Prolog

29 10 0
                                    

"Keluarkan aku dari sini, aku bisa terbakar," pinta Seorang kakek tua yang tengah memeluk erat sebuah buntalan kain. Ia terkapar di bawah jendela kemudian memuntahkan darah dari mulutnya dan mulai tak sadarkan diri.

"Kau pantas mendapatkannya. Kau bukan manusia, tapi iblis!" pekik seorang Gadis, matanya menyiratkan amarah yang meluap, amat besar sampai-sampai ia tidak peduli lagi dengan tubuh si Kakek Tua yang hendak terpanggang kobaran api. Namun linangan air di matanya mulai penuh dan menetes.

Di malam musim panas itu, si Gadis menangis sambil keluar dari rumah itu, rumah yang berada di dalam gang kumuh. Dengan ekspresi ketakutan dia terus memeluk sebuah buku besar.

"Tidak ada yang melihatnya, tidak ada orang yang akan menyadarinya," ucap gadis itu dengan gemetar.

Api mulai menyala, membakar rumah yang telah ia tinggalkan. Kian lama api itu kian besar. Gadis itu semakin panik dan berlari sekuat tenaga, tangannya dipenuhi oleh darah segar yang sesekali menetes ke atas tanah.

Sementara rumah itu dilahap api, si Gadis masih berlari menelusuri jalanan, sampai dia menemukan sebuah kuil yang sekitarnya dipenuhi oleh pohon-pohon kesemek. Gadis itu berniat membersihkan darah dari tangan dan juga pakaiannya di antara pancuran air yang mengalir tepat di depan pintu masuk kuil.

Si Gadis melihat ke segala arah; khawatir jika ada orang yang tengah melihatnya, dengan tergesa gadis itu segera mencuci tangan dan memberi sedikit air di ujung lengan bajunya.

Dirasa cukup bersih, dia kemudian pergi kembali... terus menyusuri jalanan dengan kaki telanjang, tumit-tumitnya merasa kesakitan, namun itu tak menghentikan pelariannya.

"Aku tidak mau mati disini! Aku tidak mau mati disini!" Gadis itu terus bergumam di sepanjang jalan, hingga ia sampai di jalan utama. Jalanan yang sering di lewati oleh bus-bus kecil di malam hari.

Di halte, gadis itu menunggu sambil duduk dan memeluk buku besar itu di antara tubuh dan lututnya.

Terlihat ada cahaya dari kejauhan. Cahaya dari lampu depan bus yang datang semakin mendekat kepadanya. Tanpa menunggu ia langsung mengambil posisi berdiri. Bus pun melaju pelan dan pintunya mulai terbuka.

Kaki tanpa alas itu kemudian melangkah pelan, membawa gadis itu masuk ke dalam bus. Beberapa dari penumpang memerhatikan si Gadis, seperti melihat orang aneh yang berkeliaran tengah malam. Dengan kondisi tanpa alas kaki, wajah yang kotor, rambut yang berantakan juga baju lusuh yang sebagiannya telah basah.

"Maaf, apa nona ada uang untuk membayar?" tanya Sopir Bus.

Si Gadis hanya mengangguk pelan, "Tapi saya tidak mempunyai kartu, apa boleh saya membayar dengan uang tunai?" tanya si Gadis. Si Sopir mengangguk.

Kemudian si Gadis merogoh saku baju tepat di antara perutnya, beberapa lembar uang ia berikan kepada si Supir Bus.

"Ini terlalu banyak," cetus si Supir Bus.

"Ambil saja, bawa saya ke tujuan yang paling jauh dari sini," ungkap si Gadis.

"Baik, silakan duduk," pinta si Sopir Bus.

Kini gadis itu mulai sedikit tenang, duduk sambil melamun sementara bus membawanya ia pergi e tempat yang jauh.

"Nona? Anda turun dimana?" tanya seorang laki-laki muda yang duduk di sebelah si Gadis.

"Tujuan terakhir," jawab gadis itu pelan.

Sambil terus memeluk buku itu, ia kembali meneteskan air mata.

SHIKIGURUMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang