"Udah ketemu belum, Aziz?"
"Hah? Ketemu apaan?"
"Si penggemar misterius."
Refleks Fari mendengkus mendengar penuturan Adam yang terkesan mulus. Suara gelak tawa ramai menyambut di seberang sana. Sepertinya Adam sedang berkumpul dengan anak-anak Sanggar Emas lain di markas.
"Mana gue tau."
"Loh kok, emang lo gak tanya nama dia siapa?"
Fari menggeleng. "Gue nggak mau melangkahi privasi seseorang."
Cukup kuat untuknya menyimpan prinsip seperti ini. Sudah satu minggu ini topik pembicaraan teman-temannya selalu menyinggung prihal sosok penggemar misterius yang hadir setelah acara teaterikal di puncak perayaan hari pahlawan kemarin. Fari tahu, namanya menjadi sering dibicarakan banyak orang sebab memerankan tokoh sentral yang berjasa membuat cerita semakin hidup. Aktingnya memang selalu dipuji sana-sini.
Tapi kemunculan sosok yang mengaku sebagai penggemar ini. Tak ayal membuat Fari penasaran. Namun, menyesal sudah ia beberkan semua itu kepada Adam. Hingga kini anak sanggar lain mendengar keseluruhan gosip ini.
"Ceilah, privasi? Nanya nama doang lo gak bisa."
"Dia cuma ngaku sebagai fans gue, dam. Berharap apa? Kalau nggak ngasih tau nama, itu artinya dia gak mau dikenal."
"Kalau gue jadi lo,...... Tolong cie-cie-in gue sama dia."
Adam terbahak hingga mendapat tepuk tangan semuanya. Dari suaranya Fari dapat membayangkan bagaimana wajah temannya itu saat berlagak menggoda.
"Sinting! Orang cuma fans."
"Besok-besok jadi calon itu, Far."
Fari semakin menggeleng saat anak sanggar lain menyahuti. Sabtu sore, memang waktu kumpul yang pas untuk para anak sanggar. Sudah dipilih langsung oleh perundingan bersama ketua ekstra, Kang Fauzan.
Jadi wajar jika hari ini teman-temannya berkumpul. Fari terpaksa izin tidak hadir lantaran badannya remuk sejak usai pertunjukkan Sanggar Emas tempo lalu. Masih belum fit.Sebenarnya, Sanggar Emas itu jantung hati Fari. Sebab ekstrakulikuler itu membuat hari-harinya yang monoton dan di situ-situ saja menjadi lebih berwarna. Kegiatan di dalamnya juga tak kalah menarik seperti kebanyakan ekstrakurikuler pada umumnya.
Namun, yang membedakan adalah suasana kekeluargaan yang dibawa setiap anak teater Emas saat melakukan ritual pembukaan sebelum latihan pentas dimulai. Mereka terbiasa bernyanyi dengan suara lantang. Walau terkadang Fari memilih tidak ikut serta dengan sepenuh jiwa raga menyambut nyanyian sumbang itu. Tapi sesudut bibirnya selalu berhasil terangkat naik sempurna saat melihat antusias kawan-kawan membawakan berbagai lagu-galau.
Ember cat sederhana, tongkat kayu, sebuah gendang ditambah bunyi tamborin yang saling bertabrakan membuat ruangan ekstra anak sanggar menjadi berisik. Bahkan terkadang, mereka tidak memperdulikan suara mana yang paling menguasai. Semuanya yang bergabung dalam club adalah keluarga. Tetap disayang dan dicintai.
Seketika pikirannya kembali ditarik pada percakapan chat terakhir dua hari yang lalu dengan gadis yang saat ini sering singgah dalam lamunan. Fari saat itu hanya menanggapinya dengan biasa saja.
"Tadi aku liat kamu di perpus."
Fari terkekeh pelan, "Oh ya? Kenapa nggak disapa?"
"Aku gak punya keberanian sebanyak itu, Kak."
"Nggak papa, nanti sapa aja kalau ketemu lagi. Gue sama yang lain welcome kok."
Fari juga sempat menyuruh gadis itu untuk mampir ke markas Sanggar Emas. Siapa saja boleh berkunjung. Sekaligus ajang promosi ekstrakurikuler itu karena sebentar lagi akan membuka pendaftaran regenerasi anggota baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanggar Emas
ChickLitAbdul Aziz Farizi, cogan IPS 2 yang menjadi populer di sekolah lantaran aktingnya yang totalitas setiap memerankan tokoh pahlawan dalam drama kolosal era penjajahan yang dimainkan olehnya bersama rekan-rekan sebuah ekstrakurikuler di sekolah.