·:*¨༺ ♱✮♱ ༻¨*:·
Sudah seminggu berlalu sejak percakapan mereka tentang pertemuan yang sangat dinanti. Dan kini, saat hari yang dinanti tiba, Sagara bangun dengan semangat yang membara. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai spekulasi tentang pertemuan ini, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Hari ini adalah hari liburnya, dan ia telah mempersiapkan diri sejak pagi. Dengan hati-hati ia memilih pakaian yang paling nyaman, sesuatu yang kasual namun tetap membuatnya percaya diri. Setelah semua persiapan selesai, Sagara memantapkan langkahnya, menuju stasiun kereta tempat mereka sepakat untuk bertemu.
Sagara tak bisa menyembunyikan senyumnya saat membayangkan bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Meski sempat bingung kenapa Jackson tidak mengizinkannya datang ke Bogor, ia akhirnya menerima ide Jackson untuk bertemu di kotanya sendiri. “Sekalian liburan,” kata Jackson waktu itu, dan Sagara hanya bisa menurut meski merasa sedikit penasaran dengan alasan sebenarnya.
Saat ia tiba di stasiun, suasana pagi yang segar dan ramai menyambutnya. Ada perasaan aneh yang bercampur dalam dirinya—rasa gugup bercampur antusias. Ia menatap sekeliling, mencari sosok yang ia kenal hanya melalui layar. Hatinya berdebar semakin kencang saat memikirkan bahwa beberapa menit lagi, ia akan bertemu dengan Jackson secara langsung.
"Di mana lo, Jack?" gumamnya sambil terus memeriksa ponselnya, menunggu pesan atau tanda dari Jackson. Matahari pagi bersinar lembut, seolah memberi restu pada pertemuan pertama mereka yang telah dinantikan sekian lama.
Semakin lama menunggu, semakin detik terasa lambat. Setiap dentingan jam seolah menambah kegugupan di dadanya. Jantung Sagara berdegup kencang, pikirannya berputar-putar, memikirkan berbagai kemungkinan tentang bagaimana pertemuan ini akan berlangsung. Namun, tiba-tiba suara yang sangat familiar memecah lamunannya, suara yang selama ini hanya didengar melalui telepon.
"Gar!"
Refleks, Sagara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, terlihat sosok lelaki bertubuh tinggi, dengan senyum yang begitu lebar menghiasi wajahnya. Jackson, orang yang selama ini hanya bisa ia lihat di layar kecil ponselnya, kini berdiri di depannya, melambaikan tangan dengan penuh semangat.
Waktu seolah berhenti sejenak saat mata mereka bertemu. Rasa gugup yang semula memenuhi dada Sagara mendadak mencair, digantikan dengan perasaan hangat yang menyelimuti dirinya. Sosok Jackson lebih nyata dari yang ia bayangkan, dengan aura yang membuat jantungnya berdegup semakin cepat.
Sagara membeku di tempat, napasnya tertahan. Jantungnya berdentum kencang di dadanya, seolah menolak untuk bekerja normal. Tangannya, yang biasanya ringan untuk melambaikan balasan, justru tetap diam di sisi tubuhnya. Gugup—itu satu-satunya kata yang dapat menggambarkan perasaannya saat ini.
Jackson, dengan senyum lebar dan lambaian tangan yang penuh antusias, semakin mendekat. Namun, Sagara hanya bisa berdiri terpaku, seolah setiap langkah Jackson memperlambat waktu, membuat dunia di sekitarnya seakan menghilang. Lidahnya kelu, bahkan sekadar menyapa pun tak sanggup ia lakukan.
Matanya terfokus pada sosok Jackson, lebih nyata dan lebih menawan dari yang pernah ia bayangkan. Ada perasaan yang begitu kuat mengguncang dirinya, tapi bukan rasa nyaman, melainkan ketakutan—takut apa yang terjadi sekarang hanya mimpi, takut merusak momen yang sempurna ini dengan kata-kata yang salah.
Ia tetap diam. Bahkan ketika Jackson akhirnya berdiri di depannya, wajahnya tersenyum lebar, menunggu respon yang tak kunjung datang.
“Gar? Kok diem?” suara Jackson memecah lamunannya. Sagara terkejut, wajahnya langsung memerah. Ia tidak sadar bahwa Jackson sudah begitu dekat, menghampirinya sambil tersenyum penuh kehangatan.
“G-gapapa,” jawab Sagara terbata, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Namun, begitu kalimat itu terucap, ia langsung panik. "Yok, yok, lo cape kan? Udah booking hotel mana? Apa lo langsung balik? Gimana perjalanan lo? Udah makan belum?" Kalimat-kalimat itu keluar bertubi-tubi dari mulutnya, seperti air terjun yang tak bisa dihentikan.
