8 - Yang Penting Ada Kamu di Sini, Nira

29 2 0
                                    

*Author POV*

"Wajar Bang Cakra perlu penanganan psikis khusus, Nir, kalo gue jadi lu, gue pasti bakal korek lebih banyak siapa Laras." Tukas Mirza tiba-tiba, mengejutkan Nira setelah menceritakan life update nowadays sepulang bekerja.

Cakra dan Nara pergi ke rumah Nenek Tiara, sepertinya hendak melepas rindu usai sekian lama jarang menengok.

"Boleh, nggak sih, gue kirain tuh bocah dukun sakti?"

Baik Nira maupun Mirza menoleh ke arah ekspresi wajah polos Ferdi. Sembari menggigit matcha crombolloni, alis Ferdi naik sebelah menantang kedua sahabatnya.

"Loh! Bener, dong, gue?! Dari awal dia nyangka gue demen guru-guru cakep di sekolahnya, gue sebenernya udah curiga! Masa' baru masuk rumah Bang Mirza maen ngerti aja perangai gue! Kenalan juga belom!"

"Ehm. Kayaknya seisi Jakarta ngerti deh perangai lo macem mana."

"Bang, jangan bikin calon aktor FTV SCTV ini down-lah, semangatin dikit kek. Besok gue syuting perdana bareng Syifa Hadju nih."

"Ya, semoga Syifa Hadju nggak alergi deket-deket yuyu kangkang kepedean gini."

"MAKSUD NGANA GIMANA?"

Brak!

Seiring tangan Nira menggebrak meja makan kafe, dua cowok jomblo itu mendadak mingkem.

"Jangan berantem dulu, bisa?" Tangan wanita itu bersedekap, matanya melirik tajam. "Gue bingung nih ntar ngomong ke Mas Cakra. Antara pengen temenin dia ke psikiater atau minta tolong orang pinter."

"Orang pinternya maksud lu gue, Kak?" Telunjuk Ferdi menekan-nekan lesung pipinya sendiri.

"Bukan orang pinter dalam arti dukun. Psikolog."

"Ngomong dong dari tadi, 'kan saya jadi terpanggil."

Berhubung mereka sudah terbiasa mendengar mulut kacau Ferdi selama sepuluh tahun, Nira hanya mendengus pasrah.

"Gue kurang berdoa, mungkin. Sejak Mbak Asti dan Mas Jesse nggak ada kabar, gue berasa jadi anak tunggal di Keluarga Wongsonegaran. Urus suami, anak, rumah sendiri, bantu bapak ibu, kadang-kadang ketemu Kakek Angga, Nenek Tiara, ditambah masalah ini. Mana pikiran Mas Cakra lagi nggak stabil. Kenapa gue berpikir gue suka egois?"

"Kenapa semata-mata gue jadi pribadi yang minim bersyukur cuma karena mikirin surat Laras?"

"Gue tinggal cari tahu alamat Arlan sama Suster Lila di Jerman, ziarah ke makam Laras di sana, jalani hidup kayak biasa. Kenapa kesannya gue menyusahkan diri sendiri? Padahal bumi ini nggak bakal berhenti berotasi demi kepentingan gue aja."

"Kalian juga ada kerjaan masing-masing. Mikirin jodoh apalagi. Udah ada belom?"

Mak jleb!

Bagai tersengat anak kalajengking, tubuh Ferdi seolah kaku membiru. Demikian pula Mirza, sok sibuk mengaduk-aduk ice lemon tea yang masih penuh. Nira sih tidak ambil pusing. Kelar menggoda kawan-kawannya, dihabiskannya sepiring spaghetti marinara.

Mampus, rasain. Berisik sih lo semua.

"Nir, masalahnya... Gue bahkan nggak tahu jodoh gue di mana. Kayak gue banyak yang suka aja."

"Hadooohh, Bang Mirzaaa! Buta mata hati lo? Terus sekelompok cewek-cewek di ujung sono ngikik udah gitu tereak-tereak nggak bersuara tiap lihat lo diem-diem itu apa? Titisan prajurit Nyi Roro Kidul?!"

Ferdi, mulutmu. Sungguh.

"HAHAHAHAHAH!!" Nira tak tahan lagi. Hampir saja hidungnya kemasukkan pasta. "Amnesia dia, Fer! Dulu siapa yang dapet julukan pangeran jurusan seni tari? Lupa lo, Za??"

SELARAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang