Gerbang besar Pondok Pesantren Al-Hidayah berdiri kokoh, menyambut kedatangan para santri baru. Di antara kerumunan gadis-gadis berkerudung yang berbaris rapi, Ayra Alishba berdiri dengan gugup, tangannya erat menggenggam koper biru mudanya. Matanya yang berkaca-kaca menyapu pemandangan di sekitarnya - bangunan-bangunan megah bergaya arsitektur Islam, taman yang rapi, dan wajah-wajah asing yang akan menjadi teman-teman barunya.
"Ayra, sayang," suara lembut ibunya membuyarkan lamunannya. "Kamu yakin sudah siap?"
Ayra menoleh, menatap wajah ibunya yang penuh kekhawatiran. Ia mencoba tersenyum, meski air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Iya, Bu. Ayra siap."
Kebohongan itu terasa pahit di lidahnya. Kenyataannya, Ayra sama sekali tidak merasa siap. Ia ingin berteriak, memohon pada ibunya untuk membawanya pulang. Namun, ia tahu hal itu tidak mungkin. Keputusan untuk masuk pesantren sudah bulat, meski sebagian besar karena desakan orang tuanya.
"Ingat ya, sayang," ayahnya berkata dengan nada tegas namun penuh kasih. "Pesantren ini akan menjadi rumah keduamu. Di sini kamu akan belajar banyak hal, tidak hanya ilmu agama, tapi juga tentang hidup dan persahabatan."
Ayra mengangguk lemah, tak sanggup berkata-kata. Ia memeluk kedua orang tuanya erat, seolah tak ingin melepaskan. Air matanya akhirnya tumpah, membasahi kerudung ibunya.
"Sudah, sudah," ibunya mengusap punggung Ayra dengan lembut. "Kamu pasti bisa, sayang. Ibu dan Ayah akan selalu mendoakanmu."
Dengan berat hati, Ayra melepaskan pelukannya. Ia menyeka air matanya dengan ujung lengan gamis, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Baiklah, Bu, Yah. Ayra masuk dulu ya."
Kedua orang tuanya mengangguk, senyum bangga terpancar di wajah mereka. Ayra berbalik, menarik kopernya dengan tangan gemetar. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju gerbang, bergabung dengan santri-santri baru lainnya.
Di dalam, seorang ustadzah muda dengan wajah ramah menyambut mereka. "Assalamu'alaikum, anak-anak. Selamat datang di Pondok Pesantren Al-Hidayah. Saya Ustadzah Fatimah, akan membantu kalian beradaptasi di minggu pertama ini."
Ayra mendengarkan dengan setengah hati saat Ustadzah Fatimah menjelaskan aturan-aturan dasar pesantren dan jadwal kegiatan mereka. Matanya sesekali melirik ke arah gerbang, berharap bisa melihat orang tuanya untuk terakhir kali. Namun, gerbang itu kini tertutup rapat, seolah memisahkannya dari dunia luar yang familiar.
"Baiklah, sekarang kalian akan diantar ke asrama masing-masing," Ustadzah Fatimah mengakhiri penjelasannya. "Ikuti pembimbing kalian, dan jangan ragu untuk bertanya jika ada yang tidak jelas."
Ayra mengikuti rombongannya dengan langkah gontai. Mereka melewati lorong-lorong panjang, melewati ruang-ruang kelas yang masih kosong, dan akhirnya tiba di area asrama. Bangunan asrama itu terlihat besar dan sedikit mengintimidasi, dengan empat lantai yang menjulang tinggi.
"Ini adalah Asrama Khadijah," pembimbing mereka menjelaskan. "Kalian akan tinggal di sini selama menjadi santri di Al-Hidayah. Setiap kamar diisi oleh empat orang."
Jantung Ayra berdegup kencang saat ia memasuki kamar barunya. Tiga gadis lain sudah berada di sana, sibuk merapikan barang-barang mereka. Mereka menoleh saat Ayra masuk, dan untuk sesaat, keheningan canggung menyelimuti ruangan itu.
"Assalamu'alaikum," Ayra berkata lirih, suaranya hampir tak terdengar.
"Wa'alaikumsalam," jawab ketiga gadis itu hampir bersamaan.
Salah satu dari mereka, gadis dengan wajah bulat dan senyum ramah, mendekati Ayra. "Hai, aku Salsabila. Kamu pasti teman sekamar baru kami."
Ayra mengangguk, mencoba tersenyum meski terasa kaku. "Iya, aku Ayra Alishba."
YOU ARE READING
𝐄𝐧𝐝𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐑𝐞𝐦𝐚𝐬𝐭𝐞𝐫𝐞𝐝
Ficção Adolescente(Remastered) Mengisahkan perjalanan emosional Ayra Alishba, seorang santriwati di sebuah pondok pesantren yang berjuang menemukan jati diri dan makna persahabatan sejati. Ayra, yang cengeng dan sering merajuk ingin pindah sekolah, menghadapi tantang...