Jackson hanya tertawa kecil, menatap Sagara dengan tatapan lembut. "Santai, satu-satu, Gar. Gue nggak ke mana-mana, kok."
Sagara mengangguk cepat, masih merasa malu dengan kecanggungan yang baru saja ia tunjukkan. Rasanya jantungnya masih berdegup kencang, tapi sedikit demi sedikit, ia mulai merasa lebih tenang karena kehadiran Jackson yang selalu memberi kenyamanan.
“Hehe, sorry... Oh iya lo—” Sagara tiba-tiba menghentikan ucapannya. Matanya membulat melihat Jackson merentangkan kedua tangannya, dengan santai, menunggu pelukan.
“Gajadi peluk?” tanya Jackson, senyum hangat menghiasi wajahnya.
Sagara membeku di tempat. Jantungnya berdetak semakin cepat, sensasi aneh kembali mengalir di tubuhnya, seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Rasa gugup itu menyerang lagi, namun kali ini lebih kuat. Pandangannya beralih dari lengan terbuka Jackson ke wajahnya yang tenang.
“Eh…” Sagara tak bisa berkata-kata. Ia tahu bahwa pelukan itu sederhana, namun keinginan untuk melakukannya mendadak terasa begitu berat. Ia mendekat, perlahan-lahan, jantungnya masih berdegup kencang hingga akhirnya, dengan gerakan kikuk, ia menyambut pelukan Jackson. Hangat dan nyaman—perasaan yang membuat waktu seakan berhenti sejenak.
Jackson tertawa kecil di atas kepala Sagara, "Santai aja, Gar."
***
Di hotel tempat Jackson menginap, Sagara merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang. Sementara Jackson sedang mandi, suara air mengalir terdengar samar-samar dari kamar mandi. Sagara membiarkan tubuhnya tenggelam dalam empuknya kasur, tetapi pikirannya terus berkecamuk.
Ia bengong, memikirkan kembali momen saat ia dengan mudahnya mengiyakan ajakan Jackson untuk menemani check-in ke hotel. Padahal, rasanya belum lama mereka saling mengenal secara langsung. "Kenapa gue setuju ya?" pikirnya sambil menatap jendela yang memancarkan sinar sore.
Ada sesuatu tentang Jackson—senyum hangatnya, cara dia membuat Sagara merasa nyaman, mungkin juga gestur pelukannya tadi. Semua itu berputar di kepalanya, mengaburkan batas antara perasaan yang ia kenali dan yang masih belum ia pahami sepenuhnya.
“Kenapa gue di sini…” gumam Sagara pelan, sembari menggenggam ujung bantal yang ia peluk erat.
Lalu Sagara melemparkan bantal ke arah Jackson, mencoba mengalihkan perhatian ketika Jackson menggoda dengan cara hendak melepaskan handuk yang menjadi satu-satunya penutup tubuhnya.
"Hey! Jangan berani-berani ya!" teriak Sagara dengan nada setengah panik, tetapi ada sedikit tawa di ujung kalimatnya.
Jackson hanya tertawa melihat reaksi Sagara yang berapi-api. Ia menahan handuknya dengan satu tangan, menatap Sagara dengan tatapan nakal. "C'mon, Gar! Kita kan sudah dewasa. Mungkin ini bisa jadi bahan cerita seru buat kita."
"Seru? Lebih ke seru-seruan yang bisa bikin jantung gue copot!" jawab Sagara, merasa campur aduk antara ketakutan dan rasa ingin tahunya. Meskipun bantal itu sudah dilempar, perasaan gugupnya tidak kunjung reda. Sagara tak bisa mengalihkan pandangannya dari Jackson, berusaha menahan senyum yang hampir pecah.
"Ya udah, tenang aja," kata Jackson, akhirnya mengenakan kausnya dengan cepat. "Tapi lo tetap harus berjanji, kita bakal bersenang-senang hari ini."
Sagara hanya bisa mengangguk, walau hatinya masih berdebar-debar. "Iya, iya. Tapi jangan gila-gila amat, ya!"
Dengan satu senyuman lebar, Jackson melanjutkan, "Oke, siap! Sekarang, ayo kita mulai petualangan kita!"
·:*¨༺ ♱✮♱ ༻¨*:·
KAMU SEDANG MEMBACA
Amour dans la Souffrance
Non-FictionKisah seorang yang rela menjadi *sakit* demi menjadi obat seseorang yang dicinta nya