Bab 7. Musibah

766 56 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Follow akun Instagram:
@author_ilustrasi
@Cicika05

Tiktok: @Ilustrasi

-Happy Reading-

Keterima kerja itu suatu hal yang sangat dinanti-nanti bagi orang yang sangat membutuhkan. Tapi, dengan mudahnya orang tinggi membuat orang di bawahnya harus kehilangan kerjaannya. Sungguh sangat menyakitkan, apalagi baru hari pertama kerja sudah dipecat dan dituduh apa yang tidak dilakukan.

Sepanjang jalan pulang—mengendarai motornya secara pelan sembari menikmati angin. Isi kepalanya sangat kacau, bingung, dia harus mencari pekerjaan di mana lagi.

"Baru masuk dipecat. Sekarang mau cari ke mana lagi. Hampir semua membutuhkan yang lulusan sarjana, sedangkan aku punyanya ijazah SMA."

Tanpa disengaja bola mata hitam pekatnya menyorot seseorang yang tengah menarik-narik tasnya. Seperti ... Mempertahankan barang berharganya. Apa jangan-jangan pria yang berusaha menarik tas wanita paruh baya itu seorang copet?

Haruka pun menambah gas motornya—menghampiri seseorang yang seperti meminta bantuan.

"Copet! Copet!" Wanita mengenakan hijab terusan berwarna cokelat ini berteriak kencang mencari bantuan.

Wanita tersebut mengedarkan pandangannya ke kanan-kiri, berharap ada seseorang yang lewat. Jalan raya memang banyak orang berlalu-lalang, tapi tidak ada yang peduli akan itu.

Tangan pria di hadapannya mengeluarkan benda tajam lalu menyodorkan ke wanita tersebut sebagai ancaman.

"Lepas tasnya! Atau benda tajam di tangan saya ini akan melukai Anda! Lepas!" Laki-laki ini tetap menarik tasnya dengan kasar.

Tangan berkerutnya berusaha mempertahankan tasnya. "Tidak! Lebih baik saya mati dalam kondisi berusaha mempertahankan harta daripada menyerahkan ke copet seperti kamu."

Laki-laki dengan mulut tertutup kain itu saking marahnya mengangkat benda tajam yang ia genggam. Namun, saat hampir mengenai wajah wanita paruh baya itu, tangannya terlempar sampai benda tajam tersebut lepas dari genggamannya.

Haruka menurunkan kakinya kembali menjadi tegak. Benar, dia menendang tangan laki-laki itu. "Kerja, Mas, kalau butuh duit, jangan merampas hak milik orang lain. Haram hukumnya. Sudah pergi sana."

Laki-laki tersebut memberikan sorotan mata tidak terima. "Tahu apa kamu tentang haram—halal. Bocah ingusan sok menasehati orang dewasa."

"Bukan sok menasehati tapi saling mengingatkan. Masnya cacat ya?" tanya Haruka langsung ke intinya.

"Bocah! Kalau punya mulut nggak ada sopan santunnya sama orang tua."

"Apa bedanya sama, Mas copet. Ibu ini juga orang tua tapi, Masnya, juga lebih nggak sopan. Bentak-bentak lagi."

Skakmat! Seketika copet tersebut gelagapan harus menjawab apa, hanya emosi yang ia tunjukkan. "Sialan! Bocah ingusan nggak usah ikut campur urusan orang dewasa. Makan itu butuh duit!" Sangat menunjukkan otak kosong.

"Ya kan bisa kerja, Mas."

"Dipikir cari kerja gampang! Sudah jangan banyak bacot." Tangannya melayang hendak mengenai wajah Haruka. Tapi, dengan cepat Haruka menghindar lalu menendang perut copet tersebut.

"Tidak gampang tapi bukan berarti tidak bisa. Asal, Masnya usaha bakal dapat. Tubuh Anda masih normal tidak ada yang rusak, masih bisa dimanfaatkan." Haruka terdiam sejenak lalu menoleh ke wanita mengenakan hijab panjang terusan lalu menatap laki-laki yang masih di bawah meringis kesakitan.

Lavandula [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang