dibicarakan. Kacamata yang gagangnya setengah patah itu memberikan buku Bumi Manusia kepada Ipun.

Ipun Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang