Aku

0 0 0
                                    

Hello? Anyone's here? Hai! Namaku Disa. Mau tau nama panjangku? Disaaaaaa— tidak, tidak. Bercanda. Nama panjangku Anindisa Kinasih Salim.

Nama belakangku diambil dari orang yang paling ku cintai, seorang masinis disalah satu stasiun yang ada di Indonesia. Ayahku. Januar Salim. Dari namanya saja sudah keren, kan? Eits, tapi jangan jatuh cinta dulu, dia sudah punya seorang kekasih, cantik, namanya Mawar Kusumandaru. Dia ibuku.

Sebelum mereka menikah, ayahku adalah salah satu gitaris band di Jakarta. Sedangkan ibuku, seorang barista yang masih magang saat itu. Mereka bertemu di kedai kopi tempat ibuku bekerja. Ayahku terpincut saat ibu sedang membuat kopi pesanannya, kopi hitam tanpa gula. Pesona ibu memang tiada tanding.

Ayahku, walaupun saat itu dia sedang sibuk berkuliah, tetapi masih sempat menyisihkan sedikit waktunya untuk tampil diberbagai tempat di Jakarta. Ayahku senang sekali musik. Menurutku, dia mempunyai skill bermain gitar yang bagus. Beberapa kali ia memainkan gitarnya di ruang tamu, memetik senarnya dengan lembut dan menyenandungkan lagunya dengan indah.

"Lagu siapa, yah?"
"John Lennon. Judulnya Imagine. Bagus, ya?"
"Iya. Disa suka."

Bagi Dirinya, musik menjadi bagian dari hidupnya, serta aku dan kakakku. Didukung oleh ibu dengan kekuatan kopi hitam tanpa gula.

Bagi Ayah, selain seni, musik itu salah satu tempat untuk menuangkan emosi dan ekspresi. Makanya ketika aku sedang bersedih, aku menyanyi sekeras kerasnya. Untuk melampiaskan emosiku.

Sejak kecil, aku tinggal di Jakarta, tepatnya di daerah Kemayoran. Tahun 2000, ayahku dimutasi ke Bogor. Sehingga aku, ibuku, kakakku dan semua barang-barang yang ada di rumahku ikut dipindahkan. Termasuk kucingku.
Rumahku yang ada di Bogor, sebetulnya rumah Bapak Musa, kakekku, ayah dari ibuku. Tapi dia meninggal pada tahun 1995. Awalnya dirumah itu hanya ada nenekku saja, sayangnya nenekku ikut meninggal setahun setelah kakekku meninggal. Tidak bisa ditinggal sendirian memang. Makanya rumah itu sekarang kosong, tidak ada yang menempati. Rumahku cukup luas, di halaman rumahnya terdapat pohon mangga yang banyak ulatnya. Cukup sejuk, sih. Semoga saja aku betah.

Aku juga pindah sekolah ke SMA yang ada di Bogor. Menurutku, itu adalah sekolah yang cukup romantis se Indonesia atau minimal se Jawa Barat lah. Bangunannya sudah tua, tapi masih bagus karena keurus. Konon katanya, sekolah itu bekas rumah sakit orang-orang Belanda.
Banyak pohon disamping sekolah. Daunnya suka jatuh sampai halaman sekolah dan bagus kalo dilihat di sore hari. Tapi jangan sampai magrib, takut ada dedemit. Pagi sampai sore aja kalau mau lihat.

Dulu, jalan di depan sekolahku kurang luas, kira kira lebarnya 4 meter dan belum banyak kendaraan yang lewat. Paling cuma sepeda, itu juga tukang koran yang lewat. Sehingga untuk sampai sekolah, kira kira harus berjalan 400 meter-an lah dari pertigaan kalau naik angkot. Kalau dianterin mah sampai depan kelas juga bisa.

Kala itu, Bogor masih sepi. Belum ada banyak orang seperti sekarang ini. Setiap pagi suka ada kabut dan hawanya dingin, berasa jadi es kulkul masuk kulkas. Cuacanya dingin gitu, kayak nyuruh orang kalau kemana mana harus pakai selimut, aku sih pakai jaket karena disuruh ayah.

Selain romantis, sekolah itu menjadi tempat yang banyak menyimpan kenangan. Kenangan manis, kenangan pahit, kenangan asin juga ada kalau mau. Terutama menyangkut dengan seorang yang pernah menjadi bagian dalam hidupku. Yang akan ku ceritakan malam ini pada kamu. Iya kamu yang baca. Mau dengar gak? Harus didengar ya!

Sebelumnya aku ceritakan dulu posisiku mengetik sekarang ini. Malam ini, aku sedang dikamar sendirian, eh enggak deh, ditemani jus jeruk yang aku buat sendiri dan lagu lagu The Beatles, di kawasan Jakarta Selatan, di rumah yang aku tempati bertiga bersama suami dan anakku.

Sambil menunggu suamiku pulang, dengarkan aku cerita ya, ini dia ceritaku:

Bogor After RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang