Happy reading!
====
Harapan membengkak dalam dada Zen saat dia tiba di kantor pada keesokan harinya. Jemarinya sudah tak sabar ingin segera menghubungi nomor Fay. Setelah harus melewati sebuah meeting penting pada pagi hari, kini Zen mendapati dirinya termangu dengan ponsel tergenggam di tangannya. Apa yang ingin dia katakan kepada Fay?
Hai, Fay. Bisakah kita bertemu dan bicara?
Aku dengar kamu sudah tak bekerja lagi di Ishan Creative?
Zen mengamatinya sesaat, menghela napas panjang. Uh, pertanyaan ini terlalu terburu-buru. Zen memaki dirinya sendiri. Setelah sekian lama kami tak bertemu, bagaimana bisa dirinya melontarkan kata-kata bodoh seperti ini? Zen tergugu sejenak lantas buru-buru dia menghapus pesan di atas layar ponselnya.
Hai, Fay. Bisakah kita bertemu dan bicara?
Zen membaca sekali lagi sebelum kepalanya menggeleng dengan keras. Tidak. Tidak. Kata-katanya sedikit memaksa, Zen tak ingin membuat Fay merasa tak nyaman. Lagi-lagi jari-jari Zen menghapusnya dan termangu kembali. Astaga, dia benar-benar kebingungan.
Menyerah dengan dirinya sendiri, akhirnya jemari Zen bergerak di atas ponselnya dan mengetik sesuatu yang singkat di sana.
Apa kabar, Fay?
Sebagai permulaan, Zen tak ingin memberikan kesan mendesak pada Fay. Well, cukup bagus. Kepala Zen mengangguk setuju dan sebelum benaknya kembali berubah pikiran, dia bergegas menekan kirim. Tanpa diinginkan, napas Zen terembus gelisah melalui celah bibir seiring matanya mendapati pesan yang dia kirimkan sudah masuk ke ponsel Fay dengan sempurna. Hatinya berdebar-debar. Kini, saatnya menunggu.
***
Untuk kesekian kali sepasang mata Zen memeriksa pergelangan tangannya dan menemukan jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sudah empat jam berlalu sejak terakhir Zen mengirimkan pesan kepada Fay, jangankan ada balasan, pesan yang dia kirimkan belum dibaca oleh wanita tersebut.
Zen kesulitan menyembunyikan ketegangan yang mencekik lehernya sejak tadi dan kegelisahan sudah mengundang dadanya menjadi terasa sesak. Sampai-sampai Zen memutuskan untuk menghabiskan waktu makan siang di dalam ruang kerjanya demi menghindari kecurigaan Paman Vilas ataupun Tuan Ganesh.
Sembari menyelesaikan pekerjaan, bolak-balik ekor mata Zen melirik ponsel yang tergeletak di atas meja atau sengaja mengulurkan tangan untuk menggeser layar. Namun, apa yang dia tunggu tak kunjung tiba. Layar ponselnya tetap menggelap. Sesekali ponsel Zen bergetar karena pesan masuk, dengan degub jantung melonjak, jemarinya menggeser layar, tetapi setelahnya mulut pria tersebut langsung mendesah penuh kecewa.
Berbagai spekulasi buruk perlahan mulai merayap di dalam benak Zen. Apakah Fay benar-benar sudah membenci dirinya dan membuang jauh-jauh namanya dari dalam benak wanita itu? Tidak adakah harapan lagi bagi hubungan mereka? Siapkah Zen membakar habis asa yang kemarin sudah tumbuh subur di dalam dadanya? Apakah semua ini karena sudah ada ada pria lain yang mengisi hati Fay?
Zen meluruskan kedua kakinya dan berjalan mendekati jendela. Dia menyurukkan jemari ke dalam rambut dan menyingkirkan kecemburuan dari dalam hati ketika bayangan seorang pria mengusap rambut Fay yang indah dan panjang. Ya Tuhan. Zen mengerang frustasi sekaligus putus asa. Rasanya dia hampir mati di sini.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Lebih dari separuh diri Zen sudah kehilangan harapan, kini dia mencoba menenangkan diri dan mulai menerima kenyataan bahwa Fay sudah melupakan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[On going] When Mars Met Venus
ChickLitNovel dewasa 21+ ; mohon kebijakan pembaca ++++ Tentang Fay, yang tak pernah percaya dengan kemampuan dirinya hingga membuatnya terjebak dalam hubungan friends with benefits yang toxic dengan bos di tempat kerjanya. Tentang Zen, yang gemar menyakiti